KUPANG, TIMEXKUPANG.FAJAR.CO.ID-Target Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Kupang untuk Izin Mendirikan Bangunan (IMB) atau Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) jauh dari harapan. Bagaimana tidak, pendapatan yang ditargetkan mencapai Rp 10 miliar, realisasi hingga saat ini hanya Rp 720 juta atau 9 persen.
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Penanaman Modal, Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP), dr I Wayan Ari Wijana mengatakan, untuk PBG, semua proses verifikasi teknis sampai penetapan besaran biaya, ada di Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR).
"Hasil itu diinformasikan ke kami di Dinas PMPTSP untuk dilakukan verifikasi, jika sudah lengkap maka akan langsung ditandatangani secara online. Dan selama ini banyak yang sudah saya keluarkan izin itu, secara online," jelasnya saat diwawancarai di Kantor DPRD Kota Kupang, Selasa (26/9).
Untuk izin non berusaha, kata dia, baru dua minggu lalu diaktifkan karena selama ini aplikasi itu belum jadi. "Tetapi prosesnya selama ini berjalan, untuk penetapan target dan perhitungan biaya ada di Dinas PUPR," jelasnya.
dr Ari Wijana mengatakan, memang terjadi keterlambatan karena menjadi bagian dari risiko dengan adanya undang-undang Omnibus Law yang merubah sistemnya, tetapi untuk prosesnya tetap berjalan. "Yang terpenting adalah sosialisasi di masyarakat, dan persyaratannya apa, jika persyaratannya lengkap maka tentu segera diproses dan tidak ada masalah," jelasnya.
Jadi, sekarang bukan lagi IMB tetapi sudah berubah menjadi PBG dan di sistem pun sudah berubah.
Sementara itu, Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas PUPR Kota Kupang, Maxi Dethan, menjelaskan, untuk izin non berusaha baru diterbitkan sistemnya selama ini hanya ada izin berusaha.
"Kendala yang kami hadapi memang karena sistem yang ada di daerah dan di kementerian masih sering terjadi error, karena semua kepengurusan ini menggunakan sistem online, jika bermasalah maka dampaknya sampai ke semua daerah di Indonesia," jelasnya.
Dia mengatakan, untuk urusan PBG juga harus menggunakan gambar standar teknis yang memerlukan arsitek yang berlisensi, sementara arsitek yang berlisensi di NTT masih sangat minim. Hal ini yang menjadi kendala sehingga kepengurusannya masih sulit, apa lagi dengan biaya yang cukup besar.
"Kendala lain yang kami hadapi juga karena memang masih ada kekurangan sumber daya manusia atau SDM di Dinas, dalam hal ini tenaga teknis, karena mekanisme kerja yang cukup panjang dan padat, tentu ini menjadi kendala juga," ungkapnya.
Dia mengatakan, untuk biaya yang diambil atau dipungut untuk daerah sendiri masih menggunakan Perdana Nomor 9 Tahun 1998 yang telah direvisi pada tahun 2009, sehingga biayanya masih sangat murah, karena koefisien atau indeks harga satuan bangunan masih menggunakan harga tahun 2009.
"Yang menjadi mahal itu adalah menggunakan jasa arsitek berlisensi itu yang biayanya hampir mencapai Rp 7 juta. Sementara yang dibayarkan ke daerah contohnya luas lahan 100 meter persegi, maka yang dibayarkan hanya Rp 1 juta saja," tambahnya.
Untuk izin yang non berusaha yaitu masyarakat, gereja, kantor pemerintah dan bangunan-bangunan sosial lainnya. Sementara izin berusaha misalnya ruko, mall, perusahaan dan toko serta swalayan. (r2)
Editor: Intho Herison Tihu