Penegakan Pelanggaran kampanye Harus Ada
KUPANG, TIMEX.FAJAR.CO.ID - Setelah penetapan daftar calon tetap (DCT) anggota DPRD provinsi, kabupaten/kota dan DPD, maka sesuai tahapan atau jadwal PKPU, masa kampanye selama 75 hari akan dimulai pada 28 November 2023 hingga 10 Februari 2024 mendatang.
Dengan begitu, kampanye dalam bentuk apapun termasuk seluruh alat peraga kampanye (APK) sebelum tanggal tersebut harus ditiadakan. Sebab, saat ini adalah masa jeda menuju ke kampanye.
Komisioner Bawaslu Provinsi NTT, Amrunur Muh Darwan kepada Timor Express, Senin (6/11) menyampaikan, masa jeda yang dimaksud adalah peserta pemilu baik itu partai politik (parpol) maupun perseorangan diberi ruang untuk sosialisasi dirinya dengan menggunakan alat peraga sosialisasi (APS).
Dikatakan, berdasarkan Peraturan Bawaslu Nomor 11/2023 tentang Pengawasan Kampanye Pemilihan Umum dan Peraturan KPU Nomor 15/2023 tentang Kampanye Pemilihan Umum, maka ada penertiban terhadap APK yang dipasang diluar dari tahapan kampanye.
"Jadi ada APS dan APK. APK hanya bisa dimulai 28 November, sedangkan di masa sosialisasi saat ini pakai APS, sehingga di beberapa tempat di kabupaten/kota sedang mengidentifikasi terhadap APK yang dipasang yang tidak sesuai dengan jadwal kampanye, itu ada yang sudah ditertibkan," jelas Amrunur.
Dirinya menjelaskan, kriteria APK terdapat gambar orang, visi-misi, tanda coblos, ajakan untuk memilih dan terdapat unsur citra diri. Hal itu yang menjadi fokus untuk ditertibkan.
Sementara APS, hanya terdapat tanda gambar, tidak ada unsur mengajak atau citra diri. Disisi lain, masa sosialisasi jelasnya, difokuskan kepada konsolidasi internal parpol.
"Artinya pertemuan terbatas, hanya melibatkan pengurus parpol dan tidak boleh di luar dari itu," katanya.
Sedangkan, para calon yang turun langsung ke masyarakat, apabila dalam rangka silaturahmi dan tidak ada kumpulan massa atau dalam jumlah terbatas, misalnya bersilaturahmi ke keluarga. Kemudian, tidak ada unsur ajakan memilih serta tidak membagikan undangan, maka hal itu termasuk dalam kriteria sosialisasi dan diperbolehkan.
Ia menyampaikan, berbeda apabila turun ke masyarakat dalam rangka melaksanakan reses sebagai anggota DPRD atau kunjungan kerja, dengan memperhatikan agar tidak berkampanye, maka diperbolehkan.
Selain itu, terkait konsolidasi internal parpol, Bawaslu sendiri juga mengawasi agar tidak ada orang diluar parpol yang hadir.
"Misalnya, ada kunjungan ketum parpol ke NTT, kami mengawasi, memastikan bahwa ketika konsolidasi internal tidak melibatkan yang bukan pengurus parpol. Sehingga, kalau ada dugaan pelanggaran pemilu kami bisa sampaikan ke peserta pemilu yang bersangkutan dan mencegah," sambungnya.
Untuk mencegah hal tersebut, Bawaslu telah mengimbau peserta pemilu serta tim kampanye agar apabila akan melaksanakan konsolidasi partai, bersurat ke KPU dan Bawaslu.
"Itu wajib sampaikan agendanya, kalau sudah beritahu, maka kami pasti turun untuk mengawasi," tambahnya.
Amrunur menambahkan, Bawaslu telah mengimbau dan menegaskan kepada peserta pemilu agar tidak melakukan kampanye sebelum waktunya. Sayangnya, dalam masa sosialisasi, Bawaslu tidak diberikan ruang untuk memberikan sanksi apabila ada peserta yang kedapatan melakukan kampanye sebelum waktunya.
Sejauh ini lanjutnya, Bawaslu hanya mengimbau dan menyampaikan surat kepada parpol di wilayah untuk bersama-sama mengikuti ketentuan yang sudah diatur.
"Di masa sosialisasi tidak diberi ruang yang lebih selain didorong untuk mengimbau. Kami akan tindak kalau sudah masuk tahapan kampanye. Jadi apapun bentuknya, Bawaslu akan menindaklanjuti," katanya.
Bawaslu tidak berwenang menurunkan APK. Pendekatan yang dipakai untuk menertibkan adalah dengan Perda Tata Kota/Ruang oleh pemda atau pemkot.
"Bawaslu sudah berikan arahan untuk berkoordinasi dengan peserta pemilu, baik itu parpol maupun caleg perseorangan, kami mengajak untuk menurunkan secara mandiri jika ditemui APK," tambahnya.
Menurutnya, di masa ini para calon akan memaksimalkan sosialisasi diri, namun Bawaslu menegaskan terus mengawasi dan membatasi agar tidak menjurus ke kampanye.
"Di kampanye, kita fokus pengawasan. Prinsipnya kita memastikan ketaatan pada asas dan prosedur, ketentuan harus sesuai dan prosedur pelaksanaan kampanye harus sesuai," katanya.
Ia menjelaskan, dalam masa kampanye, Bawaslu akan mengawasi pelanggaran yang terjadi, seperti pelanggaran pidana pemilu, pelanggaran administrasi dan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu.
Sementara itu, pengamat politik dari Undana, Yeftha Sabaat menilai, alasan caleg melakukan kampanye dahulu bisa jadi lantaran durasi kampanye pemilu 2024 yang lebih singkat dibandingkan pemilu sebelumnya.
"Memang, masa kampanye kali ini hanya 75 hari atau jauh lebih singkat dibandingkan dengan durasi kampanye pada pemilu 2019 selama 203 hari. Namun, semua itu sudah melalui proses panjang desakan dan persetujuan dari parpol melalui perwakilan mereka di Komisi II DPR," terang Yeftha.
Sebenarnya, apabila merujuk pada PKPU, kampanye harus dilaksanakan dengan prinsip jujur, terbuka dan dialogis. Menurutnya, kampanye sekarang juga sudah merambah ke media sosial dengan menampilkan konten-konten yang bersifat ajakan.
"KPU dan Bawaslu juga seharusnya mengatur sanksi administratif bagi pelaku curi start kampanye," katanya.
Apalagi, berkaitan dengan masa sosialisasi, di mana Bawaslu tidak ada ruang memberi sanksi, menurutnya masa sosialisasi yang diberikan, malah membuka kesempatan emas bagi para caleg untuk berkampanye secara diam-diam.
"Maka perlu ada aturan untuk memberikan wewenang kepada Bawaslu memberikan sanksi bagi pelanggar saat sosialisasi," ungkap Yeftha.
Menurutnya, Bawaslu memang sudah harus profesional, namun miris sebab Bawaslu sendiri dibatasi ruang memberi sanksi. Karena itu, Bawaslu harus diberi kewenangan lebih untuk menindak pelanggaran terkait kampanye sebelum masanya.
"Sebab, sudah ada imbauan memang, tapi caleg itu lihai memanfaatkan peluang. Saya kira penegakan pelanggaran kampanye harus ada, biar bisa menimbulkan efek jerah bagi caleg yang nakal," tutupnya. (cr1/ays)