Gelar FGD Bersama Stakeholder di Kabupaten Belu
KUPANG, TIMEXKUPANG.FAJAR.CO.ID-Selat Ombai di wilayah perbatasan Republik Indonesia (RI) dan Republik Demokratik Timor Leste (RDTL) memiliki posisi strategis dan penting bagi perikanan. Perairan ini memiliki produktivitas yang tinggi dan merupakan daerah perlintasan penting bagi biota laut peruaya terutama paus, selain itu, didukung dengan kondisi ekosistem pesisir yang tergolong baik.
Potensi sumberdaya ikan yang melimpah di wilayah ini meliputi sumberdaya ikan tuna, cakalang, dan tongkol (TCT), sumberdaya ikan pelagis kecil dan sumberdaya ikan demersal. Sumberdaya ikan telah dimanfaatkan oleh masyarakat pesisir di Kabupaten Belu dan sekitarnya dan dipasarkan secara lokal, nasional dan ke negara tetangga Timor Leste.
Potensi sumberdaya ikan ini jika dikelola dengan baik maka akan memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat dan pemerintah. Sehubungan dengan itu, Universitas Kristen Artha Wacana (UKAW) Kupang bekerja sama dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NTT dengan didukung oleh Yayasan Konservasi Indonesia telah melakukan kajian pada bulan Oktober-Nopember 2022.
Kajian yang bertujuan untuk mengidentifikasi dan menganalisis keragaan perikanan tangkap di wilayah perbatasan Indonesia dan Timor Leste di Kabupaten Belu dalam upaya merancang kebijakan pengelolaan perikanan tangkap yang terintegrasi dan berkelanjutan.
Sebagai tindak lanjut kajian tersebut dilakukan kegiatan Focus Group Discussion (FGD) Pengelolaan Perikanan Tangkap di Kabupaten Belu yang berlangsung di Kantor Cabang Dinas Kelautan dan Perikanan NTT Wilayah TTS, TTU, Belu dan Malaka di Atambua, Selasa (6/12).
Kegiatan FGD ini bertujuan untuk mendesiminasi hasil kajian, mengidentifikasi isu prioritas lintas batas dan penilaian status keberlanjutan pengelolaan perikanan tuna di wilayah perbatasan Indonesia dan Timor Leste di Kabupaten Belu.
FGD tersebut diikuti oleh 20 orang peserta yang merupakan perwakilan nelayan desa Silawan, Kenebibi, Jenilu, dan Dualaus, Pengusaha Perikanan CV Bintang Laut, Cabang Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NTT wilayah TTS-TTU-Belu-Malaka, Dinas Perikanan Kabupaten Belu.
Selain itu hadir juga Penyuluh Perikanan Kabupaten Belu, Pos Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Atapupu, Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM) Kupang Wilker Atambua dan Politeknik Ben Mboi Universitas Pertahanan RI.
Kegiatan ini menghadirkan Peneliti UKAW, Dr. Beatrix M. Rehatta yang membakar materinya tentang karakteristik perikanan pelagis kecil di wilayah perbatasan Indonesia dan Timor Leste dan Dr. Yohanes Merryanto memaparkan hasil kajian terkait karakteristik perikanan tuna di Kabupaten Belu.
Topik diskusi terbagi dalam dua sesi, sesi pertama membahas isu dan dan permasalahan pengelolaan perikanan tangkap dan sesi kedua melakukan penilaian secara partisipatif status keberlanjutan pengelolaan perikanan tuna.
Diani S Liufeto, mewakil Kepala Cabang Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NTT wilayah TTS, TTU, Belu dan Malaka saat membuka kegiatan FGD menyatakan bahwa kondisi pengelolaan perikanan tangkap di wilayah perbatasan Indonesia dan Timor Leste belum optimal dan untuk itu perlu dilakukan berbagai upaya peningkatan pengelolaan.
Peran serta stakeholder perikanan dan akademisi dalam mendukung upaya pengelolaan perikanan tangkap sangat diharapkan melalui kerja kolaboratif. “
"Kami menyambut baik kegiatan FGD ini sebagai upaya bersama dalam memberikan masukan untuk perbaikan pengelolaan perikanan tangkap yang terintegrasi dan berkelanjutan," jelasnya.
Dr. Beatrix M Rehatta dalam pemaparannya menyatakan bahwa Kabupaten Belu di Indonesia dan Distrik Bobonaro di Timor Leste merupakan wilayah perbatasan negara RI-RDTL yang berbagi wilayah perairan Selat Ombai.
Dikatakan, sumberdaya perikanan Selat Ombai ini dimanfaatkan secara bersama oleh nelayan kedua negara dan telah memberikan manfaat ekonomi bagi nelayan di Indonesia maupun di Timor Leste.
Menurutnya, aktivitas perikanan tangkap tergolong skala kecil karena sekitar 95 persen armada tangkapnya terdiri atas perahu tanpa motor dan perahu motor tempel serta lebih dari 95 persen alat tangkap pasif untuk perairan dangkal dengan hasil tangkapan utamanya berupa ikan pelagis kecil yang umumnya dipasarkan secara lokal.
Dr Beatrix yang juga dosen pada Fakultas Kelautan dan Ilmu Perikanan UKAW menegaskan, dibutuhkan adanya kerjasama kedua negara Indonesia dan Timor Leste dalam mengelola perikanan tangkap wilayah perbatasan.
"Harus ada kerjasama antara kedua negara dalam pengelolaan potensi perikanan wilayah perbatasan ini," pintanya.
Sementara itu, Dr. Yohanes Merryanto mengatakan, perairan Selat Ombai memiliki potensi sumberdaya ikan tuna yang besar terutama jenis tuna sirip kuning atau madidihang (Thunnus albacares) yang telah dimanfaatkan oleh nelayan Belu dengan menggunakan armada skala kecil berukuran 1-2 GT dan alat tangkap pancing serta alat bantu penangkapan rumpon dengan kapasitas penangkapan yang terbatas.
"Ikan tuna yang ditangkap terutama diolah menjadi loin dan dikirim ke Bali melalui Kupang," katanya.
Lebih lanjut, Dr Yohanes yang juga menjabat sebagai Wakil Rektor II UKAW menjelaskan bahwa terdapat sejumlah kendala dalam upaya peningkatan usaha perikanan tangkap tuna, untuk itu dibutuhkan adanya program perbaikan perikanan tuna di Kabupaten Belu.
Diharapkan kedepannya forum diskusi seperti ini dapat terus dilakukan secara rutin guna mendapat masukan yang lebih lengkap sehingga secara cepat dapat ditindaklanjuti setiap permasalahan yang dihadapi oleh nelayan dan pelaku usaha perikanan, selain itu juga dapat membangun komunikasi yang baik diantara instansi/lembaga yang terkait pengelolaan perikanan tangkap di Kabupaten Belu.
Peserta FGD menyambut baik kegiatan ini karena dapat berpartisipasi dalam memberikan masukan untuk upaya perbaikan pengelolaan perikanan di Kabupaten Belu. (r3)