Pemkot Identifikasi Permukiman Rawan Bencana

  • Bagikan

KUPANG, TIMEX- Rumah warga yang dibangun di daerah aliran sungai (DAS) akan didata Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Pemukiman (PRKP) Kota Kupang untuk dibahas pada sidang anggaran perubahan nanti. Hal ini dilakukan setelah diusulkan pada sidang anggaran dan program.

Kepala Dinas PRKP Kota Kupang, Cornelis Isak Beni Sain, mengatakan, tugas Dinas PRKP salah satunya adalah melakukan pendataan dan identifikasi rumah-rumah yang dibangun di daerah aliran sungai, ruang terbuka hijau dan tempat lainnya, yang bukan diperuntukan untuk pembangunan kawasan permukiman.

Menurut Beni, sampai saat ini belum dilakukan identifikasi atau pendataan terhadap rumah warga yang dibangun di DAS dan nanti saat persidangan anggaran perubahan Tahun 2022 nanti, pihaknya akan membuat program untuk identifikasi rumah-rumah di daerah rawan bencana.

Tujuannya, kata Beni, ketika terjadi bencana yang tidak bisa diduga sebelumnya, maka Dinas PRKP bersama organisasi perangkat daerah (OPD) terkait lainnya, maka bisa meminimalisir dampak bencana tersebut.

“Jadi, kita harus melakukan identifikasi terlebih dahulu barulah kita mengusulkan kegiatan untuk melakukan relokasi terhadap warga yang teridentifikasi tinggal di DAS atau daerah rawan bencana,” katanya saat diwawancarai di ruang kerjanya, Selasa (5/4).

Beni sapaan akrabnya mengatakan, bencana alam berupa badai siklon tropis seroja menjadi pelajaran berharga bagi Pemerintah Kota (Pemkot) Kupang agar masyarakat tidak lagi mengalami kerugian besar akibat bencana. Karena itu maka upaya prefentif atau pencegahan harus dilakukan saat ini sebelum terjadi bencana alam.

“Itu menjadi tugas Dinas PRKP untuk mengidentifikasi rumah-rumah atau pemukiman yang berada di daerah rawan bencana. Kewajiban kita untuk melakukan penataan kembali atau relokasi,” jelasnya.

Beni mengaku, pihaknya juga akan berkoordinasi dengan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Kupang untuk melakukan mengidentifikasi daerah-daerah rawan bencana yang selama ini terdapat pekumiman warga. Data tersebut, katanya, akan digunakan sebagai informasi data awal, sekaligus terkait dengan tata ruang, untuk menjadi bahan evaluasi.

Identifikasi, katanya, juga dilakukan dengan klasifikasi-klasifikasi yang ada. Misalnya, apakah rumah yang dibangun merupakan milik sendiri atau bersertifikat hak milik orang lain atau apakah pemilik rumah merupakan warga Kota Kupang atau warga pendatang.

Idealnya, kata Beni, untuk menentukan batas wilayah pembangunan pemukiman di daerah DAS sudah sangat sulit di Kota Kupang sehingga tergantung juga pada penampang sungai.

Kalau di wilayah perkotaan yang bertanggul, idealnya pembangunan harus 15 meter sampai 10 meter jarak dari DAS. Sementara daerah perkotaan yang tidak bertanggul, harus 10 meter.

Sebelumnya, Ketua Komisi III DPRD Kota Kupang, Adrianus Talli mengatakan, Kota Kupang sudah memiliki Peraturan Daerah (Perda) Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) dan Rencan Tata Ruang Wilayah (RTRW).

Perda Nomor 12 Tahun 2011 tentang RTRW yang sudah dirubah menjadi Perda Nomor  9 Tahun 2012. Di dalamnya jelas mengatur tentang daerah sepadan sungai.

“Dalam Perda tersebut sudah mengatur secara detail, bahwa 15 meter di pinggir sungai itu merupakan daerah sepadan sungai sehingga tidak boleh ada aktivitas pembangunan apapun di daerah tersebut,” katanya saat diwawancarai belum lama ini.

