KUPANG, TIMEXKUPANG.FAJAR.CO.ID-Lebih dari 15.000 petani rumput laut di Timor Barat dan Pulau Rote mengajukan gugatan class action di Pengadilan Federal Australia, melalui Daniel Sanda melawan PTTEPAA (Ashmore Cartier) Pty Ltd terkait tumpahan minyak Montara pada Agustus 2009.
Akibat tumpahan minyak yang mencemari hingga ke Laut Timor, sekira 250 Km dari plot Montara, telah menyebabkan produktifitas rumput laut mereka di Laut Timor. Sekarang, sudah lebih dari 12 tahun sejak anjungan Montara meledak dan minyak mulai tumpah ke laut, dan lima setengah tahun sejak class action dimulai di Pengadilan Australia.
Sebelum anjungan ditutup pada 3 November 2009, anjungan Montara menyembur selama 74 hari memuntahkan ratusan ribu barel minyak mengalir ke utara hingga pulau-pulau terpencil di 11 kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Indonesia.
Sejak tumpahan minyak terjadi, Ferdi Tanoni, selaku Ketua Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB) yang berbasis di Kupang, tak kenal lelah menjadi juru bicara para petani rumput laut dan puluhan ribu korban lainnya yang tidak termasuk dalam class action, termasuk para nelayan terdampak.
“Banyak petani rumput laut telah meninggal sejak tumpahan minyak dimulai dan tidak akan pernah melihat keadilan atas penderitaan dan kerugian mereka yang disebabkan oleh kelalaian pencemar, PTTEPAA,” ungkap Ferdi Tanoni dalam keterangan tertulisnya kepada TIMEX, Selasa (25/1).
Atas fakta itu, Ferdi justru menyayangkan sikap perusahan minyak yang seakan bersembunyi dari tanggung jawabnya dan menyebabkan semakin banyak penundaan dengan mengabaikan korban atas kelalaiannya itu.
“Ketika minyak masih mengalir dari anjungan Montara pada akhir 2009, dan 184.000 liter bahan pendispersi beracun bercmpur aduk dengannya, perusahaan minyak tidak mengirimkan peringatan ke pulau-pulau tersebut untuk memberi tahu orang-orang tentang dampak kesehatan dari koktail beracun di perairan mereka. Sekarang, ketika korban Montara sekarat, perusahaan minyak masih menolak untuk mengakui penderitaan mereka,” tegas Ferdi dalam keterangannya.
Masih menurut Ferdi, pada Maret dan November 2021, Hakim Yates di Pengadilan Federal Australia telah menjatuhkan keputusan menemukan minyak Montara mencapai 81 desa di daerah tersebut dan membunuh rumput laut mereka.
PTTEPAA, lanjut Ferdi, kemudian mengajukan banding atas keputusan tersebut pada Desember 2021. “Mengapa?” tanya Ferdi Tanoni. “PTTEP tahu Pengadilan memberikan penilaian yang benar berdasarkan bukti, tapi sekarang pencemar ingin menyebabkan penundaan lebih lanjut dan menolak keadilan bagi para korban Montara. Banyak dari mereka yang sekarat sebelum hari itu tiba,” sambungnya.
“Mengapa PTTEPAA tidak memberikan peringatan kepada masyarakat pulau tentang racun yang mengalir ke pantai mereka?” tanya Ferdi Tanoni lagi. “Kami tahu bahwa peringatan akan dinaikkan jika ini adalah komunitas Australia. Bayangkan tanggapan itu. Tetapi tidak ada peringatan yang diberikan kepada desa-desa pulau karena mereka terpencil dan terputus dari arus utama. Perusahaan minyak berpikir itu bisa bersembunyi di balik kerugian dan kemiskinan mereka untuk menghindari tanggung jawab. Ketika PTTEP mengambil keputusan itu, mengubah peristiwa yang tidak disengaja menjadi tindakan permusuhan terhadap warga negara Indonesia di wilayah yang luas. Kegagalan untuk memperingatkan itu adalah tindakan kriminal,” tegas Ferdi.
Pada Juni 2019, lebih dari 30 saksi petani rumput laut dari NTT dibawa ke Sydney untuk memberikan kesaksian di Pengadilan Australia, dimana sebagian besar merupakan alasan utama Hakim Yates dalam penghakiman.
Ferdi Tanoni melaporkan bahwa dua dari saksi tersebut telah meninggal dunia sejak mengunjungi Sydney. “Sudah, Gabriel Mboeik dari Oelua dan Melkianus Mola dari Oebou. Dua warga desa di Pulau Rote ini telah meninggal. Orang-orang baik ini adalah pemimpin di desa mereka dan berjuang keras untuk menegakkan keadilan bagi rakyatnya. Mereka tidak akan pernah tahu hasil dari pertempuran mereka melawan pencemar multi-nasional ini,” beber Ferdi.
