JAKARTA, TIMEXKUPANG.FAJAR.CO.ID-Setelah melakukan operasi tangkap tangan (OTT) di Jakarta dan Semarang, lalu menetapkan 10 tersangka dalam kasus dugaan suap yang menjerat Hakim Agung Sudrajad Dimyati, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan sejumlah kegiatan pengumpulan alat bukti. Diantaranya melakukan penggeledahan di rumah sejumlah tersangka dan di gedung Mahkamah Agung (MA).
Kegiatan pengumpulan alat bukti ini guna menguatkan konstruksi perkara dugaan suap Hakim Agung Sudrajad Dimyati. Hal itu dilakukan sehari setelah pelaksanaan OTT, Jumat (23/9).
Kepala Bagian (Kabag) Pemberitaan KPK, Ali Fikri mengungkapkan, serangkaian kegiatan lanjutan penyidikan itu dilakukan setelah pihaknya menetapkan sepuluh tersangka dugaan suap pengurusan perkara di MA. Di antara sepuluh tersangka tersebut, delapan sudah ditahan. Antara lain enam tersangka sebagai penerima suap, yakni Hakim Agung Dimyati, Desy Yustria dan Muhajir Habibie (PNS pada Kepaniteraan MA), Elly Tri Pangestu (Panitera pengganti MA), serta Nurmanto Akmal dan Absari (PNS MA).
Lalu dua tersangka pemberi suap, yakni pengacara Yosep Parera dan Eko Suparno. Sedangkan dua orang lain dari pihak swasta, yakni Ivan Dwi Kusuma dan Heryanto Tanaka, masih buron dan diminta menyerahkan diri. Keduanya merupakan debitur Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Intidana.
Ali menjelaskan, dari hasil penggeledahan itu, tim penyidik mendapatkan sejumlah alat bukti berupa dokumen penanganan perkara dan data elektronik. Semua barang bukti tambahan tersebut telah disita untuk dianalisis tim penyidik. ”Analisis segera dilakukan untuk melengkapi berkas penyidikan para tersangka,” ungkapnya, Sabtu (24/9).
Selain dugaan suap terkait pengurusan perkara perdata KSP Intidana, KPK saat ini mendalami indikasi suap terkait pengurusan perkara lain. Pendalaman dilakukan seiring hasil pemeriksaan awal terhadap para saksi.
Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata mengamini hal tersebut. Menurut dia, pegawai-pegawai MA yang ditetapkan sebagai tersangka itu juga mengurus perkara-perkara lain di MA. Dari situ KPK menelusuri dugaan suap lain yang berkaitan dengan pengurusan perkara. Tentu dengan mempelajari pola suap yang sedang didalami saat ini. ”Itu semua harus didasarkan atas kecukupan alat bukti,” ujarnya.
Pengawasan Lemah
Terpisah, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana menyatakan, terungkapnya kasus dugaan suap hakim agung makin memperlihatkan bahwa kondisi lembaga kekuasaan kehakiman tersebut benar-benar mengkhawatirkan. Apalagi, sampai ada enam orang dari pihak MA yang menjadi tersangka. ”Lembaga peradilan semakin tercoreng dengan adanya kasus ini,” ujarnya kepada Jawa Pos, Sabtu (24/9).
Berdasar data KPK, ada 21 hakim yang terbukti melakukan praktik korupsi selama ini. Itu belum termasuk Dimyati yang kasusnya kini bergulir di KPK. ”Ini tentu menunjukkan bahwa ada yang salah dengan sistem pengawasan dan pencegahan korupsi di lingkungan peradilan kita,” terang dia.
Lemahnya proses pengawasan di lingkungan peradilan menjadi poin krusial yang disorot ICW. Kurnia menyebut Badan Pengawas MA dan Komisi Yudisial (KY) sebagai entitas yang patut ditunjuk terkait lemahnya pengawasan itu. ”Karena kondisi itu (lemahnya pengawasan di lingkungan peradilan, Red) memungkinkan masih banyaknya oknum dan petugas pengadilan yang korup,” ujarnya.
Longgarnya pengawasan tersebut, lanjut Kurnia, sejalan dengan kinerja MA yang semakin ngawur dalam rentang waktu beberapa tahun terakhir. Kinerja MA yang dimaksud berkaitan dengan pengenaan hukuman ringan terhadap pelaku korupsi yang terus berulang. ”Di 2021 rata-rata vonis pengadilan hanya mencapai 3 tahun 5 bulan,” ungkap pria berkacamata tersebut.
Bukan hanya itu, MA banyak mengobral diskon pemotongan masa hukuman pelaku korupsi melalui proses peninjauan kembali (PK). ICW mencatat, pada 2021 ada 15 terpidana korupsi yang dikurangi hukumannya oleh MA melalui upaya hukum luar biasa tersebut. ”Itu membuat pelaku korupsi tidak mendapatkan efek jera,” cetusnya.
Lebih parahnya lagi, lanjut Kurnia, MA juga berkontribusi terhadap pembebasan bersyarat (PB) 23 napi korupsi yang sempat ramai beberapa waktu lalu. Itu menyusul dibatalkannya regulasi yang mengatur secara ketat pemberian remisi terhadap napi korupsi oleh MA melalui uji materiil Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
”Evaluasi secara menyeluruh harus benar-benar dilakukan oleh MA kalau memang ingin membersihkan praktik korupsi di lembaga peradilan,” tegas Kurnia.
Sementara itu, Ketua Kamar Pengawasan MA, Zahrul Rabain mengatakan, pihaknya sudah berusaha meningkatkan kredibilitas aparatur peradilan. Pembenahan dilakukan dengan berbagai pendekatan. Mulai pengawasan yang sifatnya struktural hingga pengawasan melekat. ”Kami dapat pelajaran untuk meningkatkan pengawasan,” ucapnya.
Sebagaimana diberitakan, KPK melakukan OTT di Jakarta dan Semarang terkait dugaan suap pengurusan perkara di MA. KPK kemudian menetapkan sepuluh tersangka, yakni 6 orang merupakan aparatur peradilan di lingkungan MA, 2 advokat, dan 2 pihak swasta yang beperkara.
KPK mendapatkan barang bukti uang SGD 205.000 yang bersumber dari Ivan dan Heryanto. Uang itu rencananya dibagi-bagi ke sejumlah pihak. Di antaranya untuk Dimyati Rp 800 juta. (tyo/c9/fal/JPG)
KORUPSI DAN LINGKUNGAN PERADILAN
- Sebanyak 21 hakim yang menjadi tersangka di KPK terbukti melakukan praktik korupsi.
- Mereka berkontribusi dalam pembebasan bersyarat 23 napi korupsi seiring dikabulkannya uji
materiil PP 99/2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan
Pemasyarakatan. - Tren vonis terhadap napi korupsi di tahun 2021 rata-rata hanya 3 tahun 5 bulan.
- Celah korupsi tidak dibarengi dengan sistem pengawasan yang baik oleh Badan Pengawas MA
dan Komisi Yudisial.
Sumber: ICW dan diolah dari berbagai sumber