INI Ancam Boikot, BPR Crista Jaya Minta Pahami Kasusnya

  • Bagikan
Direktur BPR Christa Jaya, Wilson Lianto (kiri) dan kuasa hukumnya saat memberikan keterangan pers di BPR Christa Jaya, Senin (8/8). (FOTO: INTHO HERIZON TIHU/TIMEX)

KUPANG, TIMEXKUPANG.FAJAR.CO.ID-Kasus dugaan tindak pidana penggelapan 9 Sertifikat Hak Milik (SHM) dengan tersangka Albert Riwu Kore terus memanas. Saling menanggapi atas kejelesan kasus tersebut terus dilontarkan melalui media.

Kasus yang menjerat Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) senior itu kini tengah menjalani masa penahanan sebagai tersangka di Mapolda NTT.

Masalah tersebut mendapat atensi dari Ikatan Notaris Indonesia (INI) wilayah NTT. INI secara organisasi mengancam akan mem-black list Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Christa Jaya dari seluruh pekerjaan notaris/PPAT.

Ancaman tersebut buntut dari permohonan praperadilan penetapan tersangka Notaris Albert Riwu Kore yang ditolak majelis hakim PN Kupang. Para Notaris ini beralasan, mereka takut mengalami hal yang sama seperti dialami rekan seprofesinya itu.

Menanggapi ancaman tersebut, Direktur BPR Crista Jaya, Wilson Lianto mengatakan, pada prinsipnya sangat menghargai dan menghormati profesi notaris. Namun terkait kasus tersebut sudah berjalan sesuai fakta hukum yang terjadi.

Dikatakan, tahapan hukumnya telah berlangsung mulai dari penyelidikan l, penyidikan, dan juga sudah melalui upaya hukum pra peradilan, dan kini sudah menjalani penahanan.

"Proses ini sudah dilakukan melalui tahapan hukum yang berlangsung sesuai koridornya tetapi ada aksi solidaritas. Namun mesti diingat bahwa kerja bank itu untuk melayani masyarakat dan jika hal itu terjadi tentu akan merugikan masyarakat sendiri dan juga bank," katanya.

Diakui, pelayanan kepada masyarakat oleh bank tentu tidak terlepas dari peran notaris karena setiap perjanjian harus ada notaris maka pihaknya akan melakukan komunikasi lebih lanjut dengan notaris.

"Kami sangat menghargai apa yang menjadi putusan dari notaris, tetapi tentu kami akan melakukan komunikasi lebih lanjut untuk melihat kasus ini secara utuh. Jangan dilihat dari satu sisi saja. Kami berharap duduk bersama dan mencari solusi," harapnya.

Wilson meminta ikatan notaris lebih obyektif melihat kasus ini karena pihaknya juga menjadi korban. Sebagai korban, tentu ingin mencari keadilan dan keadilan itu tengah berproses.

Samuel David Adoe menambahkan, pihaknya sepekat dengan pernyataan Notaris/PPAT bahwa harus menghormati proses hukum yang berjalan. Namun dirinya ingin mengklarifikasi dan meluruskan informasi yang berkembang sehingga tidak menjadi bola liar di masyarakat.

Terkait pernyataan bahwa Albert tidak bersalah, pihaknya juga sependapat dengan asas praduga tak bersalah. Namun perlu ditekankan bahwa laporan kliennya sudah 3 tahun berjalan dan telah digelar berkali-kali di Polda NTT dan Mabes Polri, dan dari semua gelar tersebut telah menyatakan Albert harus bertanggung jawab secara pidana.

Disebutkan juga bahwa telah dua kali dilakukan pra peradilan dan putusanya menyatakan bahwa Albert sebagai PPAT harus bertanggung jawab secara pidana karena telah melakukan tindak pidana sebagaimana pasal 374 jo 372 jo pasal 55 KUHP. Sehingga menurutnya, sampai pada persidangan pokok perkara pasti terbukti kesalahan yang dilakukan Albert sebagaimana pasal dimasud.

"Terkait posisi Rafi sebagai pelaku utama namun perlu tegaskan tidak pernah mengetahui bahwa Rafi yang mengambil SHM tersebut karena sejak awal menyerahkan sertifikat kepada Pak Albert sebagai PPAT untuk memasang APHT," katanya.

"Kemudian Rafi yang mengambil SHM tersebut dari Pak Albert bukan wewenang kami. Itu urusan Pak Albert dan Rafi serta tanyakan kepada penyidik terkait status hukum Rachmat tersebut. Perlu kami sampaikan juga bahwa bukan Rafi yang menyerahkan SHM tersebut, namun Bank Christa Jaya. Hal ini sesuai dengan surat order dan covernote serta surat pengakuan kepada BPN Kota Kupang pada kami," lanjutnya.

Bildad T. Thonak menambahkan terkait adanya pelunasan hutang oleh Rafi sebagaimana pernyataan teman-teman PPAT/Notaris adalah hal yang tidak benar karena transfer dana tersebut masuk ke rekening pribadi Rafi pada Bank Christa Jaya, namun bukan untuk pelunasan SHM.

SHM yang dihilangkan Albert Riwu Kore namun dana tersebut dipergunakan sendiri oleh Rafi untuk keperluan pribadi lainnya dan yang dapat menyatakan lunas hutang adalah pihak bank, bukan debitur atau notaris.

"Debitur sendiri sampai sekarang masih mengakui bahwa hutang yang berada di Bank Christa Jaya masih ada dan belum lunas. Bahwa terkait kenapa kami tidak melaporkan Rafi, bukan kapasitas kami untuk melaporkan karena hubungan kami dengan Rafi adalah hubungan hukum perdata," tandasnya. (r3/gat)

Editor: Marthen Bana

  • Bagikan