MATARAM, TIMEXKUPANG.FAJAR.CO.ID-Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Mataram menyesalkan sikap perwira pada Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda NTB, yang mengintimidasi jurnalis ntbsatu.com, Mugni Ilma pada Rabu, (7/12). Selain intimidasi verbal, korban juga diancam pidana menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru saja disahkan oleh DPR RI pada Selasa (6/12).
Jurnalis tersebut sebelumnya menulis berita terkait dugaan fee yang mengalir ke oknum penyidik Ditreskrimsus yang sedang menangani kasus kosmetik ilegal. Berita tersebut dipastikan sudah memenuhi unsur fakta dan kaidah jurnalistik tentang asas keberimbangan.
Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Mataram, Muhammad Kasim sangat menyesalkan tindakan intimidasi yang kembali dilakukan oleh penyidik Polda NTB terhadap Mugni Ilma. Ini adalah intimidasi ketiga yang dialami Mugni terkait pemberitaan di lingkungan Kepolisian NTB.
Dalam kasus dugaan fee yang diterima oknum penyidik, dipastikan berita pertama telah memenuhi unsur cover both side, bahkan berita kedua memuat klarifikasi dan bantahan langsung dari Direktur Reskrimsus Polda NTB, Kombes Pol. Nasrun Pasaribu.
"Berita yang ditulis sudah melalui proses verifikasi dan konfirmasi. Secara kaidah maupun kode etik tidak ada yang dilanggar," kata Cem, sapaan akrab Ketua AJI Mataram dalam keterangan tertulisnya, Jumat (9/12).
Intimidasi yang dilakukan oleh perwira berpangkat Komisaris Polisi (Kompol) dan penyidik Ditreskrimsus Polda NTB terhadap jurnalis tidak dapat dibenarkan. Karena hal itu masuk dalam kategori perbuatan menghalangi-halangi kerja jurnalis yang dapat diancam pidana penjara dua tahun dan denda Rp500 juta, sebagaimana diatur Pasal 18 ayat 1 UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Cem mengecam sikap arogansi perwira yang mengancam memenjarakan jurnalis dengan KUHP yang baru disahkan oleh DPR RI. Padahal UU tersebut baru berlaku efektif setelah tiga tahun.
"Kami melihat KUHP ini baru disahkan saja sudah dijadikan alat untuk intimidasi. Tentu ini jadi preseden buruk bagi Polri karena KUHP tersebut belum berlaku efektif,” katanya.
Selain itu, AJI juga mengecam ancaman yang dilontarkan Kasubdit tersebut terhadap korban dengan mengatakan jejak komunikasi digital serta akun sosial medianya sudah terlacak.
Kasim menilai, sikap dan tindakan anggota polisi ini termasuk ancaman serius bagi kebebasan pers. "Ingat bahwa negara tidak memberikan fasilitas kepada kepolisian untuk menakut-nakuti masyarakat, apalagi pers yang telah dilindungi undang-undang," kata dia mengkritik.
Pemanggilan sepihak dan intimidasi kepada jurnalis mestinya tidak terjadi lagi karena keberatan atas pemberitaan memiliki mekanisme tersendiri, sebagaimaa diatur dalam Undang-Undang Pers melalui hak jawab dan atau hak koreksi.
Melalui siaran pers ini, Kasim menekankan agar Polri mematuhi perjanjian kerja sama antara Bareskrim Polri dengan Dewan Pers dengan Nomor 03/DP/MOU/III/2022 dan Nomor NK/4/III/2022. Perjanjian kerja sama ini untuk meminimalisir kriminalisasi terhadap karya jurnalistik.
Atas kejadian ini dan rentetan kejadian sebelumnya, Kasim meminta Kapolda NTB Irjen Pol. Djoko Poerwanto mengevaluasi kinerja jajarannya mulai dari tingkat Direktur hingga Kasubdit, kemudian menjatuhkan sanksi kepada yang terbukti melanggar kebebasan pers.
Sementara itu, Kabid Humas Polda NTB Kombes Pol. Artanto di hadapan sejumlah pengurus AJI Mataram mengklarifikasi, bahwa ada miskomunikasi antara Kasubdit tersebut dengan jurnalis ntbsatu.com. Penyampaian Kasubdit bersama penyidik, bermaksud untuk menjelaskan posisi kasus tersebut dan dampaknya bagi personal penyidik hingga atasannya.
Kendati demikian, Artanto memastikan kejadian ini akan menjadi bahan evaluasi secara internal. Artanto berharap tidak ada lagi yang saling mempersoalkan, baik antara jurnalis maupun penyidik Ditreskrimsus. Ia juga menyerahkan penyelesaian masalah miskomunikasi itu kepada Kapolda NTB, Irjen Pol. Djoko Poerwanto agar nenjadi evaluasi. Salah satu upaya yang akan dilakukan dengan menggelar sosialisasi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers kepada penyidik mulai dari tingkat Polda hingga Polres. (*/aln)