KUPANG, TIMEXKUPANG.FAJAR.CO.ID-Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) mendapat tambahan amunisi baru dengan lahirnya sebanyak 34 pendeta baru yang ditahbis, Minggu (6/11). Ke-34 pendeta baru yang sebelumnya berstatus vikaris itu ditahbiskan menjadi pendeta GMIT di Jemaat Lahai Roi Tofa, Kelurahan Maulafa, Kota Kupang. Prosesi dimulai dengan calon pendeta dan pendeta pendamping memasuki ruang penahbisan diiringi pembacaan profil calon pendeta. Kemudian, dilanjutkan dengan liturgi kebaktian.
Pada momentum iman tersebut, para calon pendeta mengucapkan pengakuan serta janji dihadapan Allah dan jemaat. Serta diikuti dengan penandatangan akta kependetaan. Lalu, para pendeta pendamping mengambil toga dan stola untuk dipakaikan kepada calon pendeta, lalu prosesi berlanjut hingga akhir.
Setelah ditahbiskan dan diperhadapkan, 34 pendeta baru tersebut diutus ke daerah pelayanan masing-masing di berbagai gereja lingkup GMIT. Beberapa daerah tersebut diantaranya, Sabu Raijua, Alor, Amfoang, Flores, Belu, dan SoE Timur.
Momentum iman ini dihadiri langsung Ketua Majelis Sinode GMIT, Pdt. Dr. Mery Kolimon, Ketua DPRD NTT, Ir. Emelia J. Nomleni, Asisten Perekonomian dan Pembangunan Setda NTT, Ganef Wurgiyanto, Penjabat Wali Kota Kupang, George M. Hadjoh, Wakil Bupati Kabupaten Kupang, Jerry Manafe, serta Camat dan Lurah Maulafa.
Pdt. Anita Amnifu Mooy tampil sebagai pengkhotbah dalam momen religus itu. Dalam khotbahnya, Pdt. Anita mengatakan, menjadi pendeta tidaklah mudah. Selalu ada masalah internal maupun eksternal. Jemaat memiliki perspektif yang berbeda-beda. Karena itu, pendeta haruslah membangun relasi yang baik antara pelayan dan jemaat.
"Belajar bertumbuh bersama dengan jemaat, belajar memahami orang lain, saling menerima karena tentu jemaat punya beragam perspektif untuk masalah apapun," ujarnya.
Ia menyebut, sebagai pendeta terpanggil, sepatutnya terus bertumbuh dan bersinar di tengah jemaat di tempat pelayanan. Ia menegaskan, agar pendeta harus mencintai pelayanan yang diemban. Jangan mementingkan urusan keluarga hingga selalu meninggalkan jemaat.
"Cintai pelayanan, jangan menjadi pendeta yang beberapa hari saja dengan jemaat. Mulai dari cavik, vikaris, begitu panjang perjalanan. Tapi begitu jadi pendeta, SK di tangan, pokoknya hampir setiap orang kawin atau baptis dikampung dia jadi saksi habis. Itu sangat membutuhkan waktu yang banyak untuk meninggalkan jemaat, pendeta yang begitu tidak perlu ditahbis," tegasnya.
Sementara itu, Ketua Majelis Sinode GMIT, Pdt. Merry Kolimon, mengatakan, keluarga yang telah melepaskan anaknya untuk menjadi pelayan Tuhan, harus terus mendukung dalam segala tugas maupun pelayanan.
Ia menganalogikan, seperti kolekte yang ditaruh pada tanggul persembahan. Begitulah layaknya orang tua yang mempersembahkan anak-anaknya dengan kerelaan hati dan sukacita. Sehingga, ia sangat mengharapkan, dukungan dari keluarga untuk pendeta baru yang diutus.
"Bukan saja pendeta yang diutus, tetapi keluarga pun diutus untuk terus mendukung pelayanan pendeta," ungkap Pdt. Merry.
Pdt. Merry menegaskan, agar jadilah pendeta yang memberitakan kabar baik. "Pergilah ke ladang pelayanan dengan membawa kabar baik. Bawalah energi mudamu, kecerdasan, semangat positif, kegigihan, jiwa juang dan kepedulian," pesannya.
Menurutnya, pelayanan di jemaat dapat berhasil apabila disertai dengan spiritualitas di hadapan Tuhan, mengerti pergumulan yang dihadapi jemaat, dan bekerja sama/bermitra dengan pemerintah atau stakeholder. "Melakukan pelayanan holistik tanpa kerja sama dengan berbagai pihak, tidak akan berhasil. Pemerintah bukan sainganmu, tetapi rekan kerja," tuturnya.
Para pendeta diharapkan untuk terus berteologi, jangan sekadar membaca Alkitab secara harafiah, tetapi temukan pesan inti dari kitab suci dan dialogkan dengan kehidupan tantangan di jemaat yang ada.
Dalam acara tersebut, Gubernur NTT yang diwakili Asisten Perekonomian dan Pembangunan Setda Provinsi NTT, Ganef Wurgianto mengatakan, momentum itu membawa syukur dan sukacita serta kekuatan baru bagi jemaat untuk mengaktualisasikan secara sinegri melalui perkataan dan perbuatan ditengah tantangan era digital saat ini.
Kemajuan teknologi yang dimanfaatkan secara tidak biasa, menimbulkan gaya hidup dan perilaku yang mementingkan diri sendiri, materialistis dan sesungguhnya bertentangan dengan umat manusia yang beradab dan memiliki nilai.
"Apabila berlangsung terus menerus, maka umat manusia akan meninggalkan nilai-nilai moral, sehingga sangat dibutuhkan peran dan aksi nyata dari lembaga sosial keagamaan, terkhususnya pendeta dan gereja," pintanya.
Lembaga keagamaan, lanjut Ganef, akan menjadi mitra yang saling menopang dengan pemerintah untuk membangun kehidupan masyarakat menuju religius, moralitas dan etika yang lebih baik. Harus selalu menjadi inspirasi utama bagi jemaatnya.
Pendeta harus menjadi prioritas dalam pembangunan pendidikan berkarakter Kristus melalui pendidikan khsususnya, pendidikan sekolah minggu yang adalah dasar utama mewujudkan umat kristiani yang berkualitas.
"Pengenalan akan Kristus harus dimulai sejak dini agar menjadi pemimpin yang meneladani Kristus. Pendeta harus terlibat secara langsung dengan anak-anak sekolah minggu, karena pendeta memiliki pengetahuan teologis yang mumpuni untuk disalurkan kepada anak-anak," pungkasnya. (Cr1)
Editor: Marthen Bana