Ke-11 poin penolakan tersebut mengemuka dalam Dialog Publik Kontroversi Perpanjangan Izin Tambang PT Vale di Aula Lantai 2 Rektorat Universitas Hasanuddin (Unhas), Jumat (23/9/2022).
Sebelum dialog, Rektor Unhas Prof Jamaluddin Jompa sebagai keynote speaker menyampaikakan bahwa kegiatan ini adalah tempat untuk menyampaikan hal-hal yang kontroversi dengan kepala dingin.
‘’Kita membicarakan hal-hal kontroversi bukan dalam konteks mengadili tapi menyampaikan fakta-fakta,’’ kata Rektor.
Dialog publik ini untuk memperjelas fakta-fakta yang mengemuka setelah Komisi VII DPR RI melakukan rapat dengar pendapat umum dengan tiga gubernur di Sulawesi di Senayan Kamis, 8 September 2022.
Ketiga gubernur yang hadir pada dengar pendapat itu adalah Gubernur Sulawesi Selatan Andi Sudirman Sulaiman, Gubernur Sulawesi Tenggara Ali Mazi, SH dan Gubernur Sulawesi Tengah Rusdy Mastura.
Ketiga gubernur sepakat tidak memperpanjang dan minta pemerintah pusat menghentikan kontrak karya PT Vale Indonesia Tbk.
Alasan pertama Pemprov Sulsel menolak perpanjangan kontrak karya PT Vale menurut Andi Bakti Haruni karena selama 54 tahun hanya mampu mengelola 7.000 hektar atau kurang dari 10 persen dari luas konsesi.
‘’Ini berarti terdapat lebih kurang 100.000 hektar wilayah kontrak karya idle,’’ ungkap Andi Bakti, yang mewakili Gubernur Andi Sudirmn Sulaiman pada dialog itu.
Konsesi kontrak karya PT. Vale 118 ribu hektar di tiga provinsi, Sulsel, Sulawesi Tenggara (Sultra) dan Sulawesi Tengah (Sulteng) untuk dikelola.
Di Sulsel seluas 70 ribu hektar konsesi, tapi hanya 6.800 yang dikelola oleh PT Vale.
“Artinya PT Vale tidurkan kita punya potensi. Padahal kalau itu dikelola oleh orang lain, itu berpeluang besar,” katanya.
Kedua, sebutnya, terjadi cedera janji. Dalam kontrak karya PT Vale wajib membangun smelter di wilayah Bahadopi dan Mattarappe senilai 4 U$$ miliar.
Sulsel bersyukur telah dibangun, akan tetapi untuk di Sultra dan Sulteng belum. Padahal itu bagian dari kontrak karya. Vale tidak melakukan pembangunan smelter.
“Nilainya 4 miliar dollar dan itu belum dilaksanakan, padahal sudah mau berakhir kontrak karya. Katanya sudah ikat kontrak dengan Cina, tapi kapan dibangun,” ujarnya.
Ketiga, pengarusutamaan tenaga lokal. Masih terdapat beberapa tenaga kerja asing (sesuai laporan triwulan 56 orang). Tenaga kerja lokal pada level menengah ke bawah pada piramida organisasi.
“Melihat piramida organisasi perusahaan di sana, sejak kapan ada putra daerah di atas. Semua di level menengah,” ujar Andi Bakti Haruni.
Keempat, dia menjelaskan, pengarusutamaan barang dan jasa dalam negeri tidak pernah diterima laporannya. Oleh karena itu perlu dilakukan audit.
Perintah Presiden (Jokowi) saat di Bali harus gunakan produk dalam negeri. Kami minta untuk diaudit, apakah benar mengarusutamakan. Kalau ada produk dalam negeri, gunakan dong,” beber pria kelahiran Bone ini.
Kelima, PT Vale juga tidak komit meningkatkan kapasitas produksi. Amandemen kontrak karya mengamanatkan PT Vale wajib meningkatkan kapasitas produksi sebesar 25 persen dan rata rata produksi Tahun 2009-2013 atau setara dengan kurang lebih 87.500MT.
Komitmen ini belum pernah terpenuhi, dibuktikan dengan produksi tahun 2020 hanya 72.237 MT dan pada tahun 2021 justru turun menjadi 55.388 MT.
“Artinya, kalau orang mau memproduksi banyak harus Investasi banyak. Ternyata PT Vale tidak cukup modal mengelola Vale,” bebernya.
Keenam, divestasi saham, melakukan divestasi saham 40 persen kepada peserta Indonesia.
Kondisi saat ini PT Mining Industry Indonesia (MIND) mengakusisi 20 persen dan publik 20 persen.
Andi Bakti Haruni menyampaikan, di Morowali dan Timika memperoleh golden share, sedangkan Luwu Timur tak dapat apa-apa.
“Bagaimana dengan golden share ke pemerintah daerah sebagaimana di Timika dan Morowali. Bagaimana rencana pengalihan saham 11 persen,” tanyanya.
Ketujuh, sambungnya, kontribusi ke Sulsel sangat kecil. Andi Bakti Haruni merinci, jumlah penerimaan pada tahun 2019, 2020, 2021, 2022 (sampai dengan triwulan III). Pemprov Sulsel dari PKB, BBNKB, AP, lamdrent royalti dan BBH pertambangan umum sebesar, Rp 33.397.667.602.887 .
