KUPANG, TIMEXKUPANG.FAJAR.CO.ID-APBD Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) tahun 2023 dinyatakan surplus senilai Rp 240 miliar. Meski demikian, Pemprov NTT punya utang terhadap PT. SMI senilai Rp 1,003 triliun yang akan dicicil selama delapan tahun ke depan. Disisi lain, daerah juga harus menyiapkan dana cadangan untuk pemilihan gubernur (Pilgub) pada November 2024 nanti.
Wakil Ketua I DPRD NTT, Inche Sayuna mengatakan, surplus APBD NTT merupakan selisih lebih antara pendapatan daerah dan belanja daerah pada tahun anggaran yang sama. Surplus terjadi bila jumlah pendapatan lebih besar daripada jumlah belanja. Namun, surplus APBD tidak selamanya berarti daerah tersebut memiliki kelebihan kas, tetapi karena anggaran pendapatan daerah lebih besar dari anggaran belanja daerah.
"Surplus APBD 2023 memang sengaja didesain untuk dapat dipergunakan oleh daerah untuk pembayaran pinjaman daerah dan pembentukan dana cadangan untuk Pilkada," jelas Inche saat dikonfirmasi Rabu (1/2) malam lalu.
Politikus Partai Golkar ini menjelaskan, pembentukan dana cadangan untuk Pilgub syaratnya harus ada surplus anggaran. Surplus tersebut didapat dari rasionalisasi secara ketat semua belanja OPD di tahun anggaran 2023. Sehingga, itulah sebabnya pemerintah kemudian mengeluarkan sejumlah kebijakan untuk menekan pengeluaran daerah.
"Harus diakui bahwa porsi pendapatan daerah yang berasal dari pendapatan transfer sangat dominan, menyebabkan ketergantungan fiskal yang tinggi, sehingga berdampak pada ruang fiskal yang terbatas, kapasitas fiskal yang rendah, dan keseimbangan primer APBD yang kurang memadai," terangnya.
Kondisi tersebut menyebabkan Pemprov NTT memiliki ruang gerak yang terbatas dalam alokasi APBD untuk kepentingan pembangunan, pembayaran bunga serta pengembalian pinjaman daerah.
Inche menyebutkan, dari analisis ratio kinerja keuangan daerah sejak Tahun 2021, APBD NTT mengalami tekanan yang sangat berat. Hal itu terungkap dari setiap tahun kebutuhan fiskal NTT terus membesar, sementara itu ruang fiskal, dan kapasitas fiskal NTT terbatas.
Kondisi itu terus terjadi hingga tahun anggaran 2023. Semakin diperparah dengan sejumlah beban wajib yang harus ditanggulangi di 2023, belum lagi dengan sejumlah regulasi dari pusat yang secara sengaja mengendalikan DAU NTT.
"Kami istilahkan DAK dalam DAU, jadi DAU kita sudah disebutkan peruntukannya dan hal ini menyebabkan pemda punya ruang gerak yang sangat terbatas. Kondisi ini membawa kita pada kesimpulan bahwa pemda tidak bisa mengandalkan APBD untuk membiayai kegiatan pembangunan," katanya.
Sehingga, lanjut Inche, pemda harus mencari sumber-sumber pendapatan lain seperti menggerakkan investasi, mengoptimalkan penerimaan BUMD, mengoptimalkan pengelolaan aset pemda sehingga bisa meningkatkan penerimaan daerah dan membawa multilayer efek bagi rakyat.
Sementara itu, Pengamat Ekonomi NTT, James Adam menjelaskan, apabila dicermati, beban daerah yang tinggi, maka harus diikuti dengan efisiensi.
Ia menjelaskan, efisiensi pertama adalah harus mengurangi belanja daerah, salah satu caranya dengan mengurangi beban biaya dari setiap OPD berkaitan dengan program yang tidak berdampak langsung bagi kepentingan masyarakat. Misalnya, perjalanan dinas yang tidak harus datang ke Jakarta untuk konsultasi. "Kan belum tentu hasil akhirnya bisa dibawa pulang. Paling hanya penjelasan," ujarnya ketika dihubungi via telepon, Kamis (2/2).
Efisiensi kedua, lanjut James, adalah dengan mengurangi nilai program pemerintah yang tidak berdampak pada kepentingan masyarakat. Sebab, apabila tidak memiliki nilai kegentingan, maka tentu biaya akan terbuang percuma.
Selanjutnya, agar pendapatan daerah bisa naik, maka dapat digenjot atau mengoptimalkan pendapatan daerah. Sebab, ada begitu banyak sumber yang bisa dioptimalkan, sepert Pajak Bumi Bangunan (PBB).
"Kalau tidak genjot maka orang bisa tunda bayar pajak tahunan, padahal kewajibannya tiap tahun bayar pajak," jelasnya.
Apabila pendapatan daerah naik, kata James, maka PAD bertambah. Hal itu berarti kepentingan program lain di luar DAU dan DAK bisa terlaksana.
Menurut James, kemampuan daerah NTT terbatas, disisi lain, kelemahan yang dimiliki adalah tidak mampu menggerakkan pendapatan daerah naik dengan signifikan.
Saat ini, pemda harus mampu mengatur fiskal daerah agar berimbang, dalam artian mampu membayar utang dengan baik, disisi lain program daerah jangan sampai terbengkalai.
"Konsekuensi potong biaya dari OPD itu tidak bisa dihindarkan. Hanya saja harus rasional jangan sampai dana urgen malah dipotong, seperti stunting, inflasi dan kemiskinan, itu tidak bisa dipotong," tegasnya.
Selain itu, James juga menyoroti perihal penyusunan anggaran daerah yang dimulai dari musrembang tingkat kelurahan hingga provinsi agar lebih objektif. Sehingga, harus dibuat suatu sistem yang dapat menilai agar apa yang dianggarkan dalam APBD dapat menyentuh urgensi masyarakat. (Cr1)
Penulis: Resti Seli
Editor: Marthen Bana