KUPANG, TIMEX.FAJAR.CO.ID - Isu netralitas aparatur sipil negara (ASN) dan aparat keamanan menjadi isu yang sedang gencar digunakan oleh partai politik (parpol) untuk saling menyerang satu sama lain dalam kontestasi pemilihan presiden (pilpres) 2024.
Pengamat politik dari Unwira Kupang, Urbanus Ola Hurek kepada Timor Express, Senin (20/11) menyebut, apabila ditilik lebih mendalam, sesungguhnya soal netralitas merupakan hal yang saling tuduh menuduh.
Menurutnya, tim sukses Prabowo sering mengklaim sejumlah daerah yang kepala daerahnya sebagai loyalis PDIP dan koalisinya berpotensi menggerakan mesin birokrasi untuk kemenangan Ganjar-Mahfud.
"Sebagai contoh di beberapa daerah Papua ditengarai bahwa pejabat kepala daerah wajib memenangkan Ganjar-Mahfud 60 persen + 1," sebut Urbanus.
Sementara tim sukses PDIP dan koalisinya khawatir dan terus menyuarakan kekhawatiran terhadap ketidaknetralan ASN, TNI dan Polri. Kekhawatiran tersebut didasari berdasarkan beberapa fakta, yakni ketidaknetralan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam memutuskan perkara batas umur capres-cawapres yang sarat KKN, sehingga berbuntut pencopotan ketua MK.
"Lembaga selevel MK saja sudah dijangkiti penyakit KKN, maka institusi lain pun wajar dicurigai. Kedua, pengangkatan Panglima TNI. Panglima TNI ini belum lama ditunjuk menjadi KASAD, namun dalam waktu singkat akan dilantik jadi Panglima TNI," tuturnya.
Ketiga, pengangkatan sejumlah pejabat kepala daerah menihilkan aspirasi daerah. Pemerintah pusat memanfaatkan celah peraturan perundangan menunjuk penjabat kepala daerah di luar usulan DPRD.
"Dalam posisi saling klaim seperti ini, dibutuhkan kekuatan masyarakat sipil untuk ikut mengawasi proses politik baik pileg, pilpres maupun pilkada agar proses pematangan demokrasi tidak mandek gara-gara nafsu besar merebut kekuasaan para elit politik di negeri ini," jelasnya.
Dalam konteks kontestasi politik, lanjutnya, mengemas isu tidak lepas menjadi bagian dari marketing politik. PDIP dan koalisinya serta Gerindra dan koalisinya berusaha untuk mengemas isu guna mempengaruhi opini publik sehingga pada akhirnya mendongkrak elektabilitas parpol, caleg dan pasangan capres-cawapres.
"Itu sangat wajar kalau PDIP dan koalisinya mengemas isu netralitas untuk kepentingan elektabilitas dan memenangkan kontestasi politik 2024,” katanya.
Sedangkan, menurut pengamat politik dari Unmuh Kupang, Ahmad Atang, jika dilihat dari kepentingan politik, maka terkadang kekuasaan selalu menggunakan segala sumberdaya untuk mengendalikan kepentingannya.
Dengan demikian, alat kekuasaan seperti birokrasi, aparat penegak hukum dapat menjadi instrumen untuk digunakan dalam proses politik yang sedang berlangsung. Fenomena tersebut beralasan jika pasangan capres mengkhawatirkan gerakan kekuasaan.
"Sungguhpun begitu, komponen negara yang akan mengendalikan dinamika ini masih dalam batas yang wajar. Kekhawatiran yang beralasan tidak harus membangun prasangka yang berlebihan. Hal ini mesti dilihat dalam tataran proses yang mempunyai irisan yang saling menjaga keseimbangan," katanya.
Terkadang, setiap tindakan kekuasaan selalu memberikan efek politik, tetapi, kedewasaan dalam menyikapinya harus lebih arif agar tidak menimbulkan gesekan yang tidak perlu. Karena itu, Ahmad menilai apa yang terjadi tidak harus dilihat sebagai hambatan tetapi harus dimaknai sebagai tantangan agar ada kewaspadaan.
"Setiap tindakan politik selalu memberikan efek dan selalu didefinisikan sebagai langkah politik, padahal tidak semua memberikan tekanan pada pihak tertentu, maka sikap yang paling solutif adalah mengambil jarak dengan masalah yang sedang diciptakan dari pada ikut memanasinya," tuturnya.
Dikatakan, apa yang diasumsikan oleh koalisi PDIP tidak akan memberikan efek yang berlebihan apabila ditanggapi secara serius.
Disisi lain, pengamat politik dari Undana, Yohanes Jimmy Nami menyebut, eskalasi politik makin meningkat tensinya menjelang pemilu 2024 yang kurang dari dua bulan lagi. Maka, psywar pun tentunya makin gencar juga.
"Macam-macam isu yang dibuat makin kencang dengan berbagai kemasan yang berbeda," kata Jimmy.
Netralitas pun bisa diarahkan kepada siapa saja, pasangan mana saja, mengingat semua pasangan capres punya irisan dengan birokrasi dan dengan perangkat pemerintahan dengan levelnya masing-masing.
"Jadi pergeseran isu netralitas ASN tidak hanya diarahkan bagi pasangan Prabowo-Gibran. Semua pasangan bisa saja punya peluang itu, apalagi gerakan dukungan tidak bisa dikontrol berdasarkan klasifikasi pekerjaan saja," tuturnya.
Menurutnya, isu netralitas tersebut pun sah-sah saja apabila menjadi sebuah strategi politik, namun arahnya patut diarahkan kepada semua calon.
Jimmy mengatakan, jangan sampai fokus pada calon tertentu, tetapi lupa ada calon lain yang juga mempunyai potensi kuat.
Isu itu pun bisa menjadi salah satu strategi untuk menarik simpatik publik dan untuk mendongkrak suara pasangan tertentu.
"Ya bisa saja karena memang dalam setiap momentum pemilu penguasa selalu menjadi titik bidik," tutup Jimmy. (cr1/ays)