Faktor Jokowi Ikut Berpengaruh Terhadap Paslon Nomor Urut 2
KUPANG, TIMEX.FAJAR.CO.ID - Elektabilitas pasangan capres-cawapres terus mengalami perubahan. Beberapa lembaga survei yang merilis elektabilitas capres-cawapres di penghujung tahun 2023 menunjukkan, pasangan nomor urut 3, Ganjar Pranowo-Mahfud MD kian tergerus.
Dari yang selalu posisi pertama dalam survei, kini tertinggal di bawah. Sebaliknya dengan pasangan nomor urut 2, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka semakin memuncak. Sementara untuk pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, dalam beberapa survei malah menempati posisi kedua.
Misalnya, Centre for Strategic and International Studies (CSIS) merilis hasil survei terbarunya pada Rabu, 27 Desember 2023. Survei dilakukan pada 13-18 Desember 2023. Terdapat 1.300 orang terlibat sebagai responden dengan margin of error +/-2,7 persen. Hasilnya, Prabowo-Gibran 43,7 persen, Anies-Cak Imin 26,1 persen dan Ganjar-Mahfud 19,4 persen.
Pengamat politik dari Unmuh Kupang, Ahmad Atang kepada Timor Express, Selasa (2/1) menegaskan, melambungnya elektabilitas pasangan Prabowo-Gibran tidak semata-mata karena kerja politik partai koalisi ataupun juga pengaruh figuritas Prabowo-Gibran, akan tetapi faktor Jokowi efek ikut berpengaruh terhadap tingkat penerimaan paslon nomor urut 2.
"Posisi Prabowo-Gibran di NTT lebih menguntungkan dibandingkan dengan Ganjar-Mahfud. Hal ini karena Jokowi efek cukup kuat di publik NTT," ucap Ahmad.
Melihat rentang waktu antara hasil survei dan pilpres yang kurang lebih dua bulan lagi, menurutnya, kecil kemungkinan akan terjadi perubahan. Hal tersebut terjadi karena hingga saat ini menuju pilpres mendatang, publik sesungguhnya telah mempunyai pilihan. Jika ini terjaga, maka akan terus bertahan sampai pada hari pencoblosan.
Lanjutnya, posisi Anies-Muhaimin sebetulnya sejak dulu memang tidak pernah naik ke posisi pertama sesuai hasil dari hampir semua lembaga survei. Namun yang menarik justru Ganjar-Mahfud. Ahmad mengatakan, paslon ini memang selalu fluktuatif, namun tidak terjun bebas hingga ke level terakhir. Hal ini karena paslon nomor urut tiga sulit mengambil posisi politik antara Jokowi dan PDIP.
"Ketika paslon ini mengambil sikap mengkritik Jokowi justru terjadi resistensi dari pendukung Jokowi, maka Ganjar-Mahfud lebih mengambil sikap politik abu-abu. Di sinilah dilemanya," ungkapnya.
Ahmad menilai, hasil survei merupakan kerja akademik yang sarat dengan metode ilmiah, karena itu hasil survei dapat menjadi pertunjukan awal sebagai referensi publik. Kerja akademik melalui hasil survei tidak selalu benar, namun fakta menunjukan bahwa prediksi hasil survei terkadang inheren dengan hasil yang dicapai. Oleh karena itu, hasil survei memang secara politik selalu menjadi debatebel karena perspektif yang berbeda. Namun secara metodologi dapat dipertanggungjawabkan.
Sementara, pengamat politik dari Unwira Kupang, Urbanus Ola Hurek menjelaskan, kondisi di NTT pun sudah semakin mengerucut pilihan pemilih dalam pilpres. Kedatangan Kaesang di Sikka sebagai kandangnya pemilih tradisional PDIP dan Gibran ke Labuan Bajo sebagai salah satu basis kuat Partai Nasdem di NTT. Nasdem sendiri sebagai partai pengusung pasangan Amin, di mana pemilihnya bisa beralih pada Prabowo-Gibran, apalagi pasangan tersebut mengklaim sebagai penerus program Jokowi.
"Karena itu, Prabowo dan Gibran berpeluang menarik pemilih Ganjar-Mahfud di NTT sebagai basis pemilih Jokowi pada pilpres 2019. Paslon Ganjar-Mahfud perlu kerja keras merapatkan barisan untuk tetap menjaga NTT sebagai lumbung suara PDIP dan Jokowi pada pemilu sebelumnya," kata Urbanus.
Mengacu pada hasil survei elektabilitas beberapa lembaga tersebut, lanjutnya, pilpres 2024 bisa jadi hanya satu putaran dan Prabowo-Gibran dipastikan sebagai pemenang. Namun, publikasi survei ini dibuat pada awal Desember, medio Desember, November bahkan pada Juli 2023. Hasil survei tersebut kemudian diberitakan oleh media sosial atau media massa yang berbeda secara berulang.
"Agar jangan terkecoh, publik sebagai pemilih cerdas, perlu mencermati hasil survei dari lembaga survei menyertakan pula hasil survei sebelumnya sebagai baseline data sebagai acuan pembanding. Berbasis baseline data tersebut lembaga survei menunjukan hasil survei terkini untuk diketahui tren perubahan elektabilitas paslon-paslon yang disurvei," terangnya.
Lanjutnya, bila pola tersebut dilakukan, maka keakuratan data survei makin dipercaya. Jika tidak demikian, maka bisa juga disalahgunakan oleh pihak tertentu untuk melakukan propaganda sehingga menyesatkan publik, terutama pemilih. Pemilih/konstituen tergiring hasil survei elektabilitas salah satu pasangan calon yang tinggi hasil survei dan menentukan pilihannya.
Padahal, belum tentu survei elektabilitas tinggi tersebut diperoleh melalui survei dadakan atau data survei lama yang dipublikasikan berulang oleh media massa. Karena itu, Urbanus menekankan agar pemilih perlu cerdas dan cermat terhadap lembaga survei dan hasil survei yang dipublikasikan tersebut.
"Hampir semua publikasi survei elektabilitas tidak menyertakan baseline data. Terhadap hasil survei tersebut tim kerja pasangan Prabowo-Gibran yakin dan percaya dengan hasil survei tersebut. Berbeda dengan tim pasangan Anies-Muhaimin dan Ganjar- Mahfud. Kedua pasangan ini kurang yakin dengan hasil survei elektabilitas," ujarnya.
Hal itu lantaran, keduanya lebih percaya pada tim kerja dan survei internal masing-masing. Survei-survei yang dipublikasi itu tidak jadi patokan. Lembaga-lembaga survei diklaim sudah ‘dikelola’ untuk membentuk opini publik belaka. Bahkan, disetir bahwa campur tangan ‘penguasa’ dan kelompok oligarki media turut memainkan peran mengendalikan media massa. (cr1/ays)