Oleh:
Dr. Thomas Ola Langoday, SE.,M.Si.
Dosen STIE OEmathonis Kupang
PENDAHULUAN
Terkait judul tulisan ini, ijinkan saya mengutip nats Kitab Injil: “Setiap Kerajaan yang terpecah-pecah pasti binasa, dan setiap Rumah Tangga yang terpecah-pecah, pasti runtuh” (Luk 11:17).
Focus tulisan ini adalah bagaimana upaya bersama, seluruh komponen di NTT bersatu, bersinergi, supaya provinsi ini menjadi PROVINSI UNGGUL, provinsi hebat, provinsi yang berdaya saing. Karena jika kita tidak BERSATU, jika kita terpecah-pecah, maka hanya ada satu pilihan: BINASA atau RUNTUH. Binasa/runtuh kesejahteraan, binasa/runtuh kejujuran, binasa/runtuh keadilan, binasa/runtuh nilai-nilai kemanusiaan, moral dan etika; daerah ini, bersama orang-orangnya akan menjadi daerah dan orang-orang yang tidak BERPERADABAN, menjadi daerah terkebelakang, daerah dan orang dengan daya saing rendah.
Fakta-fakta lapangan hari ini sedang menghantar kita ke arah sana; fakta-fakta itu diantaranya adalah NTT selalu menjadi provinsi termiskin ke tiga di Indonesia dengan tingkat kemiskinan pada tahun 2022 sebesar 20,05 persen setelah Papua 26,80 persen dan Papua Barat 21,43 persen. Data BPS menunjukkan bahwa PDRB NTT per kapita atas dasar harga berlaku (ADHB) hanya sebesar Rp 20,58 juta per tahun pada 2021. Artinya, pendapatan penduduk NTT merupakan yang terendah dibandingkan dengan 33 provinsi lainnya. Pendapatan penduduk NTT tersebut hanya sepertiga rerata pendapatan penduduk Indonesia sebesar Rp 62,2 juta per tahun. Selain itu, Provinsi NTT menjadi provinsi dengan prevalensi stunting tertinggi secara nasional di tahun 2022, yakni 35,3 persen,
PROSES MENJADIKAN NTT UNGGUL DAN BERDAYA SAING
Untuk membangun daerah ini menjadi daerah unggul, daerah yang berperadaban, berdaya saing, saya mengawalinya dengan mengutip pendapat ekonom kesohor Michael E. Porter (1980) tentang value chain dan Thomas Ola Langoday (2011) tentang daerah unggul, kompetensi inti daerah di Kabupaten Belu, dan Thomas Ola Langoday dkk (2023) tentang Transformasi Ekonomi Subsisten ke Model Ekonomi Kerakyatan di Timor Leste.
Pada tahun 1980, Michael E. Porter, seorang profesor di Harvard Business School, mengembangkan konsep "Value Chain" (Rantai Nilai) dalam kerangka analisis strategisnya. Konsep ini tidak langsung berhubungan dengan kompetensi inti, tetapi memberikan pemahaman dasar tentang bagaimana sebuah entitas dapat menciptakan nilai tambah dalam operasinya. Dengan mengintegrasikan konsep Value Chain dengan kompetensi inti, entitas apapun dapat mengembangkan strategi yang memanfaatkan keunggulannya dalam aktivitas-aktivitas kunci untuk menciptakan posisi kompetitif yang kuat di pasar. Dengan demikian, konsep Value Chain dan kompetensi inti saling terkait dalam kerangka analisis strategis yang dikembangkan oleh Michael E. Porter dan juga Thomas Ola Langoday.
Kompetensi Inti selanjutnya membawa dampak kepada penciptaan daya saing. Daya saing Bangsa/Negara/daerah dapat tercapai manakala didahului dengan daya saing industry; daya saing industry didahului dengan daya saing perusahaan atau bisnis mikro. Selanjutnya daya saing bisnis atau perusahaan ditentukan oleh daya saing produk yang dihasilkan. Dengan merujuk kepada konsep daya saing ini, maka pencapaian daerah unggul atau berdaya saing dimulai dengan pembentukan kluster. Di NTT contoh pembentukan kluster telah dimulai oleh Bank Indonesia di beberapa Kabupaten/Kota. Sampai hari ini, belum ada informasi bahwa sudah ada pemerintah daerah di NTT, baik provinsi maupun kabupaten/kota yang sudah mereplikasi model kluster ini.
Paling tidak ada tiga kluster yang diusulkan yaitu, pertama membentuk kluster komoditi unggulan; kedua membentuk kluster bisnis/perusahaan unggulan; dan ketiga adalah membentuk kluster industri unggulan. Keberhasilan pembentukan ketiga kluster tersebut diharapkan membentuk daerah, wilayah atau negara menjadi unggul atau berdaya saing. Untuk mencapai negara atau daerah unggul, diperlukan pembentukan kluster Kawasan industry. NTT telah gagal membentuk kluster Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) Mbay dan juga KALTARA (Kawasan Pengembangan Ekonomi Lembata, Larantuka dan Alor); dan juga Kawasan lainnya seperti Kawasan Industri Bolok (KIBOLOK) semoga masih bisa bergairah untuk hidup.
Untuk mengatasi permasalahan dasar ekonomi, Kesehatan, Pendidikan, infrastruktur dan suprastruktur dasar dan penunjang, tulisan ini menawarkan solusi bagi pemerintah daerah provinsi NTT, pemerintah daerah kabupaten/kota, para pelaku bisnis: mari kita Bersatu, bergandengan tangan dan membentuk sebuah system kerja yang disebut SUPPLY CHAIN MANAGEMENT (Manajemen Rantai Pasok) yang diawali dengan pembagian tugas yang jelas dengan disiplin tinggi mencapai key performance indocators dalam BALANCE SCORCARD (Thomas Ola Langoday, 2023; Vincent Gasperz, 2003).
PENUTUP
Tidak ada masalah yang tidak ada solusinya. Jika pemerintah daerah provinsi NTT dan Kabupaten/Kota serta dunia usaha ingin menjadikan daerah ini menjadi daerah unggul dan berdaya saing tinggi, maka mari kita duduk bersama, berdiskusi untuk melakukan kajian untuk membentuk komoditi unggul, perusahaan unggul, industry unggul dan daerah ini menjadi daerah unggul dan berperadaban dalam satu system: supply chain management.*****