Langkah Bidak Catur Sebuah Ilustrasi “Permainan” Politik

  • Bagikan
Jose Acry (FOTO: ISTIMEWA)

Tinjauan Sejarah/Tradisi, Keilmuan dan Keimanan

Sejarah mencatat bahwa catur merupakan simulasi permainan perang di masa lalu. Permainan catur sudah dikenal di India pada abad ke 6M dengan sebutan “chaturanga”. Bahkan mungkin jauh sebelumnya, catur sudah dimainkan di masa pemerintahan China Kuno. Dikenal sebagai siasat permainan perang, catur terbagi atas empat pasukan penting, yaitu pasukan gajah, barisan kuda, kereta perang dan
pasukan pejalan kaki.

Sejarah permainan catur terus dikembangkan menurut fungsi dan peran setiap bidak catur, dari empat menjadi enam peran; raja (king), ratu (queen), uskup (bishop/ menteri), ksatria (knight/pasukan berkuda), benteng (castle) dan infanteri (pasukan pejalan kaki), kemudian menjadi enam belas pasukan; delapan
pasukan pejalan kaki di barisan depan dan delapan pasukan pertahanan di barisan belakang.

Kelengkapan fungsi dan peran setiap anak catur disusun sebagaimana strategi mengelola kekuatan dan kekuasaan dalam simulasi perang. Ilustrasi peran tersebut sama seperti seni mengelola kekuasaan dalam ilmu politik. Catur merupakan simulasi/tiruan “permainan” politik yang terjadi dan dialami sepanjang sejarah hidup manusia, Acry (2017).

Dalam bukunya “Ilmu Politik, Ilmu Murni dan Ilmu Terapan” strategi permainan bidak catur sama seperti seni mengendalikan kekuatan (power), diplomasi atau negosiasi mengelola kekuasaan dalam ilmu politik. Fungsi dan peran seperti ini bisa dilihat ketika setiap elit (politisi) memainkan perannya dalam kegiatan
politik praktis.

Memasuki tahun politik peran politisi mulai terlihat dengan adanya negosiasi membentuk beberapa koalisi partai. Kolaborasi kekuatan dihimpun untuk mempertahankan atau sebaliknya merebut kekuasaan. Dalam politik, kewenangan mengelola dan memerintah hanya bisa berjalan jika legitimasi kekuatan dan kekuasaan telah didapat terlebih dahulu. Sebagaimana dikatakan Acry bahwa “kekuasaan adalah nilai kunci dalam politik untuk memenuhi semua nilai yang lain”.

Machiavelli lebih jauh menjelaskan bagaimana kekuasaan itu bisa diperoleh, entah dengan tindakan korup, licik dan manipulatif atau bahkan berkhianat dibolehkan sepanjang untuk kebaikan bersama. Kekuasaan politik akan terus menjadi magnet bagi siapa saja untuk melakukan apa saja, entah bernegosiasi, berkolaborasi ataubagi bahkan cara yang tak lazim demi mempertahankan atau merebut kekuasaan.

Secara teori (keilmuan), esensi kekuasaan politik bisa dicapai melalui kompetisi demokrasi. Sama seperti langkah bidak catur, dalam demokrasi selalu ada kalkulasi untung-rugi, tawar menawar, negosiasi hingga tercapai kesepakatan politik saling menguntungkan. Demikian dalam politik, setiap individu atau kelompok akan mendapat manfaat dari komitmen negosiasi tersebut. Diplomasi atau negosiasi adalah
sebuah keniscayaan karena terjadi dimanapun dan kapanpun untuk sebuah kompetisi demokrasi.

Demokrasi akan selalu melahirkan persaingan untuk memperoleh kekuasaan dan keuntungan politik. Tidak pernah ada demokrasi dalam berpolitik tanpa persaingan, dan tidak pernah ada politik yang mengandung makna mengalah atau memberikan “apa” secara cuma-cuma kepada golongan lain, Acry (2017).

Dikatakan bahwa berdemokrasi itu berarti menyetujui apa yang kita tidak setuju atau kehendaki. Pendapat ini menunjukan bahwa menang-kalah dalam kompetisi demokrasi selalu berujung pada pengakuan atas kedaulatan mayoritas. Tentang kedaulatan, dari sudut pandang keimanan, sudah menjadi perdebatandemokrasi para ahli sejak zaman kuno hingga pertengahan (antara 500 - 1500M).