Sementara kontribusi PT Vale pada periode tahun yang sama untuk jenis pendapatan yang sama sebesar rp 628.560.627.776. Ini berarti PT Vale hanya berkontribusi rata-rata 1,88 persen per tahun.
Andi Bakti Haruni menyampaikan, di Morowali dan Timika memperoleh golden share, sedangkan Luwu Timur tak dapat apa-apa.
“Bagaimana dengan golden share ke pemerintah daerah sebagaimana di Timika dan Morowali. Bagaimana rencana pengalihan saham 11 persen,” tanyanya.
Ketujuh, sambungnya, kontribusi ke Sulsel sangat kecil. Andi Bakti Haruni merinci, jumlah penerimaan pada tahun 2019, 2020, 2021, 2022 (sampai dengan triwulan III). Pemprov Sulsel dari PKB, BBNKB, AP, lamdrent royalti dan BBH pertambangan umum sebesar, Rp 33.397.667.602.887 .
Sementara kontribusi PT Vale pada periode tahun yang sama untuk jenis pendapatan yang sama sebesar rp 628.560.627.776. Ini berarti PT Vale hanya berkontribusi rata-rata 1,88 persen per tahun.
“Ini yang gubernur tekankan dan membuat kesal. 53 tahun, kontribusi hanya tiga tahun terakhir 1,88 persen rata-rata dari pendapatan sejenis,” ucapnya.
Kedelapan, isu pencemaran lingkungan tetap menjadi sorotan masyarakat dan pemerintah. Slop stability atau kestabilan lereng pada saat penambangan dan pasca tambang.
Potensi terjadinya pencemaran lingkungan akibat limbah beracun S02 di Balantang dan Cr6 di area penambangan Blok Petea. Perlu rekomendasi stabilitas slag dum.
Belum ada data kadar kandungan logam berat dalam darah karyawan dan audit lingkungan secara komprehensip.
“Kami berkesimpulan perlu dilakukan audit lingkungan secara menyeluruh sebelum masuk ke meja perundingan,” tuturnya.
Kesembilan, PLTA Larona 171.36 MW, PLTA Balambano 115,08 MW dan PLTA Karebbe 111,38 MW (asumsi daya mampu 84 persen), seharusnya milik negara, potensi kerugian negara
Dalam kontrak karya menjadi hak Pmpemerintah setelah beroperasi selama 20 Tahun (Kepmen PU dan Tenaga Listrik No. 48/KPTS/1975 tentang Pemberian Izin Usaha Listrik kepada PT INCO).
PLTA Larona yang digunakan sejak tahun 1979 sebesar 131,36 MW seharusnya diserahkan pada tahun 1999 telah digunakan selama 23 Tahun secara tidak sah, hal ini berpotensi merugikan negara triliunan rupiah.
Demikian juga halnya dengan PLTA Balambano 115,08 MW dan PLTA Karebbe 111,38 MW.
Kesepuluh, reklamasi lahan bekas tambang. Andi Bakti Haruni menjelaskan, penataan lahan bekas tambang (restorasi) belum dilaksanakan dengan baik antara lain jalur menuju Blok Petea dan Fiona Dum.
PLTA Larona yang digunakan sejak tahun 1979 sebesar 131,36 MW seharusnya diserahkan pada tahun 1999 telah digunakan selama 23 Tahun secara tidak sah, hal ini berpotensi merugikan negara triliunan rupiah.
Demikian juga halnya dengan PLTA Balambano 115,08 MW dan PLTA Karebbe 111,38 MW.
Kalau restorasi sudah mulai baik, tapi kalau dari arah Petea dan Fiona Dum harus ditanyakan terkait restorasi,” ungkapnya.
Untuk penghijauan kembali (reboisasi) dengan menggunakan benih yang sebagian besar belum tersertifikasi.
“Pemprov Sulsel kehilangan kesempatan, karena seharusnya benih-benih ditanam dapat sertifikasi dari Pemprov Sulsel. Di situ potensi pendapatan kita, tapi hanya sedikit tersertifikasi,” tutur Andi Bakti Haruni.
Terakhir, pengembangan dan pemberdayaan masyarakat (PPM).
Belum menyentuh masyarakat Adat Dongi dan masyarakat Adat Karungise. Jumlah UMKM yang diberdayakan relatif masih sedikit.
Sarana dan prasarana pendidikan dan kesehatan masih terbatas. Pelibatan daerah dalam proses PPM dinilai kurang.
Data BPS pada tahun 2020 menunjukkan bahwa data jumlah penduduk miskin masih tergolong tinggi yaitu 20.820 jiwa dan pada tahun 2021 meningkat menjadi 20.990 jiwa.
“54 tahun PT Vale, Lutim penduduk miskin 20 ribu lebih, malah bertambah,” pungkasnya.
Dialog terbuka yang menghadirkan panelis dari pihak pemerintah dan akademisi ini juga dihadiri tokoh Luwu Timur seperti Hatta Marakarma, Buhari Kahar Mudzakkar, Muh. Hasbi, Marga Taufik, Thalib Mustafa, Husba Phada dan lainnya. (rm/ito)