KUPANG, TIMEXKUPANG.FAJAR.CO.ID-Komisi III DPRD NTT meminta Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTT untuk segera melakukan audit investigasi dari lembaga independen terhadap perusahaan milik daerah PT. Flobamora. Audit investigasi dilakukan bukan untuk mencari-cari kesalahan namun untuk melihat kinerja perusahaan itu sehingga bisa memberikan kontribusi bagi daerah.
Sementara Dirut PT Flobamora, Agustinus Z. Bokotei, menyatakan kesiapannya jika dilakukan audit dari lembaga independen meskipun setiap tahunnya dilakukan audit oleh auditor yang ditunjuk oleh perusahaan maupun dari BPK RI Perwakilan NTT.
Hal itu tercapai dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Komisi III DPRD Provinsi NTT dengan Manajemen PT. Flobamora yang berlangsung di Gedung DPRD NTT, Rabu sore (25/5).
Rapat dipimpin langsung Ketua Komisi III, Jonas Salean, SH, M.Si dan dihadiri sejumlah anggota komisi. Hadir pula Wakil Ketua DPRD NTT, Dr. Ince Sayuna, SH. Dari PT. Flobamora hadir langsung Dirut, Agustinus Z. Bokotei, Direktur Operasional, R. Ataupah, serta Kepala Biro Ekonomi, Dr. Lerry Rupidara.
Ketua Komisi III, Jonas Salean di awal rapat menjelaskan, RDP dengan PT. Flobamora dimaksudkan untuk mendengar penjelasan dari manajemen perusahaan terkait sejumlah persoalan yang selama ini mengemuka di publik. Diantaranya, pernyataan Komisaris Utama (Komut) di media sosial pemandangan umum fraksi-fraksi DPRD NTT terhadap perusahaan daerah itu.
Menurut Jonas Salean, Komisi III merasa heran karena keberadaan Komisaris di perusahaan itu terlalu mencampuri urusan teknis yang sebenarnya menjadi tugas dewan direksi perusahaan.
Kata Jonas, DPRD tidak memiliki urusan dengan Komisaris Utama PT. Flobamora karena mitra mereka adalah Gubernur NTT.
“Tugas Komisaris itu adalah melakukan pengawasan, tidak seenaknya mengeluarkan pernyataan terkait pemandangan umum fraksi. Apalagi menurut pengakuan Dirut, mereka tidak tahu menahu Komut membuat pernyataan seperti itu. Ini jadinya rancu,” ujar Jonas.
Jonas Salean melanjutkan, persaoalan yang juga perlu mendapat penjelasan adalah terkait kontribusi perusahaan itu terhadap PAD dari sejumlah unit usaha yang dilakukan perusahaan plat merah tersebut serta terkait pengelolaan Hotel Sasando Internasional, nasib Hotel Plago di Labuan Bajo setelah diambil alih Pemprov, kesimpangsiuran dana Rp 1,6 miliar, dan sejumlah persoalan lainnya.
Masih kata Walikota Kupang periode 2012 - 2017 ini, Komisi III perlu mendapatkan penjelasan karena pendirian sebuah BUMD seperti PT. Flobamora dimaksudkan untuk memberikan kontribusi bagi pendapatan daerah dan bukan menjadi beban keuangan daerah.
Dirut PT. Flobamora, Agustinus Z. Bokotei pada kesempatan itu menjelaskan pihaknya masuk mengelola PT. Flobamora sejak September 2018 lalu. Saat awal memimpin perusahaan itu, terdapat kerugian sebesar Rp 4 miliar. Setelah memimpin perusahaan milik pemerintah itu, pada tahun buku 2020 langsung menciptakan laba senilai Rp 1,2 miliar. Laba tersebut selanjutnya disetor ke kas daerah senilai Rp 500 juta dan Rp 5 juta disetor ke Koperasi Prajamukti serta sisanya menjadi biaya operasional perusahaan.
PT. Flobamora, lanjut Agustinus, menjalankan bisnis pengelolaan kapal perintis yang melayani sejumlah rute yang tidak dilayani oleh PT. ASDP dengan dua kapal, yakni KMP. Pulau Sabu dan KMP. Sirung. Dua kapal ini dikelola dengan bantuan subsidi dari Kementrian Perhubungan (Kemenhub) senilai Rp15 miliar tiap tahun. Sedangkan satu kapal lainnya yakni KMP. Ile Boleng hingga saat ini tidak beroperasi karena mengalami kerusakan.
Usaha lain yang dijalankan adalah pengelolaan Sasando Internasional Hotel melalui anak perusahaan PT. Flobamora Bangkit Internasional. Dalam kaitannya dengan Hotel Sasando, ia menyebut bahwa sejak diambilalih tahun 2018, pihaknya telah memberikan kontribusi untuk kas daerah kurang lebih mencapai Rp 800 juta. Sedangkan terkait pengelolaan Hotel Plado di Labuan Bajo, kendati telah dilakukan PKS dengan Pemprov NTT, namun tidak berjalan karena terkait HGB dengan pengelolah sebelumnya.
Bisnis lain yang juga sedang berjalan baik adalah kerja sama dengan Perusahaan Daerah DKI Jakarta dalam hal pengiriman sapi ke DKI. Kerja sama tersebut berjalan baik bahkan perusahaan daerah milik Pemprov DKI kerap melakukan pembayaran di depan (DP) untuk pembelian sapi.
Sedangkan terkait dengan polemik deviden Rp1,6 miliar, menurut penjelasan Dirut, bahwa mereka tidak tahu menahu terkait deviden tersebut sebagai temuan BPK RI Perwakilan NTT karena hingga saat ini mereka tidak pernah disampaikan oleh BPK RI maupun oleh Biro Ekonomi.
Diakuinya bahwa BPK RI Perwakilan NTT melakukan audit setiap tahunnya, namun terkait temuan Rp 1, 6 miliar tersebut tidak pernah disampaikan.
Terhadap hal itu, Wakil Ketua DPRD NTT, Dr. Ince Sayuna mengaku heran karena Biro Ekonomi tidak menyampaikan temuan tersebut kepada PT. Flobamora padahal setelah penyerahan hasil audit kepada Pemerintah langsung dilakukan tindak lanjut selama 60 hari hari.
Terkait audit investigasi yang diminta DPRD, Agustinus Bokotei sepakat untuk melakukan, termasuk melakukan audit investigasi terhadap anak perusahaan PT Flobamora yang pendiriannya menghabiskan dana sekitar Rp 11 miliar itu. (yl)