JAKARTA, TIMEXKUPANG.FAJAR.CO.ID-Aparat kepolisian, dalam hal ini Mabes Polri tengah menyelidiki kasus dugaan penggelapan dana Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT). Karopenmas Divhumas Polri, Brigjen Pol Ahmad Ramadhan menyampaikan, instansinya masih fokus menyelidiki dugaan pelanggaran yang dilakukan pendiri Yayasan ACT Ahyuddin dan Ketua Pengurus Yayasan ACT, Ibnu Khajar.
Menurut Brigjen Ahmad, sejauh ini, dari hasil penyelidikan, Yayasan ACT sempat mendapat kepercayaan untuk menyalurkan dana corporate social responsibility (CSR) dari perusahaan asal Amerika Serikat, Boeing. Itu dilakukan sebagai salah satu bentuk tanggung jawab pasca kecelakaan pesawat Boeing yang dioperasikan Lion Air.
Berdasar data Jawa Pos, pesawat yang dimaksud adalah JT-610. Melalui ACT, Boeing menyerahkan dana CSR untuk ahli waris korban kecelakaan tersebut. ”Namun, pada pelaksanaan penyaluran dana sosial atau CSR tersebut, para ahli waris tidak diikutsertakan dalam penyusunan rencana maupun pelaksanaan penggunaan dana,” beber Ahmad Ramadhan, Sabtu (9/7).
Selain itu, Yayasan ACT tidak memberi tahu besaran dana CSR yang diberikan Boeing untuk para ahli waris. Demikian pula dengan pengelolaan serta penggunaan dana tersebut. Berdasar data yang diperoleh Polri, nilai total CSR yang dipercayakan Boeing kepada Yayasan ACT mencapai Rp 138 miliar.
Dalam realisasinya, Yayasan ACT dinilai kurang terbuka. ”Pihak Yayasan ACT tidak memberitahukan realisasi jumlah dana sosial atau CSR yang diterima dari pihak Boeing kepada ahli waris korban,” jelas Ramadhan. ”Termasuk nilai serta progres pekerjaan yang dikelola Yayasan ACT,” tambah dia.
Karena itu, lanjut Ahmad Ramadhan, Yayasan ACT diduga tidak merealisasikan dan menggunakan seluruh dana CSR dari Boeing dan memanfaatkannya untuk urusan lain. ”Pembayaran gaji ketua, pengurus, pembina, serta staf pada Yayasan ACT,” tegas Ramadhan. Lebih dari itu, dana tersebut juga digunakan untuk menunjang fasilitas dan aktivitas pribadi Ahyuddin dan wakilnya.
Jenderal bintang satu Polri itu pun mengungkapkan, Yayasan ACT tidak hanya diberi kepercayaan mengelola dana CSR oleh Boeing. Mereka juga mengelola CSR dari beberapa perusahaan. Kemudian, mengelola donasi dari masyarakat dan berbagai lembaga serta instansi level nasional maupun internasional.
Secara keseluruhan, beber Ramadhan, setiap bulan Yayasan ACT memperoleh donasi sekitar Rp 60 miliar. ”Dan langsung dipangkas atau dipotong pihak Yayasan ACT sebesar 10–20 persen,” jelas dia. Bila dirupiahkan, nilainya mencapai Rp 6 miliar – Rp 12 miliar. ”Untuk keperluan pembayaran gaji pengurus dan seluruh karyawan,” tambahnya.
Pasal yang diduga dilanggar pihak-pihak terkait adalah pasal penggelapan dan atau penggelapan dalam jabatan, pasal pidana informasi dan transaksi elektronik, serta pasal tindak pidana yayasan dan atau tindak pidana pencucian uang. Di antaranya, Pasal 372 KUHP, Pasal 374 KUHP, dan Pasal 3, 4, serta 5 UU Pencegahan dan Pemberantasan TPPU.
Terungkapnya indikasi penyimpangan dana sumbangan di Yayasan ACT terus menjadi sorotan banyak pihak. Salah satunya, Sekretaris Umum Muhammadiyah Abdul Mu’ti. Dia menyebut kasus ACT bisa menjadi pintu masuk untuk membuat regulasi pengawasan aktivitas lembaga filantropi di Indonesia.
Mu’ti menyebutkan, hingga saat ini pengelolaan dana umat tidak diawasi lembaga khusus atau peraturan perundang-undangan. Sangat mungkin itulah yang membuat lembaga filantropi seakan bebas dan merasa tidak bersalah menggunakan dana umat untuk kebutuhan lain di luar kepentingan kemanusiaan.
Mu’ti membandingkan lembaga pengelola keuangan hingga bisnis yang diawasi secara ketat oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Menurut dia, metode pengawasan berlapis-lapis semacam itu bisa diterapkan pula pada lembaga sosial pengelola dana umat. ”Misalnya terkait berapa gaji komisaris, berapa gaji direksi, itu OJK mengawasi,” ungkapnya kepada Jawa Pos kemarin (9/7).
Selama ini, kata Mu’ti, kebanyakan pelaporan dana dan pemeriksaan pengelolaan keuangan yayasan filantropi adalah lembaga akuntan publik. Itu pun sifatnya administratif. Sedangkan hal lain yang bersifat etik sering luput dari pelaporan dan pemeriksaan. ”Dan bisa saja mereka (akuntan publik, Red) mengatakan secara keuangan WTP (wajar tanpa pengecualian, Red),” ujarnya.
Ke depan, Mu’ti mengusulkan ada lembaga khusus yang tugasnya mengawasi lembaga filantropi. Dia mencontohkan, lembaga yang sudah ada dan melekat di birokrasi seperti Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH). Pengawas khusus di lembaga tersebut dipilih DPR. ”Uang triliunan kalau tidak ada yang mengawasi, yang namanya uang, orang senang dengan uang,” tuturnya. (syn/tyo/c7/oni/JPG)