JAKARTA, TIMEXKUPANG.FAJAR.CO.ID-Sejumlah akademisi menyikapi serius upaya sekelompok politisi yang berjuang mengembalikan sistem Pemilu dari mekanisme proporsional terbuka ke sistem proporsional tertutup dengan melakukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Para akademisi ini menilai, sistem proporsional terbuka yang masih berlaku saat ini dinilai punya sejumlah kelebihan. Namun, pola keterbukaan yang berjalan pada Pemilu di Indonesia juga memiliki kekurangan.
Feri Amsari, pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas mengatakan, sistem proporsional terbuka sudah ajeg sehingga penerapannya tak perlu diubah. Sistem itu sudah diterapkan dan teruji pada empat kali pesta demokrasi. ”Perubahan hanya akan menciptakan kebingungan baru,” terangnya, Rabu (4/1).
Menurut dia, sistem proporsional terbuka sudah sesuai dengan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang meletakkan kedaulatan di tangan rakyat. Sebab, sistem itu memberikan hak kepada pemilih untuk menentukan perwakilannya sendiri.
Terkait sikap PDI Perjuangan (PDIP) yang cenderung memilih sistem proporsional tertutup, Feri memiliki pandangan. Dia menilai PDIP hanya mengkultuskan ketua partai sebagai penentu segala hal.
”Padahal, konsep itu (Sistem proporsional tertutup, Red) sudah harus ditinggalkan karena tidak sesuai UUD,” tegasnya.
Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) itu menyebutkan, PDIP sebagai pemenang Pemilu harus siap menghadapi Pemilu yang terbuka untuk meyakinkan publik.
Berbeda dengan Feri, pakar hukum tata negara dari Universitas Udayana, Jimmy Z. Usfunan mengatakan, sistem proporsional terbuka dalam Pileg memicu sejumlah persoalan sosial. Salah satu keresahan sosial itu terjadi akibat tingginya surat suara tidak sah. Pada Pemilu 2019, tercatat ada 17.503.953 suara tidak sah untuk pemilu DPR. ”Dengan fenomena ini, akan muncul sikap apatis masyarakat dalam memilih pada Pemilu 2024 yang akan datang,” tuturnya.
Bukan hanya itu, kata Jimmy, dana besar yang dikeluarkan setiap caleg memunculkan ketegangan kompetisi. Bahkan berujung konflik dengan teman di satu partai. Misalnya, yang terjadi pada 2019. Terjadi kasus penganiayaan terhadap sesama caleg partai di dapil Jawa Timur dan Kalimantan Selatan.
Jika konflik itu melibatkan para pendukung, akan timbul konflik sosial yang besar di masyarakat. Selain itu, tak sedikit caleg yang gagal mengalami depresi, gangguan jiwa, bahkan bunuh diri. ”Para calon rela berutang atau bahkan menggadaikan rumah dan barang berharga lainnya demi kemenangan,” ungkapnya.
Di sisi lain, Ketua KPU RI Hasyim Asy’ari menegaskan, KPU tidak berbicara pada level tersebut. Sebab, ranah perbincangan itu ada pada pembentuk UU dan para pengkaji. ”KPU levelnya pelaksana UU. Saat memberikan keterangan, maka sesuai dengan apa yang dialami dan menjadi ruang lingkup tugas dari penyelenggara pemilu,” pungkasnya. (lum/c18/bay/JPG)