20 Jam Berjibaku di KMP Lakaan dalam Perjalanan Melintasi Laut Sawu, Aimere-Kupang

  • Bagikan
ILUSTRASI. KMP Lakaan saat bersandar di Pelabuhan Aimere. (FOTO: ISTIMEWA)

Akhir liburan semester, tepatnya 2 Juli 2022, saya harus kembali ke Kota Kupang untuk melanjutkan tanggung jawab sebagai seorang mahasiswa. Sebagai mahasiswa yang tengah berlibur di kampung halaman di Pota, Kecamatan Sambi Rampas, Kabupaten Manggarai Timur (Matim), keputusan pulang ke Kupang hanya bisa lewat udara atau perjalanan melintasi laut.

---

Sayang, mahalnya harga tiket pesawat membuat saya terpaksa memilih transportasi laut melalui Pelabuhan Aimere, di Kabupaten Ngada menuju Kupang.

Ini merupakan pengalaman perjalanan pertama saya mengggunakan kapal laut. Setelah melalui perjalanan darat dari Pota ke Aimere lebih kurang enam jalam, saya dan seorang teman akhir tiba dengan selamat di Pelabuhan Aimere.

Di pelabuhan itu, saya harus memulai perjuangan pertama, yakni mengantri untuk membeli tiket. Maklum, karena akhir liburan, tak sedikit penumpang yang berebutan untuk mendapatkan tiket kapal.

Saya yang bertubuh mungil dengan tinggi badan sekira 150cm mau tak mau harus bertahan diantara para calon penumpang pria yang rerata lebih unggul fisik. Saya yang mengantri sejak pukul 07.00 Wita, belum juga mendapatkan tiket sekira pukul 09.00 Wita. Bersamaan dengan itu, Kapal Motor Penyeberangan (KMP) Laka’an secara perlahan mulai merapat di Pelabuhan Aimere.

Saya pun makin was-was karena tiket perjalanan belum diperoleh. Sudah begitu, aliran listrik pun padam mendadak. Saya dan sejumlah penumpang yang belum mendapatkan tiket terpaksa harus meninggu lama untuk mencetak tiket kapal seharga Rp 165.000 per orang.

Sekira belasan calon penumpang KMP Laka’an sampai meluapkan kekecewaan mereka karena pelayanan pembelian tiket yang sangat lama. Antrean panjang ini tak lain disebabkan pihak ASDP menerapkan penjualan tiket secara online dengan fasilitas salah satu bank ternama. Para penumpang harus melakukan top up ke mesin milik perbankan tersebut baru bisa mendapatkan tiket penumpang.

Setelah mengantri lebih kurang 4 jam, saya akhirnya bisa mendapatkan tiket. Dengan kondisi fisik yang lelah akibat berdiri lama saat mengantri, saya pun berjalan memasuki KMP Laka’an. Banyaknya penumpang membuat perjalanan memasuki kapal harus berdesak-desakan. Belum lagi antrean kendaraan yang juga harus memasuki kapal itu.

Setelah melewati berbagai rintangan, saya mencari tempat istrirahat di ruangan kapal tersebut. Saya coba mencari di dek 1 dan dek 2, ternyata tidak ada tempat yang memungkinkan saya untuk duduk. Saya dan beberapa penumpang lain mencoba mengadu peruntungan siapa tahu di Dek 3 masih tersedia tempat. Namun sayang, harapan kami sirna karena tak ada tempat yang masih ada, walau hanya sekadar duduk selonjoran.

Meski kondisi yang dihadapi demikian, saya sudah telanjur di atas KPM Laka’an. Apapun risiko yang dihadapi di perjalanan, tugas sebagai mahasiswa menjadi pertimbangan utama saya nekad pulang ke Kupang dengan kapal laut.

Di tengah hiruk pikuk penumpang di atas kapal, saya bertemu seorang ibu yang baik hati. Ia menawari saya untuk duduk di tikar yang sudah dia sediakan untuk diri sang ibu bersama tiga orang anaknya. Kesempatan itu saya ambil sambil berterimakasih karena masih bisa bertemu orang baik.

Dalam perjalanan itu, saya berkenalan dengan sang ibu tadi. Namanya Ibu Tilda. Asalnya dari Kupang. Ia baru selesai mengunjungi mertuanya di Bajawa, Kabupaten Ngada. Ibu Tilda juga mengeluhkan pelayanan di kapal. Terutama tidak memperhatikan kenyamanan penumpang yang diduga sudah melebihi kapasitas muat kapal itu. “Saking banyaknya penumpang, sampai-sampai sonde ada akses jalan lai untuk katong lewat beli makan. Mau rentang kaki ju susah, ini nanti orang lewat katong yang tidur dapat injak,” keluh Ibu Tilda.

Apa yang dikeluhkan Ibu Tilda bukan mengada-ada. Memang itulah fakta yang saya lihat dan alami langsung dalam pelayaran melelahkan itu. Lebih kurang 20 jam perjalanan melintasi Laut Sawu, Aimere-Kupang, yang namanya duduk nyaman apalagi tidak enak, tidak saya rasakan sama sekali. Selain karena himpitan penumpang, karena takut diinjak penumpang lain, disaat melepas lelah, saya terpaksa tidur dengan posisi tengkurap.

Melihat kondisi tersebut, seorang penumpang kapal yang sudah biasa melakukan perjalanan laut, mengaku bahwa pemandangan seperti ini bukanlah hal yang baru. Herannya, kok tidak ada semacam evaluasi terhadap pelayanan penumpang di kapal. Misalnya memuat penumpang dengan kapasitas ideal di kapal, dan tidak memaksa memuat penumpang sampai over kapasitas.

Hal yang membuat miris ketika di tengah perjalanan, sekira pukul 02.00 Wita dinihari, terjadi hujan. Atap kapal yang diduga bocor membuat kami kewalahan karena harus bangun untuk menghindari hujan dan menyelamatkan barang-barang bawaan.

Lebih kurang dua jam kami berdiri di kapal yang tengah melaju membelah ombak Laut Sawu. Di tengah rasa lelah dan kantuk menjadi satu, saya dan para penumpang lainnya harus berdiri hingga hujan reda, petugas kapal justru menganggap hal itu biasa saja tanpa memedulikan kenyamanan penumpang.

Hal lain yang menjadi catatan saya selama perjalanan perdana menumpang KMP Laka’an adalah tidak adanya pemeriksaan tiket selama dalam perjalanan hingga berlabuh di pelabuhan ASDP Bolok.

Timbul pertanyaan dalam benak saya, seandainya tadi saya tidak membeli tiket namun tetap menaiki kapal, bisa-bisa ini merupakan perjalanan gratis. Karena itu, pihak ASDP sebagai operator perlu memikirkan keselamatan dan kenyamanan penumpang dalam pelayaran yang sudah di atas 20 jam itu.

Jangan sampai menganggap penumpang seperti barang yang bisa diletakkan di mana saja, asal dia ada dalam kapal dan bisa ikut berlayar. (*)

Penulis: Tari Rahmaniar Ismail (Jurnalis Warga)

Editor: Marthen Bana

  • Bagikan

Exit mobile version