KUPANG, TIMEX – Rencana pembangunan Bendungan Kolhua di Kota Kupang telah masuk dalam Proyek Strategis Nasional (PSN). Dengan demikian mendapat penganggaran dari APBN dan telah direstui Pemerintah Provinsi NTT untuk dibangun.
Pemerintah Provinsi NTT telah mengajukan permintaan kepada presiden agar segera dibangun. Usulan ditindaklanjuti Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) melalui Dirjen Sumber Daya Air melalui Balai Wilayah Sungai (BWS) Nusa Tenggara II.
Rencana pembangunan ini terus mendapat penolakan dari masyarakat Kelurahan Kolhua, namun pemerintah tetap “ngotot” membangun untuk memenuhi kebutuhan air minum bagi warga Kota Kupang.
Kepada pemilik wilayah, Pemerintah Kota Kupang bersama Balai Wilayah Sungai (BWS) NTT II mulai melakukan sosialisasi pembangunan bendungan Kolhua.
Kegiatan sosialisasi yang dibuka Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Kupang, Fahrensy Priestly Funay dan Kepala BWS NTT II Agus Sosiawan itu diselenggarakan di Aula El Tari Kupang, Kamis (7/4).
Puluhan masyarakat dari 136 keluarga yang terdampak akibat rencana pembangunan tersebut dan pemilik tanah diundang dalam sosialisasi tersebut, namun sebagian besar warga tidak hadir karena tidak menginginkan pembangunan bendungan tersebut.
Mereka tetap menolak lantaran banyak lahan pertanian produktif serta situs budaya, kuburan dan tanaman lainnya yang selama ini menghidupi serta memberikan pendidikan kepada masyarakat.
Maksi Melianus Buifena, pemilik lahan saat menghadiri acara sosilisasi tersebut mengaku menjadi salah satu pejuang untuk menolak Bendungan Kolhua sejak tahun 2013.
Dikatakan, dalam perjuangannya itu mendapat dukungan penuh dari Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat yang saat itu sebagai anggota DPR RI.
Ia menyebut, perjuangan itu sangat melelahkan hingga saat ini dan ternyata Gubernur Viktor Bungtilu Laiskodat malah balik mengajukan permohonan pembangunan bendungan.
“Saya sangat sakit hati ketika mendengar kalau gubernur yang bersurat meminta pembangunan bendungan ini. Padahal dia (Gubernur, Red) saat di Gereja Imanuel Kolhua mengeluarkan pernyataan bahwa langkahi dulu mayatnya baru bangun bendungan. Untuk itu kami masyarakat tetap memegang pernyataan tersebut dan tetap menolak,” katanya.
Alasan lain, menurut Mantan Camat Semau itu, adalah lokasi tersebut merupakan lahan pertanian dan lahan produktif yang selama ini dikelola untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sekitar.
“Sawah kami itu dikelola untuk membesarkan dan memberikan pendidikan kepada anak-anak kami. Kami hidup dari sawah-sawah itu,” sebutnya.
Disebutkan, pada lokasi yang direncanakan untuk pembangunan bendungan itu juga terdapat cagar budaya Helong yang merupakan peninggalan dan ciri khas keberadaan orang helong yang pertama mendiami wilayah Kota Kupang.
Selain itu, banyak sekali kuburan leluhur yang dikuburkan di lokasi tersebut sehingga ia tetap berjuang bersama warga Kolhua memmpertahankan lahan tersebut.
“Sampai kapan pun kami tetap menolak. Jangan sekali-kali masuk Kolhua untuk melakukan aktivitas pembangunan. Salam untuk Pak Gubernur, kami tetap pegang komitmen langkahi dulu mayatnya,” tegas Mantan Kadis Koperasi Kabupaten Kupang itu.
Sebelum mengakhiri pembicaraannya, ia mengusulkan agar lokasi bendungan dipindahkan ke bagian bawah atau ke bagian atas agar masyarakat tetap memanfaatkan lahan pertanian masyarakat.
“Usul konkret saya, kalau pemerintah ngotot membangun bendungan ini lebih baik digeser ke bagian bawah atau di bagian atas,” ungkapnya.
Eduard, warga RT/25 kelurahan Kolhua juga menyesali sikap pemerintah yang selalu membohonggi masyarakat kolhua. Dibeberkan, pembohongan pertama, pemerintah berdalih ingin membangun pasar rakyat namun terakhir masyarakat yang buka usaha di sekitar pasar pun diusir.
Disebutkan hal ini soal keberpihakan pemerintah kepada masyarakat jangan terus membohonggi masyarakat dengan alasan pembangunan fasilitas umum.
“Kebohongan ini kembali digaungkan padahal kami sudah berusaha sejak tahun 1993 untuk pertahankan lahan, namun dibohongi dengan alasan keberpihakan, namun sampai saat ini tidak ada keberpihakan,” sebutnya.
Ia menegaskan berdasarkan pengalaman tersebut, secara pribadi menolak rencana pembangunan bendungan Kolhua. “Kami tetap menolak,” katanya.
Warga lainnya, Marsel Tanaf mengatakan lahan yang sedang dipersiapakan untuk pembangunan bendungan merupakan lahan peninggalan leluhur sehingga harus ada solusi terbaik yang diberikan kepada masyarakat.
“Sosialisasi kepada masyarakat secara baik. Keluhan atas peninggalan yang ada di lokasi tersebut sejauh ini abaikan pemerintah,” katanya.
Sementara itu, tokoh masyarakat sekaligus mantan Kadis PUPR NTT, Piter Djami Rebo dalam kesempatan itu mengatakan, pentingnya kejelasan informasi yang disampaikan harus benar diresapi oleh masyarakat awam. Tujuannya agar informasi itu tidak bias dan menimbulkan gejolak.
Menurutnya, informasi yang disampaikan itu bisa berkaitan dengan dampak pembangunan hingga rencana awal. Penyampaian informasi secara gamblang ke masyarakat, baginya merupakan kunci utama.
Di tempat lain, katanya, persoalan ini merupakan pendekatan antar pemerintah atau pelaksana dengan masyarakat. Jika pendekatan yang dilakukan dengan baik, detail maka polemik bisa diatasi.
“Dia menjadi krusial karena informasinya kurang jelas, tetapi kalau informasi itu jelas pasti masyarakat akan menerima,” katanya. (r3/ito)