Belum Ada Tenaga Ahli, Rujuk Jadi Pilihan

  • Bagikan
Rossy Bella Oktalia, Analis di RSUD Sabu Raijua. (FOTO: ISTIMEWA)

Oleh: Rossy Bella Oktalia *)

Moto Revolusi KIA NTT

Jika datang satu

Pulang harus dua

Tiga pun boleh asal jangan satu

Apalagi semua tak ada yang pulang

Lagu ini biasa dijumpai di siaran radio lokal Nusa Tenggara Timur (NTT). Lagu ini menjadi spirit NTT untuk mencegah munculnya Angka Kematian Ibu (AKI) maupun Angka Kematian Bayi (AKB) saat ibu mengandung hingga melakukan proses persalinan dan pasca persalinan 28 hari.

Beberapa hari lalu, tepatnya tanggal 24 Oktober, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) merayakan ulang tahunnya yang ke-72. Tema yang diusung pada HUT IDI tahun ini, yakni "Berbakti untuk Negeri, Mengabdi untuk Rakyat, Satu IDI Terus Maju". Temanya menarik, penuh semangat untuk mengajak semua dokter yang menajadi bagian dari IDI terus berbakti pada bumi pertiwi.

Hanya, masih ada satu permasalahan di tubuh IDI, yaitu belum meratanya persebaran dokter spesialis di Indonesia. Persebaran dokter spesialis hanya terpusat pada kabupaten/kota besar di pusaran Pulau Jawa.  Hal ini disampaikan dr. Adib Khumaidi selaku Pengurus Besar (PB) IDI bahwa setidaknya setiap kabupaten/kota harus dilengkapi tujuh dokter spesialis. Lima di antaranya adalah Pelayanan Medik Spesialis Dasar yang terdiri dari  Pelayanan Penyakit Dalam, Pelayanan Kesehatan Anak, Pelayanan Bedah, Pelayanan Anastesi dan Pelayanan Obstetri dan Ginekologi.

Faktanya 42 persen kabupaten/kota bahkan sama sekali belum memiliki dokter spesialis. Salah satu kabupaten yang masih minim dokter spesialis adalah Kabupaten Sabu Raijua. Kabupaten

yang masuk wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur ini, berada di beranda selatan Indonesia. Jika dilihat di peta Indonesia, keberadaan kabupaten ini hanya berupa titik di bagian selatan peta tersebut.

Pemerintah Kabupaten Sabu Raijua mempunyai satu rumah sakit berstatus Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD), dan enam Puskesmas yang tersebar di enam kecamatan. Satu di antaranya terpisah pulau, yakni di Kecamatan Ledeunu, di Pulau Raijua.

Kabupaten dengan sebutan Pulau Sejuta Lontar ini sesuai letak geografis berada di tengah lautan lepas. Dengan tidak adanya dokter spesialis, tentu menyulitkan Fasilitas Kesehatan (Faskes) dalam melakukan upaya-upaya penanganan pasien.

Proses merujuk pasien memiliki kendala jarak tempuh, waktu tempuh, dan juga pembiayaan yang tidak sedikit jika harus melakukan proses rujuk. Tak jarang, proses rujuk merujuk selalu jadi keputusan panjang yang untuk disetujui oleh pihak faskes maupun keluarga pasien.

Salah satu dokter spesialis yang masih kosong hingga kini adalah spesialis Obstetri dan Ginekologi (Obgin). Terakhir keberadaan dokter spesialis ini adalah pada Februari 2020. Sejak saat itu, Sabu Raijua resmi tidak memiliki dokter spesiallis Obstetri dan Ginekologi. Dokter spesialis Obgin adalah dokter yang mengkhususkan diri dalam kesehatan reproduksi wanita, termasuk menstruasi, kehamilan, persalinan, dan menopause. Artinya, selain memeriksakan kandungan, dokter obgin juga memiliki keahlian untuk mendiagnosis dan merawat perempuan dari segala usia dan profil, mulai dari pubertas hingga dewasa.

Selama periode 2020 – 2022, Angka Kematian Ibu (AKI) di Sabu Raijua tercatat berjumlah 19 orang. Jika dirata-ratakan dalam setahun, enam orang ibu nyawanya terenggut karena proses hamil dan melahirkan. Sedangkan Angka Kematian Bayi (AKB) dalam tiga tahun terakhir ini menjadi 114 atau 38 orang kasus rata-rata per tahun.

Selama belum ada tenaga ahli atau dokter spesialis, semua pelayanan poli Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) dipegang oleh dokter umum dibantu oleh tenaga bidan. Pasien dengan diagnosa kehamilan berisiko, dan pasien yang tidak dapat ditolong oleh tenaga medis, akan dilakukan rujuk antarfasilitas kesehatan.

Tidak hanya itu. Menurut dokter penanggung jawab poli KIA RSUD Sabu Raijua juga menjelaskan sebagai dokter umum ia memiliki keterbatasan dalam membaca hasil ultrasonografi (USG), sehingga untuk beberapa hasil USG, Ia tidak dapat menginterpretasikan hasil tersebut, sehingga Ia harus merujuk beberapa pasien melakukan USG di Kupang.

