KUPANG, TIMEXKUPANG.FAJAR.CO.ID-Empat belas tahun berlalu, sejak 21 Agustus 2009 hingga 21 Agustus 2023, petaka tumpahan minyak yang mencemari Laut Timor akibat ledakan sumur gas di Atlas Barat, Australia, belum juga selesai.
Meski demikian, Ferdi Tanoni, Ketua Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB) yang sejak awal berjuang mencari keadilan atas kasus ini, tak mau menyerah. Hingga kini, dan sampai kapan pun, Ferdi akan terus berjuangan hingga adanya keadilan atas kasus ini.
Ferdi Tanoni tak ingin, rakyat korban petaka Montara, baik itu nelayan, petani rumput laut, masyarakat pesisir menjadi korban tanpa ada ganti rugi atau perhatian dari pihak yang paling bertanggungjawab atas masalah ini.
Ferdi Tanoni kepada media ini, Senin (4/9), mengatakan, selama perjalanan 14 tahun petaka ini, berbagai upaya telah dilakukan guna penyelesaian masalah ini.
Ferdi menyebutkan, pada 22 Juni 2023 lalu, the Montara Task Force, diundang Kementerian Luar Negeri Indonesia (Kemlu) untuk hadir dalam sebuah pertemuan di Bogor, Jawa Barat. Pertemuan itu bertajuk Undangan Rapat Koordinasi Persiapan Joint Commission Meeting RI-Thailand.
Ferdi Tanoni yang juga salah satu dari lima anggota the Montara Task Force menjelaskan bahwa, dalam pertemuan itu, pihaknya menyampaikan sedikitnya delapan poin penting agar kasus ini bisa secepatnya diselesaikan.
Pertama, Ferdi menyampaikan bahwa sejak 21 Agustus 2009, telah terjadi ledakan sumur gas Montara di Laut Timor perairan Australia yang sangat berdekatan dengan Perairan Indonesia. "Jauh lebih dekat jaraknya ke periaran Indonesia dibanding ke periaran Australia," jelas Ferdi.
Kedua, lanjut Ferdi, perkara ini kemudian disidangkan di Pengadilan Federal Australia tahun 2016 hanya untuk dua kabupaten saja, yakni bagi petani rumput laut di Kabupaten Kupang dan Rote-Ndao.
Ketiga, pada tahun 2021, Pengadilan Federal Australia memberikan kemenangan kepada petani rumput laut NTT, bahkan hakim di Pengadilan Federal Australia dalam putusannya menyatakan bahwa seluruh wilayah ini terkontaminasi tumpahan minyak Montara. Untuk itu, hakim Pengadilan Federal Australia meminta pihak PTTEP merundingkan pembayaran kepada para petani rumput laut NTT berjumlah 15.483 orang.
Keempat, demikian Ferdi, PTTEP tidak setuju dengan sarannya Hakim Pengadilan Federal Australia ini, dan melalui kuasa hukumnya mereka menyatakan banding.
Kelima, pada tanggal 16 September 2022, telah terjadi kesepakatan damai antara PTTEP dan penggugat petani rumput laut di NTT. Keenam, seungguhnya yang terjadi dalam tumpahan minyak Montara ini terdapat di 13 kabupaten/kota se-NTT, dimana korbannya adalah petani rumput laut dan para nelayan NTT.
"Ketujuh, kami meminta agar pada bulan September 2023, hal ini harus diagendakan untuk pembicaraan lebih lanjut guna menyelesikan kasus tumpahan minyak Montara dari PTTEP-Bangkok yang berdampak terhadap 100.000 lebih mata pencaharian orang di NTT, termasuk banyak anak sekolah dan ada yang meninggal dunia," beber Ferdi.
Kedelapan, kata Ferdi, Pemeritah Thailand harus bisa menghadirkan PTTEP di Jakarta dan atau di Kupang untuk membuka pembicaraan bersama masyarakat NTT tentang ganti rugi yang masyarakat minta. "Ini perlu dan harus dirundingkan bersama sebab PTTEP harus bertanggung jawab," tandas Ferdi.
Bertepatan dengan momentum pelaksanaan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-43 negara-negara ASEAN di Jakarta, Ferdi berharap agar permasalahan ini ikut dibawa menjadi salah satu agenda yang perlu dibahas.
"Dalam Konferensi Tingkat Tinggi yang diberi judul ASEAN Matters: Epicentrum of Growth 2023, maka ini merupakan hal yang perlu dipahami secara bersama untuk dilaksanakan," kata Ferdi.
Ferdi meminta agar Kemlu RI perlu mengagendakan Kasus Montara yang telah berumur 14 tahun ini agar ada pertemuan bilateral antara Indonesia dan Thailand guna membahas penyelesaian kasus Montara tersebut. "Kementerian Luar Negeri Indonesia harus turut berperan dalam penyelesaian kasus ini," pinta Ferdi. (aln)