BACA JUGA: Pengadilan Australia Menangkan Gugatan Rakyat NTT Korban Montara
Gabriel Mboeik saat memberi kesaksian di Pengadilan Federal, demikian Ferdi, mengatakan bahwa saat dirinya mengangkat tali rumput laut, baunya seperti minyak padat. “Saya merasa gatal di tubuh saya,” ungkap Gabriel dalam kesaksiannya di Pengadilan Federal sebagaimana dituturkan Ferdi Tanoni.
Rasa gatal ini, menurut Ferdi Tanoni, dilaporkan oleh ribuan petani dan nelayan rumput laut di seluruh wilayah terdampak di NTT. “Saya melihat banyak orang di desa-desa yang menunjukkan kepada saya ruam dan bekas luka yang mengerikan di lengan dan bagian lain dari tubuh mereka, yang mereka katakan disebabkan oleh polusi minyak di perairan mereka pada akhir 2009. Tapi mereka tidak tahu dari mana asalnya. Ini karena tidak ada yang memperingatkan mereka. Mereka tidak tahu betapa beracunnya itu,” urai Ferdi.
Ferdi menyebutkan, Gabriel Mboeik telah meninggal pada Januari 2020, belum genap 60 tahun. Dia adalah Kepala Dusun Oedai di Oelua, sebuah komunitas di mana orang Kristen dan Muslim dengan bangga hidup bersama secara harmonis. Dia adalah kepala adat dari klan Manggi. Dia meninggalkan jandanya Gertoreda, enam anak dan banyak cucu ketika dia meninggal.
Gabriel Mboeik, kata Ferdi Tanoni, dicintai dan dihormati di desanya dan dijunjung tinggi oleh para saksi lainnya dan di seluruh wilayah sebagai wakil yang jujur dan jujur untuk rakyatnya.
Demikian pula, Melkianus Mola adalah juara sejati untuk Desanya Oebou. “Mola ini meninggal pada akhir Oktober 2021 dalam usia 50 tahun. Dalam akting untuk desanya, Mola telah melaporkan melihat minyak di sekitar rumput lautnya di pantai Puku Afu, dengan menyatakan, tidak lama kemudian, rumput laut saya menjadi lunak dan mudah lepas dari tali lalu hanyut. Ada ikan mati yang mengambang di air dan ada juga yang hanyut di tepi pantai. Saya mengalami kulit gatal dan ruam setelah saya masuk ke dalam air. Minyak bertahan selama sekitar satu bulan mungkin lebih. Tanaman itu baik dan sehat sebelum minyak tiba, tetapi mati hanya dalam beberapa hari,” beber Ferdi lagi mengutip kesaksian Melkianus Mola.
Melkianus Mola, kata Ferdi, juga melaporkan perjalanan panjang dengan perahu kecil di sekitar pantai tenggara Pulau Rote. Perahu itu berlayar melewati gumpalan-gumpalan besar yang mengapung dari bahan-bahan berlilin bergetah kuning. Beberapa sebesar mobil. Tepat di seberang lautan, ia melihat warna kuning dan pelangi terpantul dari air sejauh mata memandang. Airnya berbau minyak.
”Mola mencoba membudidayakan rumput laut setelah mendapatkan minyak tetapi panennya terus gagal. Karena ladangnya jauh dari desanya, dia tidak pernah mencoba lagi ketika usahanya pada tahun 2012 melihat rumput laut layu di talinya. Ini hanya dua contoh dari petani rumput laut yang telah meninggal,” jelas Ferdi Tanoni.
Ferdi menyatakan, warga dari 81 desa dalam class action dan di sekitar pulau-pulau terdampak di Nusa Tenggara Timur, ribuan orang meninggal tanpa melihat keadilan. Sayangnya, perusahaan minyak tidak pernah mengakui kerugian yang ditimbulkannya terhadap mereka dan komunitas mereka. Perilaku perusahaan minyak itu mengerikan. Fakta bahwa begitu lama mereka berhasil menghindari tanggung jawabnya juga mencerminkan buruknya Pemerintah Australia, yang menguasai bagian Laut Timor itu.
Ferdi Tanoni mengaku telah membuat representasi untuk meminta bantuan dari Pemerintah Australia sejak 2010. Kegagalannya untuk menanggapi telah memungkinkan perusahaan minyak untuk mengambil keuntungan dari ketidakseimbangan kekuatan antara pencemar dan korbannya di Indonesia yang kurang beruntung.
Ferdi mengisahkan, pada September 2012, hampir sepuluh tahun yang lalu, YPTB bertindak atas nama semua korban Montara di Nusa Tenggara Timur, mengajukan proposal kepada PTTEPAA untuk berkolaborasi dalam program penelitian independen yang transparan tentang dampak minyak Montara. Itu dilakukan dengan bantuan ilmuwan minyak terkemuka dunia.
“Itu adalah tawaran kemitraan antara perusahaan minyak dan masyarakat pesisir untuk memahami dampak sebenarnya dari polusi agar adil bagi semua. Tawaran itu ditolak karena lagi-lagi perusahaan minyak itu ingin bersembunyi. PTTEPAA takut dengan apa yang akan ditemukan. Mereka masih bersembunyi,” pungkas Ferdi Tanoni. (aln)