WAINGAPU, TIMEXKUPANG.FAJAR.CO.ID-Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) terus meningkatkan pelaksanaan program kampung budidaya guna mendukung peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat pembudidaya bidang kelautan dan perikanan.
Dari program ini, hal yang dilakukan KKP adalah menetapkan Kabupaten Sumba Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) sebagai kampung budidaya rumput laut.
Kepala Dinas Perikanan Kabupaten Sumba Timur, Markus K. Windi mengatakan, hamparan rumput laut tersebar diberbagai wilayah, namun potensi terbesar berada di Kecamatan Pahunga Lodu.
Ia menyebutkan, dari 5.169 hektare luas wilayah yang potensial untuk budidaya, baru tergarap 376 hektare dengan produksi 23.675 ton. Ke depan, kata Markus, budidaya rumput laut akan dikembangkan bersama KKP dengan memanfaatkan 1.000 hektare lahan yang telah disiapkan.
Menurut Markus, rumput laut merupakan komoditas unggulan di Sumba Timur, terutama Eucheuma Cottonii jenis Sakul. Secara fisik, jenis ini mempunyai tubuh yang rimbun dengan percabangan yang banyak.
Biasanya, Cottonii Sakul berwarna hijau muda hingga hijau tua dengan talus yang tidak begitu besar. Talus (thallus) merupakan istilah yang digunakan untuk menyatakan bagian tumbuhan yang masih belum dapat dibedakan antara akar, batang, dan daun.
Salah satu Penyuluh Perikanan di Sumba Timur, Agustinus Hanggar mengatakan, salah satu aspek penting dalam budidaya rumput laut adalah bibit. Bibit yang bagus akan menghasilkan rumput laut yang produktif dan tahan dari penyakit.
Saat ini, kata Agustinus, Sumba Timur membutuhkan bibit baru hasil kultur jaringan. “Bibit rumput laut yang ada di Sumba Timur sudah berumur 12 tahun. Kami butuh bibit dari kultur jaringan agar lebih tahan dari penyakit,” ujarnya.
Agustinus menjelaskan, kultur jaringan merupakan satu diantara beberapa teknik rekayasa perbanyakan bibit rumput laut dengan cara pengambilan jaringan dari induk rumput laut unggul untuk dilakukan pembesaran di laboratorium guna menghasilkan bibit yang berkualitas.
Bibit kultur jaringan dikembangkan oleh Balai Perikanan Budidaya Laut (BPBL), sebuah Unit Pelaksana Teknis (UPT) di bawah Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya (DJPB), KKP.
Agustinus melanjutkan, sebagian besar pembudidaya rumput laut di Sumba Timur menggunakan metode budidaya lepas dasar (off-bottom method). Metode ini dilakukan dengan mengikatkan benih rumput laut di tali-tali di atas dasar perairan pada 10-50 cm dengan menggunakan tali yang diikat menggunakan pancang-pancang/patok kayu. Namun, ada juga pembudidaya yang menggunakan metode rawai (long line).
Metode ini merupakan cara membudidayakan rumput laut di kolam air dekat permukaan perairan dengan menggunakan tali yang dibentangkan dari satu titik ke titik lainnya dalam bentuk lajur lepas atau terangkai dengan bantuan pelampung dan jangkar.
Selain bibit, sarana prasarana penunjang budidaya rumput laut sangat diperlukan para pembudidaya diantaranya tali, sterofoam untuk mengangkut bibit ataupun hasil panen, patok, dan tempat pengeringan hasil panen rumput laut.
“Saya membutuhkan modal untuk mengembangkan budidaya agar (rumput laut). Untuk beli bibit, tali, patok penyangganya. Patoknya saya beli, pakai kayu lamtoro,” ujar Titus Ully Para, petani rumput laut dari Kecamatan Wulla Waijelu. Titus telah 20 tahun lebih membudidayakan rumput laut.
Tak jauh berbeda, Yusuf Yabu Maundima dari Kecamatan Pahunga Lodu, mengaku, pembudidaya lain membutuhkan modal untuk membeli bibit dan menambah bentangan tali pengikat bibitnya. Ini untuk meningkatkan produksi budidaya rumput laut sehingga pendapatan meningkat.
Untuk memenuhi kebutuhan usaha bidang kelautan dan perikanan, Yusuf ataupun pelaku usaha dengan jenis usaha dan komoditas lainnya dapat memanfaatkan akses permodalan yang digulirkan KKP melalui Lembaga Pengelola Modal Usaha Kelautan dan Perikanan (LPMUKP). (jpc/jpg)