JAKARTA, TIMEXKUPANG.FAJAR.CO.ID-Pemerintah Republik Indonesia (RI) tidak main-main dalam menyikapi penyelesaian petaka tumpahan minyak akibat ledakan di unit pengeboran minyak Montara di Australia pada 2009 lalu. Pasalnya, petaka tumpahan minyak ini telah mengakibatkan dampak serius terhadap lingkungan, kesehatan, dan mata pencaharian masyarakat di wilayah pesisir dan laut Timor Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).
Untuk itu, Pemerintah melalui Kementerian Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) mendukung penuh upaya penyelesaian kasus ini untuk memastikan hak-hak masyarakat terdampak terpenuhi.
Bahkan Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves), Luhut Binsar Panjaitan mengatakan, Pemerintah RI akan fight at all cost alias mengerahkan segara kekuatan untuk menuntaskan persoalan yang sudah berlangsung 13 tahun ini.
“Pemerintah Indonesia yang dalam hal ini Kementerian Kemaritiman dan Investasi menyatakan terus mendukung proses penyelesaiaan kasus tersebut,” kata Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan Luhut dalam Konferensi Pers yang digelar Forum Merdeka Barat 9 (FMB9) secara daring bertema “Optimasilasi Penyelesaian Kasus Montana” di Jakarta, Jum’at (1/4).
Hadir saat itu Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Alue Dohong, Dirjen AHU, Kemenkumham, Cahyo R. Muhzar, Ketua Montara Task Force, Purbaya Yudhi Sadewa, dan anggota Montara Task Force yang juga Ketua Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB), Ferdi Tanoni.
Dalam kesempatan itu, Luhut mengungkapkan, pihaknya akan menyampaikan izin pemrakarsa bagi pembuatan Peraturan Presiden (Perpres) agar dilakukan oleh Kemenko Marves. “Berdasarkan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan-undangan, maka dengan ini kami menyatakan akan menyampaikan izin permohonan pemrakarsaan bagi pembentukan peraturan perundangan-undangan presiden dilakukan oleh Kementerian Kemaritiman dan Investasi,” papar Luhut.
Menurut Luhut, nantinya, jika Perpres tersebut sudah terbit, Tim Task Force Montara akan segera mengeksekusi Perpres tersebut di lapangan, berupa pengajuan gugatan, baik di dalam negeri yang dikoordinir oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) serta gugatan di luar negeri yang dikoordinir oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham).
Untuk itu, Luhut meminta dukungan moril seluruh masyarakat NTT, khsusunya bagi masyarakat di 13 kabupaten/kota yang terkena dampak tumpahan minyak Montara 2009. “Maka kami mohon doa dan dukungan dari seluruh masyarakat di NTT, khususnya masyarakat di 13 kabupaten/kota yang terdampak tumpahan minyak Montara 2009. Semoga usaha kami membuahkan hasil yang bermanfaat bagi petani rumput laut, nelayan korban tumpahan minyak,” harap Luhut.
Setelah mengamati kerusakan yang ditimbulkan oleh tumpahan minyak milik PTTEP asal Thailand ini, Luhut menegaskan, pemerintah akan melakukan fight at all cost. “Langkah ini merupakan bentuk sikap Indonesia sebagai sebuah negara yang berdaulat dengan melakukan upaya-upaya hukum untuk membela kepentingan rakyat kita,” ujar Luhut.
Selain itu, Luhut menambahkan, langkah serius pemerintah dalam menyelesaikan kasus ini juga dipandang sebagai bentuk kehadiran negara dalam membela warganya yang tengah mengalami masalah. “Kalau kita lihat dari gambarnya itu, betapa hancurnya rumput laut yang menjadi mata pencaharian warga. Itu harus dihitung. Belum lagi kerusakan terhadap tubuh manusia karena memakan ikan yang terkontaminasi dan seterusnya. Jadi tidak bisa main-main. Makanya kami (Pemerintah) betul-betul serius menangani kasus ini. Kita akan fight at all cost,” tegas Luhut.
