BAJAWA, TIMEXKUPANG.FAJAR.CO.ID-Banyak tokoh daerah Nusa Tenggara Timur (NTT) yang layak diberikan kehormatan dan penghargaan lebih serta patut dijadikan contoh oleh generasi muda bagi pengembangan karakter kepemimpinan di masyarakat.
Sayangnya, seperti mutiara yang tersapu lumpur, tokoh-tokoh tersebut sering dilupakan. Selain kurang tersedianya literlatur tentang para tokoh lokal, ada sikap kurang peduli dari masyarakat.
Dengan semangat berkontribusi memperkaya khasanah literasi dan kaderisasi, sebuah buku berjudul “Lorong Waktu Jan Jos Botha” yang mengulas secara komprehensif biografi Bupati Ngada pertama itu, diluncurkan. Acara peluncuran biografi dan bedah buku “Lorong Waktu Jan Jos Botha” digelar di aula Jhon Thom, Kota Bajawa, Kabupaten Ngada, Sabtu, (25/6).
Meninggalkan warisan dalam bentuk pembangunan fisik tentu saja baik dan berguna. Namun, menjadi lebih lengkap jika meninggalkan legacy melalui karya-karya literasi sebagai sebuah jejak peradaban yang sangat penting. Tradisi inilah yang dicoba untuk dikembangkan dengan menghadirkan buku.
Pantauan TIMEX di lokasi, Acara peluncuran buku dilakukan Bupati Ngada, Andreas Paru, secara virtual dari Jakarta, dan dihadiri secara offline oleh Wakil Bupati (Wabup) Raymundus Bena, Ketua DPRD Ngada, Bernadinus Dhey Ngebu, pejabat di lingkungan Pemkab Ngada, dan sekitar 200 tokoh masyarakat setempat. Acara tersebut dipandu Dr. Nicolaus Noi dengan nara sumber Alex Dungkal sebagai penulis.
Alex Dungkal mengatakan, menulis tentang Jan Jos Botha adalah sebuah kehormatan. Dia adalah sang legenda yang telah memberikan hati, pikiran, dan seluruh jiwa-raganya untuk rakyat Ngada. Selama lebih dari 10 tahun memimpin Ngada, yakni tahun 1967 hingga 1978, Jan Jos Botha berjuang membangun Ngada sehormat-hormatnya, dengan kesetiaan dan kebenaran.
"Karena itu, Pak Jan layak ditulis dalam sebuah buku, dan layak pula diabadikan untuk nama fasilitasi publik," ungkap wartawan senior kelahiran Riung itu.
Alex menjelaskan, sebagai seorang profesional, ia harus tetap obyektif dalam memegang teguh prinsip-prinsip penulisan sebuah biografi. Namun dia mengaku ada keterlibatan emosional karena ada rasa hormat dan bangga atas kiprah sejumlah tokoh NTT, yang berprestasi gemilang di masa lalu, tapi nyaris tak dikenal lagi. Hal ini karena kiprah mereka jarang ditulis dan diabadikan sebagai nama untuk fasilitas publik, seperti jalan, rumah sakit, bandara, dan lain-lain.
“Saya prihatin, banyak fasilitas umum seperti nama jalan, bandara, dan lain-lain menggunakan nama-nama tokoh yang sesungguhnya tidak punya ikatan dengan kehidupan masyarakat lokal. Padahal, banyak tokoh kita di NTT yang punya prestasi luar biasa di masa lalu, termasuk Pak Jan Jos Botha. Mereka layak mendapat kehormatan dan penghargaan dari pernerintah setempat dan masyarakatnya sendiri,” ucap Alex.
Alex mencontohkan langkah Gubernur DKI Jakarta, Anies Rasyid Baswedan yang baru-baru ini menggantikan 22 nama jalan dengan nama-nama tokoh Betawi, penduduk asli kota ibu kota Negara RI itu.