“Sebagai dokter umum tentu saya punya keterbatasan dalam membaca hasil ultrasonografi (USG). Tapi karena kondisi tidak ada dokter spesialis makanya saya ditunjuk untuk itu. Belum lagi banyak pasien yang menolak untuk dirujuk  dengan alasan kalau pergi ke Kupang tidak ada sanak saudara dan tidak punya cukup biaya,” Terang Dokter berkacamata yang biasa di sapa dr. Joy.

Letak geografis Pulau Sabu Raijua yang di tengah lautan membuat akses rujukan lintas pulau ini tidak mudah. Pasien harus dirujuk menggunakan kapal laut atau perahu motor jika pasien merupakan rujukan dari Puskesmas Ledeunu. Proses panjang ini membuat pasien tak selalu dapat tertolong sampai di fasilitas kesehatan rujukan. Kendala lain transportasi ini adalah jika cuaca kurang bersahabat, maka kapal atau perahu motorpun tak dapat berlayar.

Salah seorang pasien yang dulu pernah dirujuk menceritakan pengalamannye dirujuk ke Kupang. Awal mulanya Ia masuk ke faskes pertama Puskesmas Seba, setelah tiga hari dirawat di Puskesmas, Ia pun dirujuk ke RSUD Sabu Raijua untuk mendapat pertolongan lanjutan.

Namun karena ketiadaan dokter spesialis, tidak banyak hal yang bisa dilakukan di rumah sakit. Selama dua hari Ia dirawat di RS dengan kondisi masih dengan pembukaan empat dan belum adanya tanda inpartu (Persalinan). Akhirnya Ia pun dirujuk ke Kupang dengan didampingi oleh ayahnya dan seorang bidan dari RSUD Sabu Raijua menggunakan kapal laut.

“Waktu itu bulan Desember, sudah masuk musim hujan. Takut sebenarnya mau naik kapal pada musim begini, tapi mau tidak mau harus mau. Karena tidak ada pilihan, mau anak ini selamat maka beta harus berangkat dengan kapal,” jelas Eka.

Kondisi pasien dengan kehamilan berisiko mengharuskan pasien harus dirujuk. Proses melahirkan dengan section caesarea (SC) tidak dapat dilakukan di RS ini, padahal fasilitas sarana dan prasarana yang dimiliki RS ini sudah sangat memadai. Namun, karena belum ada dokter spesialis atau dokter ahli, maka aktivitas pertolongan persalinan dengan SC tidak dapat dilakukan di RS Sabu Raijua dan harus dirujuk ke Kupang.

Perihal merujuk pasien juga bisa dilakukan dengan menggunakan pesawat terbang. Ada satu maskapai yang melayani penerbangan di kabupaten ini. Dimonim Air namanya.

Namun, jika menggunakan pesawat, berarti harus menyewa pesawat tersebut, dan seluruh biayanya  ditanggung pribadi oleh si pasien.

Pembiyaan menggunakan transportasi ini terbilang tidak murah. Pasien yang hendak dirujuk harus merogoh kocek lebih kurang Rp 50.000.000,- . Jumlah yang cukup fantastis. Banyak pasien dengan ekonomi menengah ke bawah harus pasrah atas keadaan yang ada. Tak dapat di tolong dokter ahli adalah kenyataan pahit yang harus ditelan oleh pasien dan keluarga.

Belum lama ini, tepatnya bulan Juni, pasien dengan diagnosa Kehamilan Ektopik Terganggu (KET) harus dirujuk sesegera mungkin menuju rumah sakit rujukan untuk mendapatkan pertolongan. Jika tidak, nyawa pasien bisa menjadi taruhannya.

Petugas medis yang ada di RSUD Sabu Raijua langsung menginformasikan kepada keluarga pasien. Informasi bahwa pasien harus segera dibawa ke rumah sakit di Kupang yang ada tenaga ahli untuk segera ditolong. Satu-satunya cara dalam rujukan waktu itu adalah dengan transportasi udara.

Mengetahui keadaan darurat tersebut, keluarga langsung bertindak cepat untuk mempercepat proses rujukan. Transportasi udara menggunakan pesawat Dimonim didampingi oleh tenaga

kesehatan dari RS Sabu Raijua dan pihak keluarga. Pembiayaan transportasi terbilang tidak murah itu dibantu oleh beberapa pihak. 

Pasien tersebut biasa disapa Ovin. Ia menceritakan tentang pengalaman rujuknya tersebut. Pengalaman saat Ia mengalami kondisi kritis, yang menyebabkannya harus sesegera mungkin mendapat pertolongan.

