Koalisi Anies-Ganjar Bisa Terjadi di Putaran Kedua

  • Bagikan
Mikhael Rajamuda Bataona. (FOTO: Dok. TIMEX)

KUPANG, TIMEX.FAJAR.CO.ID - Belakangan ini, muncul wacana koalisi yang berpotensi terbentuk antara kubu pasangan calon Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dengan Ganjar Pranowo-Mahfud MD, mengingat spekulasi pilpres 2024 akan berlangsung dalam dua putaran.

Hal itu tercermin dari hasil survei elektabilitas yang menunjukkan belum ada satu pun pasangan capres cawapres yang menembus angka 50 persen. Sehingga, kemungkinan pilpres dua putaran menjadi sangat terbuka. Potensi dua putaran tersebut memunculkan wacana terbentuknya koalisi Anies-Ganjar. Entah itu Anies yang masuk atau sebaliknya Ganjar.

Pengamat politik sekaligus dosen Komunikasi Politik, Mikhael Rajamuda Bataona mengatakan, jika dibaca dari komposisi elektoral terakhir untuk ketiga pasangan calon, maka bisa dikatakan bahwa satu putaran itu sudah kian sulit.

"Saya membaca bahwa ada kecenderungan terjadinya stagnasi elektoral pada pasangan Prabowo-Gibran, terutama dalam dua bulan ini dan pekan-pekan terakhir," sebut Mikhael.

Jadi, menurutnya, wacana tentang pilpres satu putaran yang terus digencarkan kubu paslon Prabowo-Gibran menjadi kian sulit terwujud. Dari keseluruhan wilayah, bisa dikatakan bahwa pertarungan suara di Jawa adalah kunci terjadinya satu putaran atau tidak.

"Dan dalam bacaan saya, secara akademik, wilayah Jawa Timur, Jawa Barat juga Banten dan DKI serta Jawa Tengah sebagai episentrum elektoral di republik ini, fluktuasi dan migrasi elektoralnya sudah memasuki fase akhir," ungkapnya.

Artinya, perpindahan suara antara tiga paslon ini sudah sangat kecil. Sudah berakhir atau minimal tersisa hanya sedikit. Dengan keadaan tersebut, di mana kecenderungan pemilih memastikan dukungan mereka sudah hampir final, maka sulit terjadi migrasi ke Prabowo-Gibran dalam jumlah besar.

"Mungkin hanya tersisa sedikit floating mass atau masa mengambang dan undecided voters yang belum memastikan dukungannya. Mereka ini yang masih bisa berpindah khusunya di Jawa," kata Mikhael.

Justru di luar Jawa masih ada yang cukup bingung memastikan dukungan mereka karena hanya figur Prabowo yang sangat dikenal luas. Jika nama Anies dan Ganjar terus disosialisasikan ke seluruh wilayah Indonesia, pergeseran justru terjadi untuk dua paslon ini.

Artinya, dengan melihat Jawa dan Sunda sebagai penentu kemenangan di pilpres ini, improvisasi isu dan perubahan teknik marketing politik para kandidat tidak lagi banyak memberi pengaruh pada perubahan arah dukungan masyarakat dalam pilpres.

Lanjutnya, di luar Jawa juga sumbangan elektoralnya tidak lagi besar untuk terjadi perubahan meskipun presentasenya besar tapi jumlah suaranya kecil.

"Jadi dengan fakta bahwa duet Prabowo-Gibran meskipun cukup kuat di Jawa, menjadi stagnan secara elektoral dalam beberapa pekan terakhir, maka pilpres ini sulit untuk satu putaran," tambahnya.

Karena tidak ada lagi kanal-kanal elektoral baru yang bisa digarap pasangan nomor urut 2 untuk memastikan pilpres satu putaran. Apalagi berdasarkan data-data survei itu, pasangan nomor urut 2 membutuhkan sekitar 7 sampai 8 persen dari total 204 juta suara pemilih untuk menang satu putaran.

"Jumlah ini kan sangat banyak. Saya kira sulit untuk merengkuh jutaan suara dalam waktu yamg tersisa satu bulan lagi. Jadi pilpres ini lebih terbuka menjadi dua putaran. Saya membaca bahwa improvisasi isu dan program yang dijanjikan pasangan nomor urut 2 lalu sudah di break down oleh tim, sudah mencapai titik jenuh," terangnya.

Sambutan masyarakat tidak lagi sekuat awal saat isu-isu dan janji-janji program ini digulirkan. Sehingga butuh perubahan taktik kampanye, format isu, substansi program serta cara komunikasi.

Karena bagi sebagian besar masyarakat kelas menengah dan kaum rasional, program Prabowo-Gibran tersebut tidak cukup meyakinkan.

"Tim kampanye mereka harus membaca ini lalu berjuang agar bisa lebih efektif mengubah pandangan pemilih kelas menengah dan kaum rasional. Padahal harus diakui bahwa program susu gratis dan makan siang gratis itu awalnya sangat populer. Apalagi ditambah dengan suksesnya re-branding citra Prabowo," katanya.

Profil Prabowo sebagai tokoh besar yang maskulin dan sangat militer, sukses diubah menjadi sosok politisi tua yang gemoy dan menggemaskan. Prabowo sukses dibranding sebagai figur baru yang jauh dari watak tegas dan pemarah.

Tetapi brand atau citra Prabowo ini ternyata dalam perjalanan waktu, mendapat kontra wacana yang cukup kuat dari pihak lawan terutama dari Anies Baswedan. Anies yang terus tampil menguji citra gemoy Prabowo akhirnya sukses mendelegitimasi citra tersebut dalam debat terakhir.

"Itu harus diakui sukses membuat citra gemoy Prabowo diragukan. Karena pascadebat, tanggapan Prabowo sangat kasar dengan mengungkapkan beberapa kalimat yang kemudian menjadi polemik. Belum lagi belakangan ini ada gerakan masif dari ribuan mahasiswa di Jawa hingga Sumatera dan Sulawesi untuk menolak politik dinasti," tambahnya.

Mikhael menyebut, ini titik balik yang awalnya kurang diantisipasi oleh tim paslon nomor urut 2. Keterlibatan Jokowi pun mulai di rem oleh manuver para tokoh yang menyuarakan pemakzulan Jokowi. Ini menjadi tantangan tersendiri bagi kerja-kerja politik Jokowi dalam mendukung paslon nomor urut 2.

Jadi kerja keras menambah 7 persen suara atau lebih itu menjadi kian berat bagi duet Prabowo-Gibran. Sehingga pilpres satu putaran yang sudah di depan mata bisa buyar karena situasi terbaru ini.

Peluang bergabungnya pasangan Ganjar-Mahfud dan Anies-Muhaimin di putaran kedua sangat terbuka. Dengan sