Komisi III DPRD NTT RDP dengan BPK dan OJK NTT
KUPANG, TIMEXKUPANG.FAJAR.CO.ID-Hilangnya uang senilai Rp 50 miliar milik Bank NTT setelah PT Sunprima Nusantara Pembiayaan (SNP Finance) dinyatakan pailit menjadi temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan NTT.
Temuan ini disebut sebagai kelalaian prosedur dalam transaksi surat utang jangka menengah atau Medium Terms Notes (MTN). PT SNP Finance sebagai perusahaan multifinance itu diketahui merugikan 14 bank termasuk Bank NTT dalam transaksi ini.
Menyikapi temuan ini, Komisi III DPRD NTT lantas mengundang BPK RI maupun Otoritas Jasa Keuangan (OJK) NTT dalam forum Rapat Dengar Pendapat (RDP), Senin (25/7). RDP ini dilakukan Komisi III DPRD NTT dengan tujuan untuk mendengar penjelasan kedua lembaga tersebut terkait temuan dan pengawasan terhadap bank pembangunan daerah ini.
RDP Komisi III DPRD NTT bersama BPK dan OJK itu dipimpin Ketua Komisi III, Jonas Salean, dan dihadiri juga Ketua DPRD, Emilia J. Nomleni dan Wakil Ketua, Inche Sayuna.
Ketua BPK NTT, Adi Sudibyo dalam RDP itu menjelaskan bahwa setelah PT. SNP pailit maka asetnya tengah diproses kurator untuk dibagi kepada nasabah, termasuk Bank NTT. "Saat ini masih diproses oleh kurator karena perusahaan pailit ini juga merugikan 300 lebih nasabah lain yang terdampak," kata Adi.
Adi menyatakan, Bank NTT tidak melalui prosedur yang cermat sehingga tidak menyadari PT. SNP akan pailit dua bulan setelah investasi itu dilakukan.
Dikatakan, dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) 2019 ditemukan indikasi kerugian di Bank NTT senilai Rp 50 miliar. BPK NTT menyebut hal ini sebagai uang milik Bank NTT yang hilang.
"Bahasa tepatnya adalah uangnya hilang karena pengertian rugi pun ada rugi usaha, tapi secara operasinya Bank NTT tahun itu tidak terganggu. Masih membukukan laba Rp 300 miliar," ungkap Adi Sudibyo.
Adi menegaskan bahwa uang Rp 50 miliar yang hilang itu sementara ini belum bisa disebut sebagai kerugian negara karena masih perlu melihat unsur-unsur ketentuan yang dilanggar, seperti unsur perbuatan melawan hukum, nilainya, juga pihak yang diuntungkan atau menguntungkan orang lain. "Di antara itu harus terpenuhi baru dapat ditentukan sebagai kerugian negara," tandas Ari.
Bahwa belum terindikasi saat ini soal kerugian negara, daerah, operasi atau persero seperti pada BUMN dan BUMD yang mempunyai undang-undang sendiri tidak mengikuti undang-undang APBN atau APBD, tentunya harus ada pembuktian dari aparat penegak hukum (APH).
Bila ada unsur-unsur yang dipenuhi dalam tindak pidana korupsi, lanjut Adi, maka tentunya temuan ini dapat digunakan nantinya.
Sementara OJK NTT menyebut pembelian surat berharga atau MTN asasnya dari kebijakan direksi untuk mengoptimalkan pendapatan bank yang belum disalurkan melalui kredit, juga untuk menjaga likuiditas.
Kepala OJK NTT, Japarmen Manalu, mengaku, kerugian Bank NTT senilai Rp 50 miliar sebagai risiko bisnis yang kompleks dilihat secara kronologis.
Awalnya, kata Japarmen, Bank NTT berani mengambil investasi ini mengacu pada rangking aman yang ditetapkan Pefindo sebagai lembaga pemeringkat. Pefindo mengeluarkan rangking aman atas PT. SNP berdasarkan hasil audit dari kantor akuntan publik yaitu Deloitte.
Rekomendasi ini keluar pada 5 Maret 2018 sehingga Bank NTT berani melakukan transaksi tersebut dengan PT. SNP. Namun pada 14 Mei 2018, PT. SNP oleh Pefindo disebut sebagai perusahaan dengan rangking yang buruk lalu diketahui pailit. Dampak dari dinyatakan pailit perusahan ini ikut menimpa Bank Mandiri dan BRI.
Deloitte pun telah dijatuhkan sanksi oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu) karena laporan auditnya menghasilkan permasalahan panjang seperti ini.
