KUPANG, TIMEXKUPANG.FAJAR.CO.ID-Data konflik antara manusia dan buaya yang terjadi sejak periode Januari-Juli 2023 di Wilayah NTT makin memprihatinkan. Perkembangbiakan buaya tidak saja di air laut, tapi juga danau dan sungai.
Berdasarkan data dari Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) NTT, telah terjadi konflik antara manusia dan buaya yang ditangani sejak Januari-Juli 2023 di wilayah NTT. Bahkan, dari konflik yang terjadi itu maka mengakibatkan adanya korban jiwa.
"Jadi, sudah ada tujuh korban dimana dua diantaranya meninggal dunia sementara lima lainnya luka-luka," kata Kepala BBKSDA NTT, Arief Mahmud, Rabu (16/8).
Arief merinci, data korban akibat konflik antara manusia dan buaya tahun 2023 periode Januari-Juli yang pertama terjadi pada 13 Januari sekira pukul 09.00 Wita bertempat di Lolok Oefau, kawasan Taman Wisata Alam (TWA) Menipo, Kabupaten Kupang. Korbannya atas nama Eliaser Matnope, warga RT 15/RW 08, Dusun IV Bikoen, Desa Enoraen, Kecamatan Amarasi Timur, Kabupaten Kupang.
Aktivitas saat terjadinya serangan buaya terhadap korban saat itu, kata Arief, ketika korban selesai memancing lalu korban mencuci kaki di pinggir danau dan langsung diterkam buaya.
"Korban mengalami banyak luka, namun nyawanya berhasil selamat atau non fatal (tidak meninggal dunia)," ungkapnya.
Kejadian kedua terjadi pada 20 Februari, sekira pukul 05.00 Wita, berlokasi di muara Dusun Welaksakar, Desa Litamali, Kecamatan Kobalima, Kabupaten Malaka. Korbannya bernama Alfredo Amaral, warga Dusun Welaksakar, Kecamatan Kobalima, Kabupaten Malaka.
Sebelum diterkam buaya, korban sementara mandi di danau lalu dan tiba-tiba diserang buaya. Meski diserang buaya namun nyawa korban selamat atau non fatal. Kejadian ketiga terjadi pada 5 April, sekira pukul 02.00 Wita di Danau Salopu, Desa Lifuleo, Kecamatan Kupang Barat, Kabupaten Kupang. Korbannya bernama Disel Salean, warga Desa Lifuleo, Kecamatan Kupang Barat, Kabupaten Kupang.
Saat itu, katanya, korban sedang memanah ikan lalu diserang buaya. Korban berhasil selamat atau non fatal. Kejadian keempat terjadi pada 4 Mei, sekira pukul 19.27 Wita di muara Nangagete, Desa Bangkoor, Kecamatan Talibura, Kabupaten Sikka. Korbannya atas nama Simon Sentus, warga Wailoke, RT 06/RW 04, Desa Wailamung, Kecamatan Talibura, Kabupaten Sikka.
Saat itu, korban sementara memukat ikan di pesisir pantai lalu diserang buaya. Meski diserang buaya, nyawa korban selamat atau non fatal. Kejadian kelima terjadi pada 13 Mei, sekira pukul 23.00 Wita di Sawah Lobus, Desa Tohe, Kecamatan Raihat, Kabupaten Belu.
Korban atas nama Sergio Amaral, warga Santa Crus, Desa Tohe, Kecamatan Raihat, Kabupaten Belu. Saat itu korban sementara mencari ikan di sawah lalu diserang buaya. Korban berhasil selamat atau non fatal.
Kejadian keenam terjadi pada 25 Mei, sekira pukul 12.25 Wita di muara sungai Lokoanggol, Desa Wainyapu, Kecamatan Kodi Balaghar, Kabupaten Sumba Barat Daya. Korban serangan buaya atas nama Dominggus Elu, warga Desa Wainyapu, Kecamatan Kodi Balaghar, Kabupaten Sumba Barat Daya.
"Saat kejadian korban sementara mengambil air di muara lalu korban diserang buaya hingga meninggal dunia atau fatal," jelasnya.
Sementara kejadian ketujuh terjadi pada 29 Juli, sekira pukul 11.40 Wita di sungai Waikapeke, sambungan dari muara Ratenggaro, Desa Maliti Bondo Ate, Kecamatan Kodi Bangedo, Kabupaten Sumba Barat Daya. Korban atas nama Baki Jaha, warga Desa Maliti Bondo Ate, Kecamatan Kodi Bangedo, Kabupaten Sumba Barat Daya.
"Saat itu, korban sementara mencari ikan di sungai lalu diserang buaya hingga meninggal dunia atau fatal," tambah Arief.
Terkait satwa buaya muara, kata Arief, tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat pesisir. Legenda menuturkan bagaimana manusia kepulauan ini berkorelasi dengan buaya. Dari sisi ekologis, lanjut Arief, NTT menjadi area persebaran buaya muara.
Rusaknya habitat buaya muara, kata dia, membuat buaya akan mencari habitat lainnya. Selain itu, aktivitas manusia yang merusak muara, termasuk kawasan mangrove juga ikut mempengaruhi ruang hidup dan pakan alami buaya juga ikut terganggu.
Penggunaan ruang yang sama oleh satwa liar khususnya buaya dan manusia kerap menimbulkan konflik yang berakibat pada manusia maupun satwa itu sendiri.
"Kejadian ini bukan hanya menyebabkan korban luka dan kehilangan jiwa, namun lebih dari itu juga menyebabkan terganggunya aktifitas nelayan, mengurangi kenyamanan kegiatan pariwisata dan pada beberapa tempat mengakibatkan hilangnya ternak masyarakat," jelasnya.
Kepala BBKSDA NTT ini juga menambahkan bahwa untuk meminimalkan konflik antara manusia dengan buaya maka BBKSDA NTT berupaya untuk hadir merespon setiap laporan satwa liar dari masyarakat, sehingga tidak terjadi korban jiwa baik dari pihak manusia maupun satwa liar.
BBKSDA NTT melalui Tim Unit Penanganan Satwa juga telah melakukan upaya penanganan terpadu untuk mengatasi konflik satwa liar, khususnya buaya muara dengan manusia.
"Penanganan konflik buaya muara dengan manusia yang terjadi di wilayah kerja BBKSDA NTT harus ditangani secara tepat dan komprehensif dengan melibatkan Tokoh Masyarakat, Tokoh Adat, tokoh agama dan aparat terkait lainnya," jelasnya.
Menurutnya, hal ini sangat penting karena adanya kearifan lokal yang diyakini oleh masyarakat setempat bahwa buaya memiliki ikatan batin dan hubungan yang erat dengan nenek moyang.
Penanganan konflik diupayakan untuk dapat menghindarkan keresahan warga.
Dikatakan, upaya penanganan konflik yang telah dilakukan meliputi upaya jangka pendek antara lain berupa sosialisasi baik secara langsung pada warga masyarakat di sekitar lokasi konflik, maupun melalui media cetak maupun radio, pemasangan papan-papan peringatan hingga upaya relokasi buaya yang muncul pada areal publik. Selain itu, selalu dilakukan patroli rutin dalam rangka pemantauan pada lokasi-lokasi rawan konflik buaya muara dengan manusia agar tidak menimbulkan keresahan warga.
BBKSDA NTT juga telah memberikan himbauan kepada semua pihak dan khususnya kepada masyarakat untuk senantiasa waspada dan berhati-hati saat beraktifitas di areal atau lokasi yang berpotensi terdapat satwa buaya serta yang tidak kalah penting juga adalah masyarakat jangan membuang bangkai, sisa makanan, daging atau ikan ke pesisir pantai karena aroma amis akan mengundang buaya muara datang ke lokasi tersebut.
"Kepada masyarakat umum, apabila menjumpai adanya kemunculan buaya muara di sekitar pantai agar segera menghubungi Call Center BBKSDA NTT," pungkasnya. (r1/gat)
Editor: Intho Herison Tihu