Dituding Gelapkan Tanah Warga, Hendrik Candra: Saya Beli Bukan Ambil Sembarang

  • Bagikan
Pengusaha Hendrik Chandra menunjukan sertifikat bukti kepemilikan lahan. (FOTO: Hans Bataona/TIMEX)

LABUAN BAJO, TIMEXKUPANG.FAJAR.CO.ID-Seorang advokat atau pengacara di Labuan Bajo, Manggarai Barat, Francis Dohos Dor menuding pengusaha Hendrik Candra telah menggelapkan sebidang tanah milik kliennya atas nama Muhammad Rudini. Tanah tersebut beralamat di Wae Mata, Desa Gorontalo, Kecamatan Komodo.

Kasus ini pun sudah dilaporkan ke Kepolisian Resor (Polres) Manggarai Barat (Mabar). "Klien kami sangat dirugikan karena tanahnya digelapkan oleh Hendrik Candra," kata Francis kepada TIMEX di Labuan Bajo, Kamis (8/12).

Menurut Francis, objek tanah warisan kliennya berukuran 20 m x 50 m di Wae Mata kini telah masuk dalam bidang tanah dengan Sertifikat Hak Milik No. 001666 Tahun 2018 atas nama Haryanto Chandra, anak kandung Hendrik Chandra. Padahal klienya dan pewaris kakeknya Ibrahim Hanta tidak pernah menjual tanah tersebut kepada siapapun. Mereka mengerjakan sendiri tanah tersebut dengan menanami tanaman kebun sejak menerima penyerahan adat tahun 1976 hingga sekarang.

Francis melanjutkan, pada 1983, Hendrik Chandra ada perjanjian pengelolaan dengan Nabur atas tanah Nabur ukuran 40 m x 50 m. Sedangkan tanah kliennya itu berbatasan langsung sisi Selatan dengan tanah Nabur tersebut. Lalu Tanah Nabur itu dihibahkan Hendrik Chandra ke adik kandungnya almahrum Mulyadi Chandra tahun 1984, dan tanah tersebut di Sertifikat Hak Pakai No.1549 tahun 1989 atas nama Mulyadin Chandra dengan Dasar Hak Pengelolaan.

Lalu pada 1992, Mulyadi Chandra meninggal dunia tanpa ada anak kandung, lalu Haryanto Chandra, anak kandung Hendrik Chanda menjadi ahli waris Mulyadin Chandra. Anehnya, pada 21 Februari 1998, terbit Surat Keterangan Perolehan Adat bercap jempol Nabur yang sejatinya memiliki tanda tangan.

Isi Surat itu kemudian tertulis ukuran tanah Nabur menjadi 55 m x 70 m yang berbeda jauh dengan ukuran pembagian tanah ulayat di Wae Mata yang perkaplingnya berukuran 20 m x 50 m. Diduga surat itu sengaja dibuat untuk menghapus Hak Milik Ibrahim Hanta yang telah lebih dahulu meninggal tahun 1986.

Kemudian pada 2015, lanjut Francis, Sertifikat Hak Pakai tersebut telah habis masa berlaku, dan diajukan permohonan menjadi Sertifikat Hak Milik oleh Haryanto Chandra dengan Dasar Jual/Beli dari Nabur tahun 1983 yang dibuktikan dengan Kwitansi tahun 1983 atau Akta di bawah tangan.

Dalam warkah permohonan Sertifikat Hak Milik No.001666 a/n Haryanto Chandra tersebut, ukuran yang dimohonkan adalah 2.000 m2, namun ukuran di Sertifikat tersebut 3.146 m2 seiring tanah Muhamad Rudini dari warisan almahrum Ibrahim Hanta hilang dan masuk dalam objek tanah sertifikat tersebut.

Francis menjelaskan, Sertifikat Hak Pakai itu adalah Hak Pengelolaan dalam batas 25 tahun, bisa dinaikkan statusnya menjadi Hak Milik bila dilengkapi persyaratan jual/beli berakta otentik dengan Pemilik Perseorangan objek tanah tersebut.

Peralihan Status, lanjut Francis, dari Sertifikat Hak Pakai No.1549 tahun 1989 ke Sertifikat Hak Milik No.001666 tersebut diduga tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan menurut peraturan perundangan karena tidak ada akta otentik jual/beli antara Nabur dan Hendrik Chandra. Lagi pula objek tanah klien saya tidak ditemukan adanya perikatan apapun dengan Hendrik Chandra, Mulyadi Chandra ataupun Haryanto Chandra yang dalam warkah tanah Sertifikat Hak Milik No.001666 a/n Haryanto Chandra.

Pihak Ahli Waris Alm. Nabur yakni Abdul Jaharudin dan satu-satunya Penata Tanah Wae Mata Tahun 1976 yakni Mohamad Ndunger yang masih hidup telah bersaksi bahwa mereka mengakui Tanah Kepemilikan Ibrahim Hanta ukuran 20 m x 50 m berbatasan langsung dengan Tanah Nabur.

"Kami menduga terlapor ini punya orang-orang khusus di BPN Mabar sehingga walaupun diduga tidak memenuhi persyaratan peningkatan status hak pakai ke hak milik dengan mudah segala proses bisa bim salabim jadi Sertifikat Hak Milik," ujarnya.

Untuk itu, dirinya selaku kuasa hukum klienya meminta agar Pihak Kepolisian bisa bekerja secara profesional dalam menyelidik laporan mereka, sebab bagi Francis, praktik-praktik yang terjadi di kasus ini adalah bentuk praktik mafia tanah yang harus diberantas melalui penegakkan hukum.

Terpisah, Hendrik Chandra ketika ditemui media ini menegaskan bahwa tanah yang dimiliki dan bersertifikat telah diperolehnya melalui proses jual beli dirinya bersama Ibrahim Hanta selaku pemilik tanah.

Tidak hanya itu, Hendrik mengaku bahwa dari proses jual beli sampai terbit sertifikat sudah melalui proses panjang. Dirinya mempertanyakan kasus ini muncul disaat Ibrahim Hanta masih hidup tidak pernah dipersoalkan siapapun.

"Tanah itu saya beli bukan ambil sembarang. Saya tanya kenapa saat Ibrahim Hanta masih hidup tidak dipersoalkan, sekarang baru diributkan," tanyanya.

Hendrik menambahkan, dirinya siap memberikan keterangan dan memberikan bukti-bukti outentik di polisi kalau dipanggil apalagi dirinya sudah pernah menang di pengadilan melalui sidang militer.

"Saya siap diperiksa kalau dipanggil apalagi sudah pernah menang di pengadilan dalam sidang militer," tegasnya. (Kr2)

Editor: Marthen Bana

  • Bagikan