Reduksi Stigma untuk Penderita Kusta, Indonesia 3 Besar Penyumbang Penyakit Kusta Dunia

  • Bagikan
WEBINAR. Kegiatan webinar kampus hybrid bertema “Bring Back Wellbeing Expertise for Leprosy: Yang Muda Yang Berdaya" di ruang taater gedung Rektorat Undana Kupang, Jumat (23/6). (FOTO: INTHO HERIZON TIHU/TIMEX)

NLR Indonesia Ajak Mahasiswa Tekan Kasus Kusta

KUPANG, TIMEXKUPANG.FAJAR.CO.ID-Kusta masih menjadi masalah kesehatan bahkan masalah sosial yang membutuhkan perhatian serius seluruh masyarakat. Indonesia masih tercatat sebagai negara dengan kasus kusta tertinggi ketiga di dunia setelah India dan Brazil.

Selama hampir satu dekade ini jumlah kasus baru kusta tahunan di Indonesia tergolong stagnan, yaitu antara 15.000 hingga 17.000 kasus. Di tengah kondisi penularan kusta yang masih tinggi dan minat elemen masyarakat terutama mahasiswa dan akademisi yang minim, diperlukan upaya sosialisasi dan edukasi di lingkungan kampus.

Untuk itu, NLR Indonesia bekerjasama dengan Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang menunjukkan komitmen ini dengan menyelenggarakan acara Webinar Kampus hybrid bertema “Bring Back Wellbeing Expertise for Leprosy: Yang Muda Yang Berdaya" di ruang Tater Gedung Rektorat Undana Kupang, Jumat (23/6).

Acara ini menghadirkan penbicara yang memiliki pengalaman dalam hal penyakit kusta, yakni dr. Christina Widaningrum dari NLR Indonesia, dr. Ika Febianti Buntoro dari Undana, Ketua Yayasan Sosial Anfrida, Marcella PRR dan John G. Adu sebagai testimony OYPMK berdaya dari Yayasan Mandiri Kreatif Indonesia (Yamakindo).

"Diharapkan mahasiswa sebagai agent of change, cendikiawan, dan lokomotif penggerak perubahan ke arah yang lebih baik dapat meningkatkan motivasi dalam memberikan sumbangsih pada penanganan kusta di Indonesia melalui pengetahuan, penelitian, pengabdian dan pengembangan pada isu kusta yang komprehensif dan inovatif di era digital ini," ujar Direktur Eksekutif NLR Indonesia, Asken Sinaga.

Dikatakan, kegiatan tersebut merupakan kegiatan kedua yang diselenggarakan bersama kampus. Selama ini pihaknya bergerak bersama kelompok masyarakat lainnya untuk berantaska penyakit kusta.

Ia berharap mahasiswa dapat berpartisipasi aktif dalam menyebarluaskan informasi yang benar seputar kusta, stigma dan mahasiswa juga semakin termotivasi untuk terlibat langsung khususnya sebagai agen perubahan dalam penanganan kusta melalui cara-cara yang kreatif, inovatif dan berkesinambungan di era digital ini.

"Semakin banyak mahasiswa ilmu kesehatan yang berminat bekerja untuk penyakit tropis terabaikan, terutama kusta," katanya.

Campus to campus ini merupakan rangkaian proyek Suara Untuk Indonesia Bebas dari Kusta (SUKA) yang diinisiasi NLR Indonesia sejak 2021 untuk mengedukasi publik secara kontinyu tentang kusta dan konsekuensinya.

"Proyek ini menggandeng media, komunitas blogger, universitas, sektor swasta, organisasi profesi dan organisasi penyandang disabilitas," ungkapnya

Acara tersebut membahas seputar mitos-fakta tentang kusta, dan peran kampus dan inisiatif kampus dalam penanganan kusta, serta pengalaman konkrit penanganan kusta yang dilakukan individu maupun organisasi.

Dokter Christina Widaningrum, technical advisor NLR Indonesia dalam pemaparannya mengatakan, sebanyak enam provinsi di Indonesia sudah eliminasi kasus kusta. 92 Kabupaten/Kota yang ada di 17 Provinsi belum eliminasi kasus kusta.

"Hanya ada 6 provinsi yang sudah eliminasi kasus kusta. Apakah provinsi yang sudah eliminasi kusta ini benar-benar sudah tidak ada kasus kustanya?" tanya dr. Christina.

Menurutnya, 17 persen penderita kusta ditemukan dalam keadaan cacat. Bahkan penularan kusta dikalangan anak-anak juga masih tinggi. "Sejumlah dari di NTT juga menyumbang data kasus itu," katanya.

Dokter Ika Febianti Buntor, dosen Departemen Kedokteran Tropis Undana Kupang dalam materinya berjudul, "Peran Mahasiswa sebagai Agent of Change dalam Penanganan Kusta" mengatakan, kusta merupakan penyakit yang sebenarnya tidak mematikan namun stigma yang berkembang di masyarakat malah membuat seorang penderita akan berusaha menutupi apa yang ia derita hingga mengalami cacat.

Stigma tersebut membuat penderita akan mengalami dampak sosial, psikologi, dan ekonomi. Maka kelompok perempuan dan anak serta kelompok rentan harus dilindungi. "Jangan bully mereka tapi lindungi dan perhatian mereka karena ketika diabaikan maka mereka merasa dikucilkan hingga maut yang menjemput," ujarnya.

Penderita dan keluarga juga memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam menikmati semua akses dan fasiltas rekreasi yang ada. "Peran mahasiswa harus membantu dunia dan Indonesia bebas dari kusta, maka dampingi dan bawa ke dokter. Mereduksi stigma yang berkembang di lingkungan masyarakat," sebutnya.

Ditambahkan, bahwa penyakit kusta tidak menular apabila penderitanya sudah berobat. Jadi tidak perlu takut untuk mendampingi dan memberikan dukungan sosial karena akan memberikan dampak psikologis melalui stigma yang terjadi.

"Kita juga harus sampaikan kapada masyarakat agar mereka juga mendapat tingkat kehidupan yang layak. Hindari stigma, bantu mereka pulih. Eliminasi kustanya jangan eliminasi orangnya," pesannya.

Seorang penyintas kusta, John Gideon Adu dalam kesaksiannya mengungkapkan, dirinya diketahui menederita kusta tahun 1995. Ketika itu dirinya merasa kesemutan dibagian tangan. Setelah dilakukan pemeriksaan laboratorium, dirinya dinyatakan positif kusta.

"Waktu itu petugas medis bilang kusta atau lepra. Saat itu stigma langsung dilekatkan kepada saya karena petugas menyampaikan kepada orangtua agar memisahkan peralatan di rumah," ujarnya.

John mengaku setahun kemudian dirinya dinyatakan sembuh dari penyait menular ini. Namun tahun 2001 dirinya kembali merasa kesemutan pada lengannya dan kembali divonis menderita kusta.

Tahun 2008 dinyatakan sembuh lagi. Karena itu, setelah sembuh, Jhon coba melamar pekerjaan di Lembaga Kusta Indonesia dan bersyukur karena dapat diterima bekerja di sana. "Pengucilan sudah terjadi pasca kita diketahui positif. Pengucilan tidak saja datang dari luar tapi juga dari keluarga sendiri maka kita akan terganggu secara psikologis," bebernya. (r3)

Editor: Marthen Bana

  • Bagikan