KUPANG, TIMEXKUPANG.FAJAR.CO.ID- Rancangan Undang-undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) telah disahkan DPR RI menjadi undang-undang. Meski telah disahkan, aksi protes dari masyarakat tak terhindarkan hingga saat ini.
Aksi proses tersebut dikarenakan banyak pasal yang dinilai belum mengakomodir kepentingan masyarakat serta menimbulkan kontoversial.
Seperti disampaikan, Ketua Komisi Yudisial RI, Prof Mukti Fajar, ketika dimintai tanggapannya di Aula Koperasi Solidaritas, Kamis (8/12).
Ia mengaku dalam KUHP baru tersebut terdapat pasal yang dapat memperhambat tugas dan fungsinya di Komisi Yudisial.
Pasal yang dinilai bertentangan yakni melarang untuk merekam diruang sidang saat proses peradilan berlangsung. Sedangkan tugasnya untuk mengawasi peradilan membutuhkan rekaman serta data yang valid.
Pada hal, kata Prof Mukti, setiap sidang yang dibuka untuk umum, tidak saja kepada pengunjung yang menyaksikan persidangan tetapi untuk seluruh masyarakat dimana saja.
"Buka untuk umum tapi tidak boleh merekam. Tentu sudah bertentangan dengan tugas kami untuk memantau jalannya suatu persidangan dan perkembangan jaman saat ini," ujarnya.
"Kami sudah memberikan catatan kritis kepada DPR RI melalui timnya namun karena sudah disahkan maka pihaknya tentu akan menempuhnya sesuai regulasi dan aturan yang berlaku," tambahnya.
Sedangkan Anggota Komisi III DPR RI, Jacky Uly mempersilahkan masyarakat untuk menggugat KUHP terbaru, yang sudah disahkan Selasa 6 Desember 2022 lalu.
Dia menyebut, RKUHP sebelumnya terlaksana dengan dua tahap. Pertama melakukan pembahasan bersama Komisi III dan Pemerintah.
"Itu sudah dibicarakan dan kemudian ada persetujuan dari fraksi. Pada dasarnya dari sembilan fraksi sudah menyetujui baru dibawa ke paripurna untuk disahkan" kata Jacky Uly.
Dalam paripurna, menurut dia, hanya dilakukan pengesahan. Meski ada sejumlah pasal yang kontroversial, Jacky mengaku semua telah selesai dengan persetujuan fraksi. Artinya, semua proses telah diterima.
"Riak-riak dari masyarakat, silahkan. Judicial rivew kan terbuka," sebut Anggota fraksi NasDem asal NTT itu.
Ia menjelaskan UU itu akan berlaku pada tiga tahun setelah diundangkan. Dia mengklaim sebelum aturan itu diterpakan maka akan ada ujicoba untuk melihat ketentuan yang belum relevan.
Namun begitu, tidak menutup kemungkinan juga UU itu batal dijalankan bila ada gejolak lebih ditengah masyarakat. Kalaupun masyarakat tidak setuju, maka peraturan pelaksanaan bisa berubah.
Terpisah, Pengamat Hukum dari Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang, Dr Deddy Manafe, menyayangkan sikap anggota dewan yang justru tidak sepihak dengan masyarakat.
Deddy merasa aneh dengan narasi DPR yang memberi ruang bagi masyarakat untuk menggugat UU yang baru disahkan tu.
"Anehnya kemudian disampaikan agar kalau tidak setuju gugat saja ke Mahkamah Konstitusi. Persoalannya adalah saya sebagai rakyat di negara ini sudah membayar kalian wakil rakyat untuk mendengar suara kami. Suara seperti ini bukan baru diperdengarkan sekarang tapi dari dulu dengan demo dan bakar-bakaran," katanya.
Ia menilai semangat mengkriminalkan sebanyak-banyaknya merupakan hal yang salah. Seolah keadaan ini memberi vermino bahwa negara sedang memproklamirkan dalam keadaan sakit.
"Mereka bangga bahwa KUHP begitu banyak pasal kejahatan. Makin banyak pasal kejahatan berarti makin banyak penjahat di Indonesia dan makin banyak jenis perilaku jahat yang ada di Indonesia yang diakui oleh negara ini," ujarnya.
Konsep kejahatan yang ditawarkan pemerintah lewat KUHP ini, sebut dia, belum tentu sama dengan perspektif masyarakat. Deddy bahkan menyebut kata penjahat dan kejahatan merupakan pelabelan atau cap politik yang diberikan negara.
Pemaksaan pengesahan pasal bermasalah dalam KUHP, memang menunjukkan fungsi DPR yang sangat minim. Sebab, aspirasi masyarakat yang diserap justru berbanding terbalik dengan sikap di parlemen.
Solusi uji materil yang diberikan Pemerintah maupun DPR, menurut Deddy, telah mengkhianati Pancasila, terutama di Sila Ke-4. Inti dari Sila itu menginginkan adanya musyawarah mufakat.
"Inti dari sila ke-4 adalah musyawarah mufakat, kalau sudah mufakat seharusnya tidak ada lagi di utak-atik. Tapi dalam praktek kemudian diberikan kepada rakyat yang merupakan konstituen atau pemilik negara untuk menggugat lagi hasil kerja yang wakilnya, ini kan aneh," terangnya.
Sikap yang diperlihatkan DPR dan Pemerintah, kata Deddy, sedang menjalankan mekanisme liberal. Sepertinya ada pencangkokan idelogi liberal ke idelogi Pancasila. Praktek yang ditunjukkan oleh kedua lembaga negara itu menjauh dari Pancasila.
"Contohnya begini saya sebagai pemilik rumah saya menyewa pembantu rumah tangga untuk bekerja kemudian saya menggugat kembali kerjanya. Itu kan aneh. Kan saya tinggal pecat saja pembantu rumah tangga. daripada pelihara pembantu yang kerjanya hanya merusak itu logika sederhananya. Karena negara ini merupakan suatu keluarga besar," ujarnya lagi. (r3)