Inspirasi Perempuan NTT

  • Bagikan
Ketua DPRD NTT, Ir. Emelia J. Nomleni. (FOTO: ISTIMEWA)

KUPANG, TIMEXKUPANG.FAJAR.CO.ID-Hari Kartini menjadi spesial bagi para wanita Indonesia, termasuk wanita di NTT. Kartini masa kini pun mulai bermunculan, dari pejabat publik, politisi, hingga aktivis.

Untuk politisi, tak sedikit srikandi yang berkecimpung di dalamnya hingga duduk sebagai legislator. Peran aktifnya dalam membangun ataupun memperjuangkan aspirasi dan strata perempuan pun sudah kerap kali dilakukan.

Sebut saja Ir. Emelia Julia Nomleni. Ia seorang militan. Kiprahnya mampu menjadi ujung tombak kaum hawa di PDI Perjuangan, sehingga pantas dia dipercaya menjadi Ketua DPRD Provinsi NTT. Dalam sejarah NTT, ia adalah Ketua DPRD pertama dari kaum perempuan.

Berbincang dengan TIMEX di ruang kerjanya, Rabu (20/4), sosok yang biasa disapa Mama Emi ini menyampaikan Selamat Hari Kartini, bukan saja kepada wanita di NTT namun juga kepada laki-laki. Baginya, sosok laki-laki dan perempuan merupakan dua makhluk yang tidak bisa dipisahkan satu dengan lain.

Sebagai seorang perempuan, ujar Ketua DPD PDI Perjuangan NTT ini, sepantasnya menyampaikan terima kasih kepada Raden Ajeng Kartini, karena Kartini berhasil mengubah cara pandang tentang kondisi perempuan saat itu, dimana mereka tidak diberikan ruang yang cukup, terutama soal pendidikan.

Kartini berupaya untuk memberikan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan yang setara dengan laki-laki. Meskipun saat ini, masih banyak perempuan yang masih berurusan dengan urusan domestik, namun bagi Mama Emi, sepanjang itu masih dalam rangka pembagian peran antara laki-laki dan perempuan, masih bisa dibolehkan.

“Kartini berhasil keluar dari zona nyamannya. Padahal kalau dilihat, dia seorang keturunan Ningrat. Tapi dia masih berpikir agar perempuan bisa mendapatkan pendidikan yang setara dengan laki-laki. Tidak semua perempuan keturunan berpikir seperti Kartini. Itulah yang membedakan dia dengan perempuan lain pada zaman itu,” kenang Mama Emi. "Ketika dia mengambil langkah untuk keluar dari zona nyamannya, saya pikir itu luar biasa,” tambahnya.

Membandingkan dengan perempuan masa kini, Emi Nomleni sedikit memberikan pertanyaan refleksi, apakah perempuan modern sekarang masih berpikir seperti Kartini, meninggalkan zona nyamannya untuk berpikir tentang perempuan lain atau masyarakat secara umum?

“Apakah perempuan-perempuan yang sudah mapan dalam segala kondisi juga ingin berbagi kepada perempuan perempuan lain yang ketika dia juga ada dalam dalam kondisi yang tidak pasti,” katanya bertanya. "Misalnya saya sebagai anggota DPRD, apa yang bisa saya lakukan untuk perempuan. Pun dalam pengambilan kebijakan anggaran yang berpihak pada kepentingan perempuan,” ujarnya.

“Hari Kartini juga menjadi refleksi untuk kita perempuan yang dianggap sudah melangkah lebih jauh. Kita harus bisa meninggalkan legacy yang baik, minimal orang melihat bahwa oh perempuan bisa mencapai titik ini, berarti yang lain pun bisa,” tambahnya.

Selain itu, lanjutnya, ketika perempuan berada pada ruang yang bertangungjawab pada kebijakan anggaran, perempuan terlibat untuk memperjuangkan kepentingan perempuan. “Kepentingan perempuan itu bagi saya menjadi lebih kompleks, lebih terbuka. Kalau dulu Kartini bicara tentang Pendidikan, hari ini ada banyak hal yang menjadi perjuangan perempuan. Bagi saya, ketika sudah makin maju, ini tidak lagi menjadi sebuah perjuangan perempuan tetapi juga perjuangan dari laki-laki,” tegasnya. "Kita berharap bahwa relasi ini sudah berada pada sebuah kesadaran bahwa soal perempuan dan laki-laki itu setara. Ada pembagian tugas tapi dalam kepentingan kita bersepakat,” tuturnya.

Mama Emi mengakui, masih ada hal-hal yang menjadi penghambat kemajuan perempuan namun hal itu harus segera dirubah. Bahwa perempuan harus hadir dalam proses pembangunan, hal itu membutuhkan kerja keras. Ia juga memberi apresiasi terhadap sejumlah kemajuan yang dicapai oleh perempuan dewasa ini.

