KUPANG, TIMEXKUPANG.FAJAR.CO.ID-Menanggapi aksi penolakan terhadap bakal calon (Balon) Presiden, Anis Baswedan yang diusung Partai Nasdem di Kota Kupang, pengamat politik menilai aksi tersebut sebagai gerakan politik dan menegaskan bahwa masyarakat NTT anti politik indentitas.
Yohanes Jimmy Nami, Pengamat Politik dan Akademisi Universitas Undana mengatakan fakta ini menunjukkan bahwa residu dari atmosfer politik yang pernah terjadi saat Pilkada DKI 2017 maupun Pilpres 2019 masih berbekas pada tingkatan grassroot.
Apalagi, kata Jimmy, masyarakat NTT yang memiliki preferensi politik cukup kuat pada kontestan politik yang bertarung saat itu, Basuki Tjahaja Purnama (BTP) maupun Jokowi.
Menjelang pemilu 2024 tentunya residu politik ini akan kembali bergulir atau dengan kata lain dikapitalisasi secara politik ketika kontestan politik dari dua momentum sebelumnya, kembali bertarung sebagai tokoh yang diusung pada pemilu 2024.
Disebutkan, publik seperti diingatkan kembali bagaimana branding politik yang dikonstruksi dengan label entitas tertentu saat itu menjadi bagian dari degradasi moral politik bangsa, mencederai semangat persatuan dan kesatuan.
"Menegasikan elemen multikulturalisme sejak bangsa ini berdiri menjadi kekuatan tersendiri. Multikulturalisme tidak sekedar fantasi namun roh kita berbangsa," ujarnya.
Masyarakat Indonesia dan NTT khusus tentu tidak menghendaki situasi yang pernah terjadi dengan gaya politik aliran menjadi bagian dari gaya politik pada pemilu 2024. Politik ini harus dilawan, dengan mengirim pesan politik bahwa publik NTT tidak akan memberikan ruang bagi politik identitas bersemai pada pemilu 2024 lebih khusus di wilayah NTT.
"Saya tidak membaca pemasangan spanduk dengan wacana tersebut bagian dari black campaign karena pilpres baru wacana ketokohan, masih pada tahap gerilya politik. Masih pada tahap konsolidasi elit. Proses administrasi baru pada September nanti, baru fix pasang capres dan cawapres yang didukung oleh parpol sebagai calon presiden. Saat itu mungkin baru bisa dilihat bandul politiknya seprti apa," ungkapnya
Saat ini, menurutnya, masih melihat pemasangan spanduk-spanduk dengan wacana tertentu tersebut merupakan bagian gerakan politik masyarakat saja, menegaskan dan memberikan pesan politik bahwa masyarakat NTT Anti politik Indentitas. Namun demikian situasi ini harus disikapi dengan arif dan bijak.
"Peran para tokoh politik, partai politik, tokoh masyarakat pada berbagai level, sekolah, perguruan tinggi, wajib hadir sebagian instrumen yang menyegarkan dan mencerahkan, sehingga residu politik yang mengarah pada situasi destruktif tidak terjadi di masyarakat serta menjamin demokrasi bermartabat dan berkualitas," tutupnya. (r3)