WALHI Sebut Warga Kawasan Hutan Belum Sejahtera

  • Bagikan
DISKUSI PUBLIK. Suasana Diskusi Publik memperingati Hari Lingkungan Hidup 2023 yang digelar Walhi NTT dengan menghadirkan narasumber seperti Kadis LHK NTT, Ketua Komisi II DPRD NTT, aktivis WALHI NTT, dan petani di kawasan hutan, Senin (5/6). (FOTO: RESTI SELI/TIMEX)

KUPANG, TIMEXKUPANG.FAJAR.CO.ID-Berbagai Sumber Daya Alam (SDA) Provinsi NTT telah diambil dan dieksploitasi tanpa mempraktikkan pola ekologi yang benar. Akibatnya masyarakat NTT di kawasan tersebut jauh dari kata sejahtera.

Hal itu disampaikan Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) NTT, Umbu Wulang Tanaamah Paranggi, dalam Diskusi Publik memperingati Hari Lingkungan Hidup 2023, di Kupang, Senin (5/6).

"Banyak ajang-ajang di NTT yang akhirnya telah melakukan eksplorasi dan mengambil SDA NTT yang sudah berlangsung lama, mulai dari cendana, emas, mangan, dan sebagainya. Begitu banyak yang diambil tanpa praktik ekologi yang benar, sehingga ujung-ujungnya masyarakat kita tidak diperhatikan kesejahteraannya," jelas Umbu.

Hal itu terlihat dari berbagai SDA NTT yang telah hilang, seperti cendana, gaharu, kura-kura leher ular, dan sebagainya. Umbu melanjutkan, banyak ajang yang mengeksplorasi SDA NTT, hingga lupa untuk meningkatkan ekologi dan kesejahteraan NTT.

"Isu lingkungan tidak menjadi isu yang disorot, padahal tidak akan ada pembangunan ekonomi berkelanjutan kalau isu itu tidak dibahas secara serius," ucapnya.

Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Provinsi NTT, Ondy Christian Siagian menyatakan, sejak 2017, kewenangan kehutanan diberikan ke provinsi. Sedangkan, kabupaten/kota lebih kepada penanganan limbah.

Namun, LHK Provinsi masih turut mengidentifikasi bagaimana kerusakan lingkungan hidup terjadi. Untuk kehutanan, Ondy menyebut, LHK mempunyai kewenangan penuh, sehingga pihaknya turut mengelola bersama masyarakat.

"Kami bertanggungjawab di hulu hutan. Rusaknya hutan akan berakibat pada kawasan tengah dan hilir. Kewenangan konservasi ada di pusat, kawasan lindung dan produksi adalah kewenangan provinsi. Itu kami berikan akses kelola kawasannya kepada masyarakat," jelas Ondy.

Menurutnya, yang menjadi permasalahan bagaimana akhirnya masyarakat di sekitar kawasan tidak sejahtera adalah tidak adanya data berapa rumah tangga miskin di kawasan hutan.

"Supaya program pengentasan kemiskinan di kawasan hutan itu jelas. Karena, harusnya masyarakat disekitar kawasan yang harus dapatkan manfaatnya," tegas Ondy.

Dalam melaksanakan tugasnya, Ondy menyebut, terdapat tiga indikator, yaitu produk terbatas. Sebab, hutan tidak bisa ditambah, melainkan dapat ditanam disela-selanya.

Kedua, produk hutan alami, sehingga sebisa mungkin dijaga dan dilestarikan. Hal itu berkaitan dengan indikator ketiga, dimana produk hutan adalah unik. Sehingga, pihaknya mulai menggagas produk hutan untuk menampung produk2 lokal dari masyarakat.

"Jadi kita menyiapkan pasar untuk mereka. Dengan begitu, perlindungan terhadap kelestarian hutan juga dapat berkelanjutan," tuturnya.

Salah satu aktivis pemerhati lingkungan hidup dan petani perempuan, Yustina Kosat yang sehari-hari bertani di Eban, Desa Fatuneno, Kawasan Mutis, mengatakan, masyarakat di kawasan Mutis menjaga dan merawat dengan baik kawasan tersebut. Pasalnya, Mutis memilki nilai religius, budaya, dan pendidikan. Sehingga, dirawat dengan baik oleh warga.

"Karena sebagian besar hidup kita bergantung pada alam. Saya menghimpun ibu-ibu disana untuk bertani dengan pola ramah lingkungan," kata Yustina.

Dengan mengembangkan tanaman hortikultura seperti bawang, wortel, kacang merah, kentang, dan sayuran hijau.