“Dan jika ada dua pimpinan DPRD NTT dari perempuan saat ini, itu bukan proses yang tiba-tiba turun dari langit tapi membutuhkan proses yang panjang. Dan proses itu bukan hanya ada pada perempuan tapi juga pada laki-laki,” ujarnya.

Berbicara tentang laki-laki dan perempuan, bagi Emi, harus lebih didekatkan pada kesetaraan, sehingga perjuangan perempuan itu bukan untuk melebihi laki-laki tapi ada pada posisi bersama-sama dengan laki-laki untuk mengelolah. “Itu kondisi saat ini sehingga kita perlu berterima kasih kepada Kartini dan perempuan pejuang lainnya saat itu,” ucapnya.

Menurut Mama Emi, untuk kondisi saat ini, sudah banyak kesadaran dari masyarakat untuk memberikan ruang yang cukup bagi perempuan, dimana sudah banyak perempuan yang cukup berhasil di berbagai bidang, seperti Ketua DPRD perempuan, Menteri perempuan dan sebagainya. Baginya, itu merupakan capaian yang harus diberi apresiuasi. “Tapi masih banyak hal karena, makin ke sini kita makin terbuka tentang kebutuhan perempuan yang sesungguhnya, seperti Kesehatan, Pendidikan dan sebagainya,” tuturnya.

Di bidang politik, jelas Mama Emi, ruang untuk perempuan sudah sangat terbuka dewasa ini. Ia mencontohkan di partai yang dipimpinnya, banyak perempuan-perempuan muda yang bergabung ke PDI Perjuangan. Namun, baginya, harus ada kesadaran bagaimana membuat perempuan itu siap untuk masuk ke politik.

“Saya tidak ingin bicara tentang kualitas, saya tidak bicara tentang hal-hal yang justeru itu dipakaikan pada perempuan yang justeru memberatkan dia. Bicara kualitas harus ada pada laki-laki dan perempuan,” katanya.

Tugas partai politik, katanya adalah bagaimana memberikan pendidikan politik dan itu belum sepenuhnya dijalankan. Karena bagi Emi, rekrutmen perempuan lebih pada pemenuhan quota. Bagi Mama Emi, walaupun itu agak sedikit tendensius namun ia menduga ada kekuatiran karena ketika secara regulasi diberi ruang, menjadi ancaman bagi laki-laki.

Mama Emi menuturkan, ada banyak factor juga yang menyebabkan perempuan jarang masuk ke ranah politik. Terutama perempuan yang secara ekonomi sudah mapan, mereka lebih memilih zona nyaman dengan menekuni apa yang sudah dikerjakannya.

Hal itu berbebeda dengan laki-laki, dimana dia bisa meninggalkan profesi lain dan terjun ke politik. “Biasanya perempuan yang masuk ke politik, tidak melalui proses panjang tapi mencopotnya di tengah jalan,” katanya.

Hal itu juga lebih disebabkan karena kita belum memiliki rule model tentang kepemimpinan perempuan, sehingga ketika membranding dirinya membutuhkan ruang terbuka untuk melihat lebih banyak pemimpin perempuan. "Sehingga kalau perempuan menjadi pemimpin selalu dibandingkan dengan model kepemimpinan laki-laki,” ucapnya lagi.

Bagi perempuan yang ingin terjun ke politik, demikian Mama Emi, hal yang perlu dilakukan adalah mengenali diri sendiri dan jangan pernah takut. “Karena perempuan itu masih merasa terjebak dengan kedua hal ini, tidak percaya diri sehingga selalu membandingkan dirinya dengan orang lain yang sudah mapan. Jangan hidup di level orang lain,” saran dia.

Menurutnya, rata-rata perjuangan perempuan diperjuangkan oleh perempuan-perempuan seperti aktivis, politisi yang memiliki power full, tetapi kecondongan itu belum menjadi sebuah gerakan semangat kaum perempuan. Perempuan juga harus memberikan apresiasi kepada perempuan lain ketika melakukan hal-hal yang baik dan kalaupun harus menegur harus dengan cara yang baik, bukan sebagai kompetitor tapi sebagai teman seperjuangan.

“Perjuangan kita masih panjang. Perjuangan kita sekarang adalah untuk kemaslahatan perempuan, bukan lagi soal kesetaraan. Sekarang masih ada ketimpangan karena kebutuhan perempuan itu beda dengan laki-laki, “ katanya. (*)

PENULIS: Yopy Lati
EDITOR: Marthen Bana

  • Bagikan

Exit mobile version