Untuk diketahui, Pengadilan Federal Australia di Sydney akhirnya memenangkan gugatan class action 15,481 petani rumput laut dan nelayan di 2 kabupaten di NTT, yakni Kabupaten Kupang dan Rote Ndao pada Maret 2021 lalu.
Hakim Pengadilan Federal Australia, David Yates, saat itu mengatakan, tumpahan minyak yang bersumber dari ledakan anjungan minyak di lepas pantai Montara milik PTT Exploration dan Production (PTTEP), perusahaan migas asal Thailand pada 21 Agustus 2009 telah menyebabkan kerugian secara material, kematian, serta rusaknya rumput laut yang menjadi mata pencaharian masyarakat setempat.
BACA JUGA: Petani Rumput Laut Indonesia Meninggal Menunggu Keadilan Atas Petaka Montara
BACA JUGA: 12 Tahun Pencemaran Laut Timor, Ferdi Tanoni: Penderitaan Harus Selesai
Peristiwa itu bermula pada 21 Agustus 2009. Ketika itu terjadi ledakan unit pengeboran di anjungan minyak lepas pantai Montara yang menumpahkan minyak dan gas. Total luas tumpahan diperkirakan mencapai kurang lebih 92 ribu meter persegi.
Departemen Sumber Daya, Energi, dan Turisme Australia memperkirakan aliran minyak yang tumpah sekitar 2000 barel per hari. Tumpahan minyak ini baru bisa teratasi pada November 2009 atau setelah 74 hari dan menumpahkan sekitar 40 juta liter minyak ke perairan antara Indonesia dan Australia.
Data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tahun 2009 melansir, 29 hari setelah ledakan, tumpahan minyak menyebar ke arah barat, berada sekitar 110 km pesisir Namodale, Rote Ndao dan 121 km Oetune, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), NTT.
Citra satelit Terra-MODIS pada 28 September 2009 mendeteksi tumpahan minyak kembali mendekati perairan Indonesia dengan jarak paling dekat, sekitar 47 km dari pesisir Rabe, Kupang dan 65 km dari Batuidu, Rute Ndao, NTT.
Tumpahan minyak ini menghancurkan panen rumput laut para petani pada 2009. Pemerintah menemukan ada tigabelas kabupaten di NTT yang terkena dampak dari kasus Montara.
Berbagai upaya dilakukan masyarakat untuk menuntut keadilan. Pada 2016, Ketua Yayasan Peduli Timor Barat, Ferdi Tanoni mendaftarkan gugatan kepada pemerintah Federal Australia dan perusahaan pencemar asal Thailand PTTEP.
Rakyat NTT yang menjadi korban pencemaran minyak itu mengajukan tuntutan ganti rugi kepada pemerintah Federal Australia di PBB sebesar USD 15 miliar atau sekitar Rp 209,3 triliun. Class action ini diajukan dengan pengadu Daniel Sanda, seorang petani rumput laut dari Pulau Rote mewakili lebih dari 15.000 petani rumput.
Langkah gugatan yang dilakukan karena upaya damai yang dilakukan kedua belah pihak selalu tidak membuahkan hasil, sehingga gugatan secara class action dinilai paling memadai untuk menjawab keluh kesah para petani rumput laut di NTT.
Pada Agustus 2017, pemerintah membentuk gugus tugas penanganan kasus Montara, The Montara Task Force. Satuan tugas ini dibentuk untuk menyatukan pandangan pemerintah dan nelayan di Laut Timor untuk memenangi gugatan.
Satgas juga mengumpulkan data-data untuk menjadi dasar tuntutan tersebut adalah data dari citra satelit LAPAN, data sampel minyak di Pulau Rote, data kualitas air, serta data dari dampak kerugian sosial ekonomi yang ditanggung masyarakat di wilayah Timor Barat.
Ketua Montara Task Force, Purbaya Yudhi Sadewa menyatakan permasalahan pencemaran tak hanya pada tumpahan minyak, tetapi juga penggunaan bubuk kimia dispersant jenis Corexit 9872 A dan lain-lain yang sangat beracun. (aln)