Sementara itu, kata Adrianus, fakta di lapangan yang terjadi berbeda dari ketentuan tersebut. Banyak pemukiman masyarakat di daerah sepadan sungai atau bantaran kali.

“Fakta lainnya yang ditemukan adalah kalau kita telusuri lebih jauh, masyarakat yang membangun rumah di bantaran kali bukan merupakan warga Kota Kupang. Misalnya di Kelurahan TDM sampai Oesapa,” jelasnya.

“Mereka merupakan pendatang, yang berkoordinasi dengan pemilik tanah lalu membangun di situ. Pertama, mereka sudah melanggar Peraturan Daerah atau Perda,” tambahnya.

Adrianus Talli mengungkapkan, ketika masyarakat melakukan pembangunan di area tersebut, maka akan ada dampak ikutan. Contohnya saat musim penghujan, terjadi bencana longsor dan banjir, tentu mereka akan menjadi korban.

“Karena tujuan pembuatan Perda RTRW itu, di samping untuk menjadi daerah sepadan sungai untuk penghijauan, juga untuk melindungi masyarakat,” ungkapnya.

Dia menjelaskan, ketika masyarakat menempati daerah yang rawan bencana seperti itu maka tentunya ketika bencana terjadi mereka akan menjadi korban bencana. Jadi itu tujuan Perda tersebut.

Dia menjelaskan, kenapa sampai masalah ini bisa terjadi, karena pemerintah di tingkat kelurahan tidak melakukan tugasnya secara baik, tidak melakukan pengawasan terhadap wilayah mereka masing-masing yang rawan bencana atau merupakan daerah bantaran kali.

Harusnya, kata Adrianus, pihak kelurahan harus melakukan pengawasan secara baik sesuai dengan Perda yang sudah ada, karena tidak dijalankan fungsi kelurahan secara baik, maka setiap tahun ada pembangunan warga di daerah bantaran kali, bahkan ada warga yang membangun di dalam kali.

“Kalau sudah terjadi hal seperti ini karena kelalaian pemerintah dan aparatur di tingkat bawah, lalu ketika suatu saat terjadi persoalan siapa yang akan bertanggung jawab atau siapa yang mau disalahkan,” kata Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPRD Kota Kupang ini.

Ketika terjadi bencana, demikian Adrianus, maka masyarakat akan menyalahkan pemerintah, kemudian masyarakat menuntut agar adanya perhatian dari pemerintah, perihal masyarakat sendiri tidak sadar agar akan aturan Perda tidak membangun di daerah bantaran kali.

Untuk itu, saat ini belum terlambat untuk melakukan penataan lebih baik. Pemerintah Kota Kupang harus segera melakukan sosialisasi tentang fungsi dan tujuan dari Perda ini, yang bertujuan untuk keselamatan masyarakat sendiri.

“Lalu masyarakat yang sudah terlanjur beraktivitas atau membangun di daerah Bantaran kali itu, yang terindikasi mereka masuk dalam kategori rawan bencana,  harus disiapkan tempat untuk direlokasi. Sekarang pertanyaannya pemerintah mau atau tidak melakukan penataan itu, dan apakah masyarakat juga mau direlokasi,” ungkapnya.

Belajar dari bencana alam badai siklon tropis seroja yang sudah setahun terjadi, banyak masyarakat yang menjadi korban dan harus direlokasi yang merupakan warga yang tinggal di daerah bantaran kali.

Persoalan ini sudah terjadi, jadi harus ada penataan, jangan lagi menggunakan alasan keterbatasan anggaran, karena untuk sesuatu yang baik untuk masyarakat, tentunya ada banyak jalan keluar.

“Jika Pemerintah Kota Kupang keterbatasan anggaran, maka bisa berkoordinasi dengan pemerintah pusat untuk membantu, sama seperti sekarang,  kita menyiapkan lahan dan pemerintah pusat membangun, jadi kalau untuk keselamatan masyarakat, jangan lagi kita beralasan keterbatasan anggaran,” pungkasnya. (r2/gat)

 

  • Bagikan