KUPANG, TIMEX.FAJAR.CO.ID - Debat merupakan panggung bagi para capres dan cawapres untuk mengedepankan politik gagasan tentang Indonesia masa depan.
Di forum debat, para paslon akan membedah masalah Indonesia dari perspektif visi dan misinya. Karena itu, KPU sebagai penyelenggara akan mengatur mekanisme debat sesuai dengan regulasi.
Pelaksanaan debat capres-cawapres telah diatur dalam Undang-undang Nomor 7/2017 tentang Pemilu. Menurut Pasal 277 ayat (1), debat pasangan capres-cawapres dilaksanakan sebanyak lima kali selama masa kampanye.
Penjelasan Pasal 277 ayat (1) merinci lima kali pelaksanaan debat, terdiri dari tiga kali debat capres dan dua kali debat cawapres. Namun, KPU melaksanakan inovasi, di mana capres dan cawapres tampil bersama, namun dengan porsi bicara yang berbeda.
Menanggapi itu, pakar Hukum Tata Negara, John Tuba Helan kepada Timor Express, Selasa (5/12) menjelaskan, jika KPU membuat pengaturan tidak sesuai UU Pemilu, maka jelas telah melanggar undang-undang dan perlu dikenai sanksi sesuai peraturan perundang-undangan.
"Aturan KPU yang tidak boleh dijalankan, karena bertentangan dengan undang-undang," katanya.
Karena itu, John menyampaikan agar KPU kembali ke aturan UU. Karena mekanisme yang diatur KPU tidak sesuai dengan UU.
Dalam realitas politik saat ini, pengamat politik dari Unmuh Kupang, Ahmad Atang mengatakan, jika dilihat dari aturan, maka debat antara capres dan cawapres dipisahkan agar publik juga mengetahui kapasitas cawapres dalam menangani masalah bangsa.
Namun, untuk debat pilpres saat ini, antara capres dan cawapres maju bersama dengan membagi porsi jawaban dalam debat. Pola ini sama dengan yang berlaku pada pilkada di provinsi dan kabupaten/kota.
Dilihat dari tugas dan fungsi presiden dan wakil presiden tidak ada pembagian tugas yang jelas bagi wakil presiden, sehingga materi debat tidak perlu dipisahkan.
"Jadi bagi saya, ini merupakan format debat yang ideal untuk melihat kerja sama antara presiden dan wakil presiden," katanya.
Jika dalam debat, siapa yang lebih mendominasi, maka akan berdampak pada kepemimpinan mereka, ketika terpilih nanti akan mendominasi pengambilan keputusan politik.
"Maka, model debat sekarang tidak ada indikasi menguntungkan atau merugikan pihak tertentu, tetapi lebih pada efektivitas menyampaikan ide dan gestur kerja sama antara pasangan calon," pungkas Ahmad.
Hal senada disampaikan pengamat politik dari Undana, Yohanes Jimmy Nami. Ia menilai, format apapun yang ditetapkan KPU tentu lebih mengakomodir kepentingan semua paslon.
Menurutnya, format memang hrus diubah disesuaikan dengan momentum pemilu dengan pasangan capres cawapres yang baru, sehingga menjadi tantangan bagi masing-masing pasangan saat debat.
"Masyarakat butuh gagasan yang kuat terkait isu-isu pembangunan yang aktual," kata Jimmy.
Untuk soal materi debat, pengalaman memimpin dan latar pendidikan akan cukup berpengaruh dalam menguasai panggung opini. Dari sisi ini dengan persiapan yang baik tentu akan merata kekuatannya pada tiga pasangan calon. (cr1/ays)