"Waktu itu beta dirujuk dengan diagnosa dokter Kehamilan Ektopik Terganggu, kurang lebih usia kandungan baru saja berjalan dua minggu menurut hasil Ultrasonografi (USG) di RS Menia, tapi tiba-tiba saja beta punya badan drop. Beta rasa keram perut dan juga lemas sampai sonde sadarkan diri,” Cerita Ovin sambil mengingat pengalamannya empat bulan yang lalu.

Dirinya juga menyebutkan beberapa nama yang turut membantunya dalam pembiyaan rujukan tersebut. Beberapa nama yang disebutnya yaitu Ibu Pdt Sarah Bani, Bapak Hermanus Kana Lomi dan juga dari pihak keluarganya yang turut andil menyelesaikan pembiayaan charter pesawat.

“Aduh kak, itu waktu keluarga charter pesawat, pesawat  satu-satunya pilihan untuk beta selamat sampe Kupang, biaya charter  pesawat tuh lima puluh juta. Puji Tuhan,Tuhan buka jalan lewat orang-orang yang sayang beta, sumbangan yang beta dapat Rp 30 juta, sisanya beta punya Bapa dan kakak yang tanggung kak,” kata Ovin menjelaskan kronologinya.

Kehamilan yang dialaminya ini adalah kehamilannya yang ketiga. Kehamilan pertamanya anaknya meninggal, dan kehamilan kali ini dia mengalami KET dan harus dilakukan dua tindakan operasi besar, yakni operasi belah perut dan operasi Tuba Fallopi.

Mengingat apa yang dialaminya, Ia sangat berharap RSUD Sabu Raijua segera memiliki dokter spesialis Obstetri dan Ginekologi agar pasien lainnya tidak mengalami kondisi kritis yang sempat ia alami. “Beta pung harapan sih, semoga Rumah Sakit Menia segera punya spesialis Obgin dan Anastesi su, kalau sonde punya akan sangat fatal kalau ada kasus gawat darurat seperti yang beta alami kemarin,” jelas Ovin.

Ellen, salah satu bidan yang merupakan penanggung jawab ruangan kebidanan di RSUD Sabu Raijua menjelaskan, sebagai seorang bidan Ia turut bersedih atas keadaan yang ada. Menurutnya banyak kasus kebidanan yang seharusnya bisa ditangani di Sabu Raijua, namun karena belum adanya dokter spesialis, terpaksa pasiennya harus dirujuk.

“Pasien dengan abortus (Keguguran) dan pendarahan, harusnya bisa ditolong disini, tapi tidak bisa ditolong karena tidak ada dokter spesialis. Belum lagi pasien dengan eklampsia yang harus meninggal karena tidak bisa diterminasi dengan cepat. Kasus kegawatan yang harus ditangani cepat. Kalo ketong (Kita) rujuk dengan kapal waktu tempuh 11 jam, belum kalo ada perubahan kondisi cuaca atau kondisi di kapal, itu jadi soal,” jelas Ellen.

Ia pun sangat berharap kedatangan dokter spesialis sebagai tenaga ahli agar dapat menyelesaikan permasalahan kesehatan ibu dan anak di kabupaten ini.

Telah banyak usaha dan upaya yang telah dilakukan oleh manajemen RSUD dan pemerintah daerah setempat. Dari menyiapkan anggaran dokter spesialis juga menyiapkan sarana prasarana penunjang untuk dokter spesialis. Upaya pengiklanan juga terus dilakukan. Namun kabupaten ini masih belum berjodoh dengan dokter spesialis Obstetri dan Ginekologi.

Beberapa waktu lalu, manajemen rumah sakit melakukan kordinasi langsung ke Kementerian Kesehatan. Bulan oktober ini, seperti Tuhan mendengar harapan besar masyarakat Sabu Raijua. Melalui Program Pemberdayagunaan Dokter Spesialis dari Kementrian Kesehatan terhitung tanggal 1 November 2022, Kabupaten Sabu Raijua memiliki dokter spesialis Obstetri dan Ginekologi. Ini menjadi berita gembira masyarakat Sabu Raijua.

“RS memang meminta langsung kepada kementerian, RS juga meminta agar diprioritaskan untuk dokter spesialis Obgin karena memang Sabu belum ada dokter Obgin, semoga tanggal 1 ini tidak ada halangan supaya dokter cepat datang,” terang dr. Ester selaku Plt. Direktur RSUD Sabu Raijua.

Kabar baik ini seolah selaras dengan lirik lagu Revolusi KIA NTT yang sering didengar di siaran radio lokal. Jika ibu sehat pasti bayi pun sehat

Semuanya sehat pasti Sejahtera

Kedatangan dokter spesialis obgin menjadi harapan dalam menekan Angka Kematian Ibu / Angka Kematian Bayi AKI/AKB. Pasien bisa mendapat pelayanan kebidanan dan kandungan yang sudah dua tahun ini tidak didapatkan. Pasien butuh dokter untuk mendapatkan pelayanan, dokter butuh pasien untuk menjalankan tugas melayani. (*)

*) Analis di RSUD Sabu Raijua

  • Bagikan

Exit mobile version