Japarmen mengaku, pengawasan terhadap perusahaan multifinance dilakukan oleh OJK Pusat sehingga OJK NTT hanya mendapatkan pemberitahuan dari pusat setelah kejadian ini.
Ia menegaskan soal perusahaan multifinance yang diawasi langsung oleh OJK Pusat dan OJK NTT atau di daerah hanya memberikan perlindungan kepada nasabah bank dan non perbankan. Namun menurutnya, pailitnya PT SNP ini karena gagal dalam membayar MTN III/2017 Seri B yang akhirnya berdampak pada MTN VI yang diambil Bank NTT.
PT SNP disebut juga melakukan kesalahan pengelolaan uang dari peminjaman MTN yang kemudian masuk dalam tindak pidana pencucian uang. "Terjadi kesalahan investasi dan dugaan tindak pidana pencucian uang yang ditangani Bareskrim Polri," kata Japarmen.
Sebagai regulator, kata Japarmen, pihak OJK kemudian memperkuat regulasi. Peraturan OJK mengenai rencana bisnis bank diakuinya tidak mengatur secara detail mengenai MTN dan ini perlu dibenahi.
Anggota Komisi III DPRD NTT, Viktor Mado Watun dalam RDP itu menyebut perlu ada yang bertanggungjawab pada permasalahan hilangnya Rp 50 miliar ini. Termasuk ketegasan dalam pengawasan lembaga otoritas. "Ini dapat mempengaruhi kepercayaan dan akibatnya nanti pada penyertaan modal dari pemegang saham lagi," tandasnya.
Sementara itu, Wakil Ketua DPRD NTT, Inche Sayuna mengatakan, Bank NTT dari segi kebijakan merugikan daerah Rp 50 miliar, sehingga perlu dipertanggungjawabkan. Terlepas dari ini, apakah korup atau tidak tetapi proses ini adalah hal yang buruk dan menghasilkan sesuatu yang buruk.
Inche menjelaskan, semua tindakan yang namanya korupsi tidak hanya karena mengambil uang, tetapi membuat kebijakan yang salah juga termasuk dalam tindak pidana korupsi.
"Prosedurnya benar atau salah, jika prosedur yang salah maka aturan yang dikeluarkan itu salah dan dapat disebut korupsi. Jadi bukan hanya kerugian dalam bentuk uang tetapi juga salah mengambil kebijakan merupakan indikasi korupsi," jelasnya.
Jadi, lanjut Inche, yang terjadi dalam kasus ini adalah kesalahan prosedur. Tidak menghasilkan sebuah aturan yang legal dalam kebijakan dalam kasus ini. Catatan BPK menjadi buku suci bagi semua anggota Fraksi bahkan anggota DPRD.
Ketua DPRD NTT, Emilia J. Nomleni dalam forum RDP itu mengatakan, proses yang terjadi tidak prudent, dan seluruh hasil yang dicapai ternyata tidak bijaksana. "Bank NTT adalah perusahaan dengan kepemilikan modal dari pemerintah daerah, namun tidak memenuhi syarat kredit ini," tandasnya.
Ketua Komisi III DPRD NTT, Jonas Salean mengatakan, perusahaan ini sudah dinyatakan pailit pada tahun 2016 di Pengadilan Jakarta, tetapi mereka mengajukan kredit ke Bank NTT Tahun 2019. Tepatnya Januari 2019. Pertanyaannya, kenapa Bank NTT melayani kredit tersebut?
"Kenapa sudah dinyatakan pailit tetapi diberikan kredit, pada tanggal 30 Juni 2019 senilai Rp 29,9 miliar, berpotensi merugikan Bank NTT. Hal ini sudah masuk dalam kategori kejahatan perbankan, kita tidak ingin ada yang susah. Ini uang rakyat, bagaimana bisa prosedurnya tidak sesuai tetapi terus dilanjutkan," tandasnya.
Apolos Djara Bonga selaku Kuasa Hukum Bank NTT saat konferensi pers sebelumnya menyebut, sebelum transaksi telah dilakukan uji tuntas atau due diligence terhadap PT. SNP Finance. Hal ini sesuai Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan.
PT. SNP Finance, kata Apolos, adalah perusahaan legal saat transaksi. Pembelian MTN dilakukan dengan mengirim dana via Real-Time Gross Settlement atau RTGS pada 22 Maret 2018. Kemudian awal Mei 2018 PT. SNP Finance mengajukan Permohonan Pengajuan Penundaan Pembayaran Utang (PKPU) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Perusahaan ini akhirnya pailit di tengah jalan. Pada tanggal 27 Oktober 2018, PT. SNP Finance dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga. OJK pun juga membekukan semua kegiatan PT. SNP Finance," jelasnya. (r2)
Editor: Marthen Bana