Kedaulatan itu bersifat abstrak dan sesuatu yang abstsrak akan sulit diukur, sama halnya jika berbicara tentang kekuasaan, kebebasan atau kejujuran. Pada masa itu, para ahli berupaya menjelaskan beberapa pertanyaan yang bersifat abstrak dan tak pernah dipersoalkan pada abad-abad sebelumnya, seperti: “Dari mana sumber kekuasaan?”, “Bagaimana terbentuknya kekuasaan?”, “Untuk apa kekuasaan itu?”, dan “Siapa yang mempunyai kedaulatan?”.

Meskipun sebagian dari mereka berpendapat bahwa sumber kekuasaan itu dari Tuhan, tetapi tidak sedikit yang menolak pandangan tersebut karena tak dapat dibuktikan secara ilmiah. Sesuatu yang gaib itu tidak
rasional dan harus ditinggalkan, demikian Aristoteles sang pelopor cara berpikir rasional dan yang menentang pikiran gaib pada waktu itu. Akibatnya, sebagian dari mereka mengabaikan unsur kepercayaan dalam analisis politiknya, seperti Hobbes, John Locke, Montesquieu, dan Rousseau dan berpendapat bahwa sumber kedaulatan itu dari rakyat.

Tentang bagaimana distribusi hak dan kedaulatan rakyat, menurut Hobbes dan Rousseau, diserahkan sepenuhnya kepada seorang penguasa. Sebaliknya, John Locke dan Montesquieu memiliki pandangan yang berbeda, bahwa hanya sebagian hak-hak rakyat diserahkan kepada penguasa/raja. Perbedaan pendapat tentang distribusi hak dan kedaulatan rakyat telah membawa filsafat politik ke era
demokrasi modern saat ini.

Di era demokrasi modern, sebuah negara dikatakan demokratis bila dalam penyelenggaraan pemerintahannya mengakui adanya kebebasan dan hak pada rakyatnya. Demikian bentuk negara demokratis yang paling ideal umumnya mengacu pada dua bentuk yaitu federal dan kesatuan. Meskipun Indonesia merupakan negara kesatuan, dalam teori Gavin Drewry, akan lebih ideal jika berbentuk federal. Pandangan ini bisa dibenarkan oleh karena beberapa alasan, misalnya terbentuknya aspirasi kedaerahan karena fragmentasi teritorial seperti di Aceh, Riau, Sulawesi, Papua, Maluku dan daerah lainnya yang pernah secara mandiri berjuang untuk mendapat kemerdekaan.

Selain itu, perbedaan tampilan kekhasan budaya dan agama juga memberi nuansa yang berbeda seperti idealnya kebebasan berekspresi di sebuah negara demokrasi. Pemberlakuan syariat Islam di Aceh misalnya, menunjukan aspirasi atau keinginan masyarakat Aceh mengelola hak-hak keagamaan dan
kehidupannya secara terpisah meski dalam satu negara yang disebut kesatuan.

Secara juridis formal Indonesia berbentuk negara kesatuan tetapi dalam prakteknya lebih mirip sebuah negara federal, dengan adanya dualisme hukum dalam sebuah negara kesatuan. Apapun bentuknya, menurut St. Thomas Aquinas, bukanlah masalah sepanjang elemen kedaulatan rakyat itu tidak diganti. Ia meyakini bahwa suatu bentuk pemerintahan, entah monarki, aristokrasi, demokrasi, federal atau kesatuan tergantung pada legitimasinya atau telah mendapat persetujuan dari rakyatnya.

Tulisan ini menyasar dalam teori silogisme terkait upaya mencapai kekuasaan politik melalui kompetisi demokrasi. Pertama, faktor sejarah/tradisi mengakui adanya proses peralihan kekuasaan dalam sistem demokrasi hanya akan terjadi jika telah mendapat legitimasi atau pengakuan dari rakyat.

Kompetisi demokrasi selalu berakhir dengan pengakuan atas kedaulatan suara mayoritas. Kedua, secara teori (keilmuan) negosiasi politik selalu menghasilkan komitmen yang saling menguntungkan, menghimpun kekuatan untuk mencapai kekuasaan.

Cara ini mementingkan kalkulasi untung-rugi dan kesepakatan tentang “siapa dapat apa, kapan, dimana dan untuk apa”. Yang terakhir tentang keimanan dimana kekuasaan dipandang sebagai sesuatu yang
abstrak dan tak bisa diukur. Paham kedaulatan dari rakyat atau adanya pengakuan bahwa Tuhan sebagai sumber kekuasaan masih menjadi perdebatan yang relevan hingga saat ini. Pada dasarnya negara demokratis memberi kebebasan bagi warganya untuk ikut berpartisipasi atau sebaliknya (tidak berpartisipasi) dalam pesta demokrasi atas dasar kedaulatan, keyakinan dan kepercayaan. (*)

Oleh: Jose Acry
(Pengajar/Penulis)

  • Bagikan

Exit mobile version