Alex selanjutnya menceritakan, niat menulis sosok Jan Jos Botha muncul sejak lama dan menguat saat seorang dari Kota Solo, Joko Widodo, terpilih menjadi Presiden RI beberapa tahun silam.
Dalam banyak hal, menurut dia, anak Solo dan anak Mangulewa itu memiliki karakter kepemimpinan yang nyaris sama. Mereka tulus mencintai rakyat, bekerja keras, menggulirkan semangat juara sebagai bagian dari revolusi mental. Membangun dari desa, suka blusukan, hidup sederhana, bersih dari praktik korupsi, dan selalu menempatkan kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadi dan golongan.
“Melarang isteri, anak-anak, serta anggota keluarga untuk menggunakan fasilitas daerah atau negara pada lebih dari 50 tahun lalu adalah sesuatu yang luar biasa. la sangat patuh pada imannya sebagai seorang Katolik, saleh sekaligus sebagai seorang pemimpin yang visioner. Lorong waktu yang Pak Jan jejaki pada lima dekade lalu terbukti menjadi ajaran yang sangat berharga dan tetap relavan bagi generasi pemimpin masa kini dan masa mendatang,” ujar Alex.
Narasi penulis tentang intergritas seorang Jan Jos Botha itu diamini oleh sejumlah tokoh yang pernah dekat dengan Jan Jos Botha. Baik di lingkungan Pemerintahan Kabupaten Ngada, mitra kerja di Provinsi NTT (Jan Jos Botha pernah menjabat sebagai Ketua DPRD NTT), para kader didikannya di Partai Katolik dan Partai Golkar yang dipimpinnya, dan dan murid serta para pendidik.
Elias Djo, Bupati Nagekeo periode 2013-2018, mengatakan, Jan Jos Botha adalah seorang pemimpin yang tegas, disiplin, tetap demokratis, dan sangat visioner. “Beliau sangat menjunjung tinggi kearifan lokal. Ia seorang pemimpin yang memegang teguh filosofi Ngadha dalam hal kepemimpinan, kedhu hebu, pusi hebu ma'e. Kedhu hebu, pusi mesi,” ucap Elias.
Mantan Gubernur NTT, Herman Musakabe yang pernah menjadi mitra-kerja saat Jan menjabat Ketua DPRD sekaligus Ketua Partai Golkar NTT mengatakan, disiplin, kerja keras, ketekunan, dan perpikir positif adalah kunci menuju keberhasilan dalam menjalankan tugas pengabdian dan kepemimpinan Pak Jan.
“Generasi milenial perlu membaca buku ini agar lebih mengenal, terinspirasi, dan meneladani tokoh Pak Jan dalam menghadapi tantangan masa depan,” ucap Herman Musakabe.
Hal senada diungkapkan David “Daud” L. Bara, mantan jurnalis Radio Pemerintah Ngada (RPD). “Bapak Jan sangat keras dalam menegakkan disiplin. Beliau kerja keras siang-malam untuk membangun daerah ini. Semua itu dilakukan karena cintanya yang besar pada Ngada, pada rakyatnya di sini. Saya bangga pernah dekat dengan beliau,” kata Daud dalam kesaksiannya.
Sementera itu, Elizabeth Botha, puteri keempat mendiang Jan Jos Botha menyatakan rasa syukurnya atas diterbitkannya biografi sang ayah. “Semoga cerita tentang bapak dalam buku ini menjadi persembahan dan inspirasi bagi generasi muda Ngada dan NTT umumnya untuk menghadapi tantangan masa depan," ucap Elis, sapaannya.
“Bapak Jan orang saleh. Saleh dalam kehidupannya sebagai seorang Katolik, dalam keluarga. Saleh dalam kehidupan masyarakat, dan saleh dalam cinta dan pengabdiannya kepada bangsa dan negara,” tambah Marcel Ado Wawo, suami Patricia Mariana Eno Botha, puteri kedua almarhum. (*)
Penulis: Saver Bhula
Editor: Marthen Bana