Selain itu, lanjutnya, upaya masyarakat di sana adalah bergerak secara spontan untuk menjaga kawasan Mutis tersebut. Misalnya, pada awal musim hujan, mulai menanam pohon di sumber mata air agar debit air bertambah pada musim panas jika pohon sudah bertumbuh besar.

"Ada titik longsor, dengan spontan kita melakukan aksi penghijauan," lanjut Yustina yang juga menjadi narasumber dalam diskusi tersebut.

Dengan menanam pohon, sambungnya, maka kaum perempuan di sana juga mendapatkan pewarnaan alami dari pohon untuk melestarikan budaya tenun ikat.
"Itu menjadi upaya pelestarian lingkungan yang kami lakukan," ungkapnya.

Menurutnya, sejak 2009 kelompoknya terbentuk, baru sekali, yakni pada 2021 mereka mendapatkan bantuan. Itupun melalui program pekarangan lestari dari jalur DPR RI.

Disisi lain, Yustina juga menyebut, berkat Dinas LHK kelompoknya mendapat bantuan penuh sejak tahun 2009-2017. Selain itu, pada tahun 2022, melalui Dinas LHK, masyarakat diberikan izin pengelolaan kawasan seluas 810 hektar.

"Kami melakukan pengembangan pertanian didalam kawasan dengan konsep tanaman produksi buah berbasis kehutanan. Kami mencoba menyediakan anakan kopi dalam jumlah banyak agar menanam di kawasan Mutis," ungkapnya.

Meskipun begitu, ia mengungkap sebagai masyarakat di kawasan hutan, dirinya masih mengalami berbagai masalah atau hambatan. Seperti, minim dukungan pemerintah, dimana dengan tenaga manual manusia yang terbatas, masyarakat disana belum mendapatkan bantuan mesin untuk mempermudah pekerjaan bertani di sana.

"Berikutnya, kami juga melanjutkan hasil pertanian menjadi produk lokal. Tetapi, proses produksinya masih sederhana, belum masuk dalam tahapan lebih besar. Karena itu kami minta agar pemerintah dapat memberikan bantuan yang dapat mendorong produksi lokal kami," harapnya.

Sebab, produksi lokal yang terbatas membuat masyarakat di sana cenderung bermigrasi ke kota untuk mendapatkan penghidupan yang layak. "Padahal potensi di kawasan hutan itu besar," sebutnya.

Sementara itu, Ketua Komisi II DPRD NTT, Kasimirus Kolo mengungkapkan, DPRD NTT pernah mengeluarkan Perda Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan, yang mengatur tentang larangan menjual lahan dan alih fungsi lahan.

Menurutnya, salah satu keputusan yang tidak bijak dilakukan oleh masyarakat adalah menjual lahan pertaniannya. "Terdesak kebutuhan ekonomi, dijual. Padahal lahan pertanian itu penting sekali," gagas Kasimirus.

Menurut Kasimirus, kerja nyata seperti Yustina Kosat bersama kelompoknya harus diapresiasi. Sebab, Yustina menarik keuntungan dari kawasan, tetapi tetap bertanggungjawab dengan lingkungannya.

Kasimirus mendorong agar komunitas pemerhati lingkungan perlu diperbanyak, dan pemerintah dapat memberikan pemberdayaan kepada komunitas tersebut. "Kita akan dorong pemerintah melakukan seperti itu," ucapnya.

Kasimirus menyebut, pemerintah kekurangan anggaran, urusan LHK saja mempunyai anggaran yang terlalu kecil. "APBD 2023 untuk LHK ada Rp 75 miliar, tetapi Rp 63 miliar ke dinas, ratusan juta kepada KPH di lapangan. Bagaimana di lapangan ujung tombak, tapi dananya paling sedikit. Kemudian kehutanan, ada 19 miliar, UPT dikasih puluhan juta. Mau dipakai untuk apa?" tegasnya.

Menurutnya, sering membahas program anggaran di provinsi, tetapi di lapangan sangat sedikit. "DPRD Provinsi dan pemerintah tolong perhatikan ini ke depan. Sebab, banyak dinas sekarang yang tidak ada anggaran," kata Kasimirus.

Ia berharap, para pemerhati lingkungan dan aktivis dapat mendiskusikan lebih lanjut dengan Komisi II DPRD NTT, sehingga isu-isu kesejahteraan LHK dan semua masyarakat di sekitar kawasan dapat sejahtera. (Cr1)

  • Bagikan