KUPANG, TIMEXKUPANG.FAJAR.CO.ID-PT Sarana Investama Manggabar (PT SIM) menggugat Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTT sebagai tergugat I dan PT. Flobamora sebagai tergugat II. Gugatan tersebut terkait dengan pemutusan sepihak atas perjanjian bangun guna serah (BGS)/ build operate transfer (BOT), dengan pembangunan Hotel Plago di Pantai Pede, Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat.
Gugatan tersebut juga telah masuk tahap persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Kelas IA Kupang yang terdaftar dalam perkara Nomor: 302/PDT.G/ 2022. Selasa (11/7) bertempat di ruang Cakra PN Kelas IA Kupang digelar sidang dengan agenda pemeriksaan saksi yang diajukan oleh penggugat PT. SIM.
Jalannya sidang ini dipimpin hakim ketua, Florence Katerina dididampingi dua orang hakim anggota yakni Consilia Ina Palang Ama dan Rahmad Aries. Hadir juga kuasa hukum penggugat, Khresna Guntarto dan kuasa hukum para tergugat, Samuel Haning.
Di hadapan majelis hakim, saksi Ali Hanafiah selaku tokoh masyarakat Pantai Pede Labuan Bajo, mengatakan, bangunan hotel itu didirikan sekira tahun 2019. Sementara operasional hotel tersebut dimulai tahun 2019."Keberadaan hotel di sana itu tidak membuat aktivitas kami terhambat," ujarnya.
Selain itu, PT. SIM juga bangun jalan setapak ke pantai. "Kalau sekarang sudah ditutup sehingga kami harus memutar jauh lagi," ungkap saksi.
Selain fasilitas jalan setapak yang dibangun PT. SIM, di pantai tersebut juga dibangun tempat pemandian. Terkait pengambilalihan hotel tersebut oleh Pemprov NTT, saksi mengaku hanya melihat dipemberitaan saja bahwa ada persoalan antara PT. SIM dengan Pemprov NTT sehingga hotel tidak lagi beroperasi seperti sebelumnya. "Persoalannya seperti apa saya tidak tahu," tegasnya.
Untuk diketahui, sidang gugatan ini akan kembali dilanjutkan pada 25 Juli dengan agenda pemeriksaa saksi dan ahli dari pihak penggugat dalam hal ini PT. SIM.
Sementara kuasa hukum penggugat Khresna, usai persidangan mengatakan, PT. SIM menuntut pengembalian keadaan sebagai mitra BGS atau setidak-tidaknya mendapatkan kompensasi sehubungan dengan bangunan hotel yang sudah selesai dibangun. Pemprov NTT didudukkan sebagai tergugat I dan PT. Flobamora sebagai tergugat II.
"Kewajiban kami untuk berkontribusi kepada Pemerintah Provinsi NTT selalu tepat waktu sesuai kontrak tersebut. Kami wajib membayar tahun 2017," ungkapnya.
Pada tahun 2020 lalu, ada permintaan dari Pemerintah Provinsi NTT untuk menaikan kontribusi. Inilah permasalahan. Kenaikan mencapai 300 persen. Mana mungkin kondisi ekonomi belum baik saat itu, apalagi masih Covid-19.
Padahal, di kontrak sudah ditetapkan kontribusinya. Kontrak dimulai dari tahun 2014. Namun jumlah kontribusi sesuai kontrak mulai dibayar tahun 2017 itu sebesar Rp 255.000.000 selama 25 tahun. Selain itu harus bayar 10 persen berdasarkan keuntungan yang didapat setiap tahun.
Kemudian Pemerintah Provinsi NTT meminta menaikan kontribusi 300 persen setiap tahun sehingga membayar kontribusi menjadi Rp 800.000.000 setiap tahun. "Kami bangun hotel secara mandiri karena ini swasta. Pembangunan hotel itu uang kami sudah habiskan sekitar Rp 25 miliar," ungkapnya.
Tuntutan kepada Pemerintah Provinsi NTT yaitu pengembalian hak dengan pengelolaan hotel karena bangunan sudah ada. Atau setidak-tidaknya jika tidak kembali untuk mengelola hotel maka bisa berikan kompensasi.
Sementara Sam Haning selaku kuasa hukum PT. Flobamora sebagai tergugat II, usai persidangan mengatakan bahwa saat mengajukan pertanyaan kepada saksi yang dihadirkan penggugat, terkait apa yang menyebabkan Pemerintah Provinsi NTT mengambil alih lahan di Plago dan Hotel Plago. Sam Haning mengaku mereka (saksi) tidak tahu.
Kemudian pertanyaan yang kedua, apa hubungan antara tergugat I Pemerintah Provinsi NTT dengan tergugat II PT Flobamora, saksi juga tidak tahu. "Maka saya sampaikan ke majelis hakim kami tidak bisa tanya ke saksi ini karena saksi tidak tahu," ungkapnya.
Saksi hanya tahu ada pasang plang tapi tidak tahu sesungguhnya ada wanprestasi yang dilakukan oleh PT. SIM terhadap Pemerintah Provinsi NTT itu semua saksi tidak tahu. "Kalau tidak tahu apa yang harus bisa kita harapkan," ujarnya.
Penggugat akan mengajukan satu saksi dan ahli lagi untuk memperkuat dalil-dalil yang disampaikan oleh saksi. "Setahu saya, kasus ini ada wanprestasi yang dilakukan oleh PT. SIM terhadap Pemerintah Provinsi NTT. Sekira Rp 800 juta lebih," jelasnya.
Kalau tuduhan-tuduhan terhadap PT. Flobamora untuk mendapatkan uang lalu diberikan kepada Pemerintah Provinsi NTT sebesar Rp 850 juta, kata Sam Haning, bahwa saksi juga tidak tahu.
"Seharusnya, saksi yang tahu, melihat, mengetahui bisa memperkuat fakta-fakta yang ada di persidangan," tandasnya.
Sampai dengan saat ini PT. Flobamora belum mengelola hotel tersebut. Kenapa belum beroperasi? Pertama, karena ada masalah. Kedua, ada kendala-kendala yang dihadapi. Wanprestasi ini karena ada menunggak pembayaran sehingga Pemerintah Provinsi NTT ambil alih.Sementara dari PT. Flobamora belum melaksanakan apa-apa.
"Kami juga dituduh membayar uang Rp 850 juta ke Pemerintah Provinsi NTT. Surat Gubernur NTT menunjuk PT. Flobamor untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan di Hotel Plago. Tetapi dari PT. Flobamor belum melaksanakan kegiatan. Kenapa, karena Hotel Plago sejumlah fasilitasnya sudah dirusak," pungkasnya. (r1)
Editor: Intho Herison Tihu