KUPANG, TIMEXKUPANG.FAJAR.CO.ID-Fakultas Hukum Universitas Kristen Artha Wacana (FH-UKAW) Kupang bekerjasama dengan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK RI) menggelar kuliah tamu di kampus itu.
Kuliah tamu kali ini langsung dibawakan Hakim Konstitusi, MK RI, Dr. Daniel Y. P. Foekh, S.H.,M.H. Daniel dalam pemaparannya menyampaikan tentang "Proses Beracara di Mahkamah Konstitusi".
Kuliah tamu tersebut antusias diikuti ratusan mahasiswa dan para dosen serta sejumlah praktisi hukum lainnya yang berlangsung di ruang O, Gedung Rektorat UKAW Kupang, Jumat (3/6).
Usai memaparkan materinya, Daniel Foekh dicecar sejumlah pertanyaan dari peserta. Salah satunya mempertanyakan, apakah proses pengambilan keputusan perkara di MK juga sering mendapatkan interfensi atau tekanan dari luar yang kemudian mempengaruhi hasil keputusan, dan bagaimana menghindarinya?
Menjawab pertanyaan mahasiswa ini, Daniel Foekh mengatakan, terkait intervensi, dirinya tidak ingin berandai-andai, namun diakui bahwa dalam beberapa kejadian, intervensi itu ada, dan dalam berbagai hal.
Daniel menjelaskan, dalam menjalankan tugas, setiap hakim konstitusi dilengkapi dengan dua sekretaris (hukum dan non hukum), dan peneliti yang mendampingi hakim. Hakim MK sendiri diberikan otoritas untuk menyampaikan pemahamannya.
Setiap perkara yang diterima harus diproses berdasarkan tahapan yang ada. Namun ada perkara yang langsung ditangani dan diputuskan lebih cepat sedangkan ada perkara yang membutuhkan pendalaman atau penelitian terlebih dahulu sehingga membutuhkan waktu yang lama.
"Ada perkara yang dilihat lalu diputuskan. Tetapi ada perkara yang lambat diputuskan karena tidak hanya melihat dari satu aspek, namun dilihat dari berbagai aspek," terangnya.
Dikatakan, setiap perkara di MK, ditangani oleh 9 orang hakim konstitusi. Jumlah ini tentu berbeda dengan proses peradilan di tingkat pengadilan negeri dan pengadilan lainnya.
Dari 9 hakim konstitusi yang ada, ketika mengambil keputusan, masing-masing hakim menyampaikan pendapatnya terhadap perkara yang sedang diadili. Dalam sebuah perkara memiliki beragam pendapat karena ada yang memiliki pandangan yang sama, namun berbeda masukannya.
Jika ada pendapat yang dissenting opinion, dikatakan tidak selamanya digunakan atau tidak menjadi dasar pengambilan keputusan, untuk menjaga kewibawaan putusan MK, maka harus mengunakan pendapat mayoritas (suara terbanyak).
Daniel menyebut, intervensi selalu ada. Namun dengan sistem peradilan dan aturan main yang ada di MK yang terus dibenahi, intervensi itu dapat diminimalisir dan sudah semakin baik.
"Kalau ada intervensi saat ini sudah sering terjadi tetapi untuk menjaga marwah lembaga karena putusan MK bersifat final, maka jika ada dissenting, kami gunakan pendapat mayoritas. Hal ini dinilai, bisa meminimalisir semua tekanan dari penguasa," sebutnya.
Intervensi, dikatakan sering datang dari partai pokitik, lembaga-lembaga, teman, keluarga, dan hubungan kedekatan lainnya. Karena itu, kata Daniel, guna menghindari intervensi itu, misalnya dalam sengketa Pilkada, hakim konstitusi yang ditunjuk mengadili sengketa tersebut bukan berasal dari wilayah pemohon berasal.
"Pernah ada hakim yang terlibat dan berurusan dengan KPK tetapi dengan sistem yang dibentuk secara ketat terus memperkuat adanya intervensi termasuk panitera, panitera pengganti harus disumpah," ungkapnya.
"Intervensi selalu ada namun kami selalu menjaga kewibawaan dan marwah lembaga Mahkamah Konstitusi. Jika saya berasal dari NTT, maka saya tidak bisa mengadili sengketa pilkada dari NTT," ungkap Daniel.
Daniel berharap agar kedepan tidak ada lagi keraguan dan rasa pesemis dari perkara yang diajukan dan yang sedang ditangani oleh MK. "Kami terus bekerja keras untuk memberikan suatu optimisme masyarakat bahwa perkara yang disengketakan di MK sudah memuhi aspek keadilan, kebenaran, dan berdasarkan fakta-fakta. Karena putusan MK bersifat final," jelasnya. (r3/gat)
Editor: Marthen Bana