Mengenal Ian Fouk Runa, Mahasiswa Semester Akhir yang Peduli Teman Tuli

  • Bagikan
Ian Fouk Runa, Mahasiswa Atambua yang peduli teman Tuli. (FOTO: Dok. Tari Ismail)

Kedua tangannya begitu lentur. Terkadang wajahnya terlihat garang. Ceria, lembut, dan mimik sedih. Gerakan bibir dibarengi gerakan tangan serta mimik wajah yang terlihat ekspresif, membuat sosok ini benar-benar menjiwai peran yang dia lakoni saat ini. Apa yang dilakukan sosok lelaki ini semata-mata demi menyampaikan informasi bagi teman tulinya.

---------

Namanya Ian Fouk Runa. Sering disapa Ian. Ia tercatat sebagai mahasiswa semester akhir Program Ilmu Komunikasi, Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang. Berbekal ilmu yang diperoleh di bangku kuliah, Ian berusaha mewujudkan kepeduliannya kepada kaum disabilitas. Khususnya penyandang disabilitas tuli.

Ian mengabdikan dirinya untuk penyandang disabilitas sebagai teman tuli. Ian pun berusaha membekali dirinya dengan mempelajari Bahasa Isyarat Indonesia (Bisindo). Bagi Ian, belajar Bisindo bukanlah pekerjaan mudah.

Berkat ketekunan dan ketelatenannya, kini Ian sudah mahir memeragakan Bisindo. Tekad Ian menjadi teman tuli akhirnya terwujud. Ian pun diajak bergabung dalam komunitas Juru Bahasa Isyarat (JIBI) Provinsi NTT, dan mendapat kesempatan mengisi acara atau kegiatan yang berhubungan dengan Bisindo.

Dalam suatu kesempatan wawancara dengan Ian, mahasiswa asal Atambua, Kabupaten Belu ini mengaku mulai mempelajari Bisindo sejak Maret 2020.

Ian mengaku tertarik dengan Bisindo karena semenjak kuliah daring, ia lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah. Inilah yang membuatnya berkeinginan mempelajari hal baru dan positif. Dengan mempelajari Bisindo, Ian bisa membangun relasi baru dari dunia barunya itu.

“Saya mempelajari Bisindo agar keberadaan Bisindo bisa terus hadir menjadi identitas teman tuli. Meskipun di semester akhir ini saya juga memiliki kewajiban untuk menyelesaikan tugas kuliah, tetapi saya merasa aktifitas baru saya ini bisa membantu teman tuli mengakses informasi,” ungkap Ian ketika diwawancarai Jurnalis Warga belum lama ini.

Untuk dapat berbicara dan menjadi penerjemah bahasa isyarat, Ia mengaku membutuhkan proses yang tidak cepat. Harus rutin memeragakan serta berkomunikasi dengan penyandang disabilitas tunarunggu. “Makanya saya bersyukur bisa bergabung dengan JIBI NTT, karena saya dapat secara langsung memperagakannya,” ujarnya.

Ia mengaku, bahasa isyarat sangat penting, karena tidak selamanya orang yang non disabilitas akan normal sampai akhir hayat. “Ketika kita ada dalam masalah alat indera yang berkurang fungsinya, maka kita bisa menggunakan Bisindo ini sebagai sarana berkomunikasi. Adapun keuntungan lainnya, kita tidak perlu mengeluarkan suara yang besar di saat berada di keramaian karena dengan Bisindo, semua urusan komunikasi bisa teratasi. Wawasan dan perasaaan kita bisa terbuka pada teman-teman disabilitas, agar kita tidak bertindak semena-mena, melainkan bisa saling menghormati satu sam lain sebagai manusia,” urai Ian. (*)

Penulis: Tari Rahmaniar Ismail (Jurnalis Warga)

  • Bagikan