KUPANG, TIMEX - Perebutan suara di Provinsi NTT oleh calon presiden dan calon wakil presiden pada pemilihan presiden tahun 2024 diprediksi sengit. Kehadiran Mahfud MD dan Gibran Rakabuming Raka yang telah diputuskan sebagai cawapres Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto berpotensi memperketat kontestasi.
Jumlah daftar pemilih tetap yang dirilis KPU Provinsi NTT pada Juni 2023 lalu terdapat lebih dari 4 juta pemilih yang tersebar di 22 kabupaten/kota. Karena itu, kontestasi perebutan suara diperkirakan akan terpecah antara Ganjar Mahfud dan Prabowo Gibran.
Berkaca pada pilpres tahun 2014 di NTT, Jokowi-JK menang 65,92 persen. Sementara, Prabowo-Hatta 34,08 persen.
Sementara di pilpres 2019 NTT, Jokowi-Ma'ruf menang telak atas Prabowo, yakni 88,57 persen. Sementara Prabowo-Sandi harus puas menerima kekalahan dengan 11.43 persen.
Pengamat politik dari Universitas Muhammadiyah Kupang, Ahmad Atang menilai, jika melihat rekam jejak politik Prabowo di NTT, maka dapat ditelusuri melalui perolehan pilpres 2014 dan 2019.
Pada dua kali pilpres tersebut, Prabowo hanya menang kurang dari 30 persen ketika berhadapan dengan Jokowi. Pada pilpres 2024, menurutnya, Prabowo tidak lagi berhadapan dengan Jokowi, akan tetapi Ganjar.
"Tentu Ganjar bukan Jokowi yang akan menang besar di NTT, maka partai koalisi ikut berpengaruh terhadap kemenangan paslon pada pilpres 2024. Jika di pilpres 2014 dan 2019 yang dihadapi bukan partai politik koalisi, tetapi popularitas figur dan itu ada pada Jokowi," terang Ahmad kepada Timor Express, Jumat (27/10).
Melihat ketiga figur yang akan bertarung di pilpres 2024, ternyata tidak ada yang lebih populer hampir di seluruh Indonesia. Maka, posisi partai koalisi menjadi basis elektoral.
Berangkat dari kenyataan itu, Ahmad menuturkan, untuk di NTT yang akan menang adalah Prabowo-Gibran dibandingkan Ganjar-Mahfud.
Prabowo-Gibran tergabung dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang terdiri dari Partai Gerindra, Golkar, Demokrat, PAN, PSI, PBB, Gelora dan Garuda. Sementara Ganjar-Mahfud didukung oleh PDIP, PPP, Perindo dan Hanura.
"Kemenangan Prabowo terletak pada mesin atau infrastruktur politik partai koalisi. Jika partai koalisi memaksimalkan kerja-kerja secara masif akan berdampak pada kemenangan pasangannya. Karena itu, semakin banyak mesin koalisi akan semakin besar peluang untuk menang," jelasnya.
Dengan demikian, suara pemilih akan bergeser dari Jokowi ke Prabowo jauh lebih besar dibandingkan dari Jokowi ke Ganjar. Hal itu bukan karena faktor Gibran ada di dalam, namun karena Prabowo menguasai mesin partai.
Hal yang sama juga diutarakan dosen politik, Yeftha Sabaat. Menurutnya, apabila melihat konteks pemilih di NTT, maka perolehan suara kedua paslon sangat signifikan. Mengingat, elektabilitas keduanya cukup tinggi.
Namun, lanjut Yeftha, suara pemilih bulat Jokowi periode lalu akan terpecah karena ketegangan politik Jokowi dan PDIP. Belum lagi terpecahnya Projo di tingkat pusat yang kemudian membawa dampak ke arah lokal.
"Justru dugaan saya, suara Prabowo yang akan meningkat karena pemilihnya yang loyal, ditambah lagi sosok Gibran yang merupakan representasi Jokowi," katanya.
Selain itu, suara pemilih PDIP yang mendukung Jokowi periode lalu bisa beralih mendukung Prabowo karena pertikaian dengan PDIP tersebut.
Namun, munculnya Mahfud sebagai cawapres Ganjar dapat menjadi penyeimbang. Pendukung Jokowi yang hendak berpindah ke Prabowo akan terhenti sebab sosok Mahfud yang bisa menjadi perekat bagi Ganjar.
Disisi lain, pengamat politik Lasarus Jehamat menuturkan, masyarakat NTT memang terpecah dalam segmentasi Ganjar dan Gibran. Namun, variabel Mahfud menyebabkan masyarakat NTT masih dominan memilih pasangan Ganjar-Mahfud, ketimbang Prabowo-Gibran.
Hal itu menurut Lasarus, masyarakat NTT memiliki nilai-nilai yang dipegang dalam berpolitik. Ia menilai, wajah politik Gibran beberapa minggu terakhir tentu ditolak oleh masyarakat yang memegang nilai tersebut, termasuk pendukung Jokowi di NTT.
"Dalam kasus politik nasional, saya merasa masyarakat lebih memilih Ganjar-Mahfud daripada Prabowo-Gibran," ujarnya.
Bahkan, wajah politik Gibran yang berkaitan dengan dinamika di Mahkamah Konstitusi serta karier politik yang belum begitu mumpuni, membawa kekecewaan tersendiri bagi pendukung Prabowo. Hal itu bisa membuat suara Prabowo berpindah ke Ganjar-Mahfud.
Bukan itu saja, bahkan pendukung figur-figur yang ada di koalisi Prabowo juga merasa kecewa, seperti Erick Thohir yang gagal calon karena Gibran.
"Tidak hanya soal wajah politik. Pendukung Erick atau yang lain yang gagal calon karena Gibran, pasti lari ke calon lain," katanya.
Menurutnya, pasangan Ganjar-Mahfud merepresentasikan pluralis humanis dan konsisten di jalur negara, sedangkan Prabowo-Gibran lebih ke soal pemenuhan kepentingan satu dua orang, terutama elit politik dan kekuasaan.
Berkaitan dengan narasi yang berkembang di publik tentang "petugas partai" bagi Ganjar, menurutnya, narasi tersebut hanya berkontribusi kecil bagi penurunan suara, ketimbang narasi "politik dinasti atau dominasi oligarki" di kubu Prabowo-Gibran. (cr1/ays)
Editor: Linda Makandoloe