KUPANG-Yoseph Nong, seorang petani milenial di Kabupaten Sikka, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), tak bosan-bosannya mendorong anak-anak muda untuk mengubah mindset tentang pola pertanian yang modern.
Yoseph Nong, yang akrab disapa Yance Maring, saat ini mengembangkan sistem irigasi tetes otomatis (smart farming drip irigation system).
Sistem irigasi ini dapat menentukan volume air, sistem pengairan, sensor NPK tanah, sensor PH tanah, sensor kelembaban tanah, sensor suhu, sensor water level dan sensor flow water. Semua itu dikendalikan dalam satu aplikasi android.
Yance mengatakan, saat ini ia sedang melakukan budidaya tomat. Dengan teknologi ini hasilnya sangat menjanjikan. Baru-baru ini dari hasil panen satu ton ia mendapatkan uang dari hasil penjualan senilai Rp 90 juta. Sebuah nilai perjuangan dan nilai ekonomis yang tak kecil.
Tentang biaya, Yance mengatakan, untuk areal seluas satu hektare menelan biaya lebih kurang Rp100 juta. Syaratnya harus ada listrik dan internet. Tapi, hasil selanjutnya akan berlipat ganda.
Mengubah mindset petani muda NTT bahwa pertanian bisa melibatkan teknologi sehingga hasil lebih banyak dan efektif merupakan tantangan terbesarnya. Namun, bukan milenial bila lekas menyerah. Yance pun berupaya menjalin kerja sama dan pelatihan pembuatan pasca panen dengan pihak-pihak terkait.
“Setiap usaha akan berhasil bila ada kemauan dan fokus serta dilakukan secara berkesinambungan dan penuh dengan kasih sayang. Nilai-nilai luhur ini akan menghasilkan banyak manfaat bagi masyarakat,” tegas Yance sebagaimana keterangan tertulis Humas SMK-PP Negeri Kupang, Kamis (18/2).
Penerapan smart farming oleh Yance, sejalan dengan pernyataan Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo (SYL) yang berkali-kali menjelaskan betapa pentingnya penerapan smart farming.
“Karena pertanian saat ini dan ke depannya dihadapkan dengan tantangan besar yakni perubahan iklim dan pandemi Covid-19. Menghadapi tantangan perubahan iklim bukan dengan cara-cara klasik, tapi harus dengan smart farming karena perkembangan ke depannya yang membuat lahan semakin sempit, jumlah penduduk senakin besar dan lainnya mengharuskan penggunakan teknologi yang smart,” tegasnya.
Sebelumnya Kepala Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian (BPPSDMP), Dedi Nursyamsi telah menjelaskan bahwa teknologi smart farming dikembangkan sebagai salah satu respons adaptif terhadap perubahan dan perkembangan teknologi saat ini.
Smart farming, demikian Dedi, memungkinkan petani memiliki kontrol yang lebih baik terhadap proses produksi, melalui pengelolaan pertanaman dan ternak yang baik dan efisien.
“Konsep pembangunan pertanian harus diikuti dengan peningkatan agenda intelektual seluruh stakehokder utamanya petani sebagai garda terdepan. Kita sudah lama diterpa pandemi covid 19 dan perubahan iklim, namun dalam kondisi ini produktivitas dan produksi pertanian tidak boleh berkurang, bahkan harus terus bertambah. Solusinya ini adalah smart farming atau pemanfaatan internet of things,” sebutnya.
Hadirnya petani milenial seperti Yance yang mengembangkan sistem irigasi tetes otomatis (smart farming drip irigation system) membuktikan bahwa penerapan teknologi Internet of Things merupakan terobosan yang dapat menjadikan produksi pertanian lebih efektif dan berkelanjutan. “Pada era smart farming seperti ini, petani mileniallah yang harus bisa beradaptasi dan bisa lebih produktif,” tutup Dedi. (*/aln)