Di balik tumpukan sampah yang terus menggunung di tempat pembuangan akhir (TPA) Alak ternyata ada kehidupan. Ya, ada sekira 90-an orang warga yang kini menggantungkan hidupnya di TPA Alak. Seperti apa keseharian mereka?
Tidak semua orang punya gaji, tapi yang pasti bahwa setiap orang punya rezeki. Kadang, fokus berpikir manusia tentang rezeki adalah tentang gaji. Akan tapi berapa banyak orang yang hidup tanpa gaji justru hidup berkecukupan.
Ketika banyak pekerja di Kota Kupang yang menghabiskan waktu kerjanya di gedung yang mewah serta berpendingin, sebaliknya masih ada banyak pekerja yang menghabiskan waktunya di bawa terpaan terik matahari serta aroma tidak sedap.
Seperti para pemulung di TPA Alak yang harus merasakan panasnya matahari saat mengais rezeki di balik tumpukan sampah setiap hari. Konsidi inilah yang dirasakan oleh sekira 90-an orang pemulung di TPA di Alak, Kota Kupang.
Para pemulung di Kelurahan Alak mulai melakoni aktivitasnya mencari sesuatu benda atau barang yang bisa dijual lagi sejak pagi hingga sore hari. Bahkan, para pemulung ini harus berebut dengan ternak peliharaan warga yang bebas berkeliaran di TPA Alak.
Fince Lenggu, salah satu pemulung di TPA Alak, menceritakan bagaimana kesehariannya bersama pemulung lainnya di sana.
“Dari pagi itu kita datang untuk cari barang yang bisa kita ambil dan kumpulkan untuk kita timbang. Jadi, kami datang dari pagi-pagi karena truk sampah dari jam 06.00 pagi sudah mulai turunkan sampah di sini,” ujar Fince.
Biasanya, Fince menyebutkan, dalam sehari ia dan sesama rekan pemulung bisa mengumpulkan satu sampai tiga karung sampah yang bisa ditimbang lagi untuk mendapatkan uang.
“Itu kita kumpul banyak-banyak dulu sampai satu bulan lalu kemudian kita timbang,” lanjutnya menjelaskan.
Dia juga mengungkapkan, bahwa pendapatan dari hasil tiap bulan, mulai mengalami penurunan, jika dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
“Dulu, hasil banyak itu kita dapat Rp 1 juta lebih, tapi sekarang hasil kurang. Jadi, ada yang dapat Rp 600.000 dan ada juga yang dapat Rp 700.000,” sebutnya.
Mata pencarian sebagai seorang pemulung, sudah dilakukan oleh wanita berusia 48 tahun ini bersama para pemulung lainnya, selama 24 tahun. Bahkan katanya, ada yang sampai membangun rumah di dekat TPA Alak tersebut, agar lebih dekat dengan tempat berkerja.
“Ada yang punya rumah dekat sini. Kita juga ada pondok di belakang tembok TPA ini. Jadi, kalau siang-siang itu, semua istrahat di sana dan makan sama-sama,” jelasnya.
Dia menambahkan, setiap selesai bekerja, para pemulung ini ada yang dijemput oleh salah satu anggota keluarga, ada yang pulang dengan menggunakan angkutan umum dan ada juga yang jalan kaki.
Dikatakannya, orang-orang yang bekerja di sana berada di usia 30 sampai 50 tahun.
“Kalau anak-anak kecil di sini tidak kerja. Mereka hanya ikut orang tuanya saja dan kadang juga mereka bermain sambil tunggu orang tuanya kerja. Kalau yang sekolah, pasti tidak datang, kecuali anak yang masih kecil,” ujarnya.
Menjalani kehidupan bertahun-tahun di TPA Alak dan harus berhadapan dengan begitu banyak sampah, tidak menurunkan semangat para pemulung di sana. Bahkan bagi mereka, hal ini sudah biasa bagi mereka.
"Kami sudah biasa. Bahkan, ada yang sampai sudah tidur di sini. Intinya apa yang kami kerjakan ini bisa menghasilkan sesuatu untuk memenuhi kehidupan kami," ungkapnya. (cr2/gat)
Editor: Intho Herison Tihu