JAKARTA, TIMEXKUPANG.FAJAR.CO.ID-Pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 tak lama lagi. Menghadapi hajatan politik lima tahunan itu, Kementeran Dalam Negeri (Kemendagri) melalui Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Ditjen Dukcapil) mengusulkan agar seluruh peserta Pemilu perlu membuat pernyataan tak punya paspor negara asing. Peserta Pemilu yang dimaksudkan adalah mereka yang akan bertarung di Pemilu Presiden (Pilpres), Pemilu Legislatif (Pileg), dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).
Usulan ini disampaikan Direktur Jenderal (Dirjen) Dukcapil, Zudan Arif Fakrulloh. Bagi Zudan hal ini penting, sebab selama ini kewarganegaraan Indonesia menganut stelsel pasif.
“Kalau tidak ditanya, para pasangan calon presiden (Capres) atau calon anggota legislatif DPR/DPD/DPRD (Caleg) serta calon kepala daerah (Cakada) tidak pernah mendeklarasikan mereka pernah punya paspor negara lain atau tidak,” kata Zudan kepada wartawan, di Jakarta, Jumat (20/5). “Jadi ada satu formulir yang dipersiapkan oleh KPU, sehingga calon atau pasangan itu mau men-declare hal tersebut,” tegasnya.
Zudan menjelaskan, sampai saat ini WNI yang mempunyai Paspor negara lain tidak otomatis dinyatakan kehilangan kewarganegaraan. Karena masih memerlukan tindakan atau keputusan pemerintahan yang memastikan kapan kewarganegaraannya hilang.
Menurut Zudan, dalam administrasi pemerintahan, apa yang dikatakan batal demi hukum itu tidak ada yang terjadi secara otomatis. Hal itu merujuk saat dirinya menangani kasus Djoko Tjandra dan pemilihan Bupati Sabu Raijua, dimana terpilih Orient Riwu Kore. Dua sosok ini ternyata memiliki kewarganegaraan ganda dengan memiliki dua paspor.
“Djoko Candra memiliki Paspor Papua Nugini, Orient Riwu Kore punya paspor Amerika Serikat. Tapi keduanya masih juga berstatus WNI dalam Sistem Adminduk karena yang bersangkutan tidak pernah melapor, tidak pernah melepaskan kewarganegaraan, sehingga pemerintah tidak tahu bila yang bersangkutan memiliki dua paspor,” ungkap Zudan.
Padahal, lanjut Zudan, dalam Pasal 23 UU Kewarganegaraan dikatakan, salah satu penyebab hilangnya kewarganegaraan adalah memiliki paspor negara lain. Selayaknya, WNI yang mempunyai dua paspor bisa diberikan sanksi.
“Sehingga ketika memenuhi syarat melakukan perbuatan yang telah ditetapkan, maka orang tersebut dapat diberi sanksi kehilangan kewarganegaraannya. Nah, disinilah tindakan pemerintahan yang bersifat konkrit, individual dan final diperlukan. Esensinya adalah diperlukan adanya sebuah keputusan dari pemerintah,” tegas Zudan.
Zudah mengungkapkan, dari dua kasus tersebut, dalam waktu yang bersamaan keduanya memiliki paspor namun tidak otomatis kehilangan kewarganegaraannya dan masih berstatus WNI. Hal Ini disebabkan belum ada tindakan administrasi pemerintah.
Pakar Hukum Administrasi Negara ini juga menjelaskan, pengalamannya di Biro Hukum Kemendagri tahun 2008 hingga 2014, ada asas hukum yang mengatakan ‘Lex superiori derogat legi inferiori’. Artinya, peraturan yang lebih tinggi mengalahkan peraturan yang lebih rendah.
“Tapi ketika perda-perda di daerah tidak dibatalkan, tetap saja perda yang lebih rendah dari UU dan bertentangan dengan UU, tetap dijalankan dan tidak batal. APBD sah, Perda Perizinan jalan,” papar Zudan.
Oleh karena itu, Zudan berpandangan, sepanjang belum ada tindakan administrasi pemerintahan maka Pasal 23 itu belum masuk pada perbuatan hukum konkret. “Jadi kita belum tahu, Orient Riwu Kore itu kapan kehilangan kewarganegaraan RI-nya, Djoko Tjandra kapan kehilangan kewarganegaraannya,” pungkas Zudan.
Sebagaimana diberitakan media ini sebelumnya, dalam kasus Pilkada Sabu Raijua, Orient Riwu Kore terpilih sebagai bupati bersama wakilnya, Thobias Uly. Namun karena memilki paspor negara asing, pasangan calon lainnya yang kalah mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Hasilnya, MK mendiskualifikasi kemenangan Orient-Thobias, dan memerintahkan KPU setempat menggelar Pilkada ulang. Hasilnya, terpilih bupati Nikodemus Rihi Heke bersama wakilnya, Yohanis Kale Uly. (jpc/jpg/aln)