KUPANG, TIMEXKUPANG.FAJAR.CO.ID – Puluhan anak muda di Kota Kupang yang tergabung dalam komunitas Jokowi-Prabowo (Jokpro) menolak isu penundaan pemilihan umum Presiden pada 2024 mendatang. Kelompok milenial tersebut membawa spanduk dan sejumlah selebaran penolakan terhadap isu penundaan Pemilu 2024.
Spanduk dan selebaran juga memuat dukungan terhadap Presiden Joko Widodo untuk kembali dicalonkan menjadi Presiden RI periode ketiga, dengan slogan salam tiga jari.
Aksi damai tersebut berlangsung di ruas Jalan Frans Seda, Kecamatan Oebobo, Kota Kupang, Sabtu (9/4). Koordinator aksi, Johanis Kornelis Talan mengatakan, aksi spontanitas yang dilakukan sebagai bentuk kecintaan terhadap Presiden Joko Widodo. Selain itu, aksi yang dilakukan sebagai bentuk penolakan terhadap isu penundaan Pemilu.
Menurut Joko, isu yang sementara bergulir tersebut telah mencederai konstitusi dan UUD 1945. “Sesuai ketentuan pemilu 2024 harus tetap dilaksanakan dan tidak boleh ada penundaan karena bertentangan dengan UUD 1945 dan menciderai Demokrasi,” ungkap Joko Talan.
Joko Talan menegaskan dirinya dan kelompoknya mendukung Jokowi menilai kepemimpinan Jokowi berpihak kepada rakyat dan sangat peduli terhadap pembangunan di daerah.
“Kami sangat mendukung Jokowi yang pro rakyat kecil sehingga kami menyatakan dukungan penuh kepada Jokowi bersama Prabowo,” ujarnya.
Jokowi juga telah belasan kali mengunjungi NTT, hal tersebut sebagai bukti bahwa Jokowi cinta dan sangat peduli terhadap pembangunan di NTT.
Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Nusa Cendana, Jhon Tuba Helan, mengatakan wacana penundaan Pemilu 2024 itu merupakan wacana dangkal. “Wacana yang dangkal. Harusnya para elit politik mewacanakan sesuatu yang bisa membawa perubahan, tapi ini tidak,” katanya.
Jhon Tuba Helan menjelaskan, secara konstitusi, Pasal 22 E ayat (1) UUD 45 menyatakan bahwa pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekali.
Artinya pemilu yang lalu di tahun 2019 maka berikutnya di tahun 2024. Sampai saat ini tidak ada alasan mendasar untuk penundaan pemilu. Oleh karena itu, wacana penundaan pemilu tidak berdasar dan tidak akan terlaksana.
“Pimpinan partai politik yang mengemukakan wacana itu, mungkin tidak pernah membaca UUD 1945, sehingga boleh berbicara sesuka hati,” tegasnya.
Makna dari pemilu sekali dalam lima tahun, yakni masa kepemimpinan nasional baik legislatif maupun eksekutif adalah lima tahunan, maka di tahun 2024 habis masa jabatan dan harus diganti melalui pemilu. Menurut Jhon, tidak ada ruang memperpanjang masa jabatan di luar mekanisme pemilu.
Terpisah, pengamat politik Yohanes Jimmy Nami, menilai wacana Ini memang sengaja dikemas oleh kelompok tertentu yang memang punya kepentingan melekat dengan rezim saat ini.
“Konflik interest jelas, karena jika dilihat memang tidak ada urgensinya selain upaya untuk mendorong langgengnya kekuasaan dan kepentingan di sekitarnya,” katanya.
Penundaan pemilu untuk kepentingan politik tertentu jelas inkonstitusional dan mengangkangi undang-undang serta menodai demokrasi Indonesia dan semangat reformasi yang sudah baik. Peta potensi penundaan pemilu bisa saja terakomodir jika ini kemudian menjadi wacana kolektif dari parpol yang dominan di parlemen.
“Ini yang perlu kita waspadai jangan sampai wacana ini jadi pintu masuk bagi oligarki, rent seeking dan lain-lain yang malah menodai penguatan demokrasi Indonesia,” tegasnya.
Jimmy mengaku optimistis sikap kenegarawan para pemimpin bangsa yang akan menjadi penopang penguatan demokrasi Indonesia agar tidak terjerumus dalam kepentingan jangka pendek yang kemudian meruntuhkan tatanan demokrasi Indonesia. (r3/ito)