BA'A, TIMEXKUPANG.FAJAR.CO.ID-Pemerintah dan masyarakat Desa Busalangga Barat, Kecamatan Rote Barat Laut, Kabupaten Rote Ndao menggelar sebuah acara adat yang disebut tradisi Hus, pada Senin (20/6/2022) lalu.
Penyelenggaraan tradisi budaya lokal ini merupakan ungkapan syukur atas hasil pertanian yang dipanen warga setempat. Karena itu, gelaran acara ini mendapat perhatian dan partisipasi aktif warga setempat
Menariknya, tak cuma warga yang hadir memeriahkan tradisi itu. Namun hewan jenis kuda juga dibawa sebagai bagian terpenting dalam perayaan tradisi itu. Kuda-kuda yang dihadirkan dalam momen itu tidak untuk menguji kecepatan dan ketangkasan kuda yang ditunggang. Tetapi lebih kepada seni menunggang dari si penunggang, berikut gerak langkah dari kuda itu sendiri.
Kuda-kuda yang ditunggang pemiliknya itu dihiasi sedemikian rupa sehingga menambah semaraknya tradisi Hus itu. Kuda-kuda tersebut ditunggang berkeliling arena berbentuk lingkaran.
Si penunggang kuda berkeliling dalam arak-arakan diiringi bunyi gong dan tambur. Semua yang hadir dibawa dalam suasana sukacita dan penuh syukur.
Melihat tingginya antusiasme masyarakat mengikuti tradisi itu, pemerintah desa setempat kemudian berniat mengagendakan untuk menggelar secara rutin. Sebab, dengan menyelenggarakan tradisi Hus secara rutin, itu merupaka upaya melestarikan nilai-nilai budaya yang ada.
"Ini perdana yang kami selenggarakan saat ini. Tapi ke depan, akan rutin gelar," kata Kepala Desa Busalangga Barat, Kecamatan Rote Barat Laut, Mikael Arnolus Lute, kepada TIMEX di lokasi penyelenggaraan Hus, Senin (20/6).
Menurutnya, jika saat ini penyelenggaraan berlangsung pada 20 Juni 2022, maka momen selanjutnya juga dilakukan di tanggal yang sama. Hal tersebut dimaksudkan untuk menjadikan desanya sebagai tempat penyelenggaraan Hus setiap tahun.
Dikatakan, ada hadiah yang disediakan kepada penunggangg kuda yang beruntung. Dan hal tersebut menurutnya, bukan sebagai motivasi utama dari para penunggang kuda. Sebab, Hus sendiri merupakan wujud sukacita yang dirasakan oleh warga atas hasil panen yang diperoleh.
"Ini tradisi turun-temurun dari nenek moyang kami yang maknanya adalah sukacita dan mempersatukan. Seandainya ada sekadar hadiah yang disiapkan, hal itu bukan semata-mata niat peserta untuk ikut," ungkapnya.
Sementara, Ketua Panitia Penyelenggara Hus, Nobertus Landak, mengatakan, ada dampak ekonomi yang dihasilkan dari tradisi yang diselenggarakan secara rutin. Bahwa, selain menjaga populasi kuda, sekaligus meningkatkan harga jual ternak tersebut.
Alasannya, pada beberapa dekade sebelumnya, populasi ternak kuda tersebut hampir punah. Sebab, tuntutan kebutuhan hidup dari peternak, yang kemudian menjual hingga hingga ke luar Pulau Rote.
"Sekitar 40 atau 50 tahun lalu, populasi kuda, khususnya di wilayah kami cuma tinggal sedikit. Karena pemiliknya menjual ke luar, dimana kebanyakan dibeli oleh orang dari Sulewesi," kata Nobertus Landak.
"Makanya kalau sudah rutin dilaksanakan, masyarakat sudah tidak lagi sembarang menjual keluar. Karena dengan Hus, harga jual juga meningkat, yang rata-rata belasan juta untuk satu adik. Dan ada juga yang sudah pernah ditawar hingga 60 juta," pungkasnya. (mg32)
Editor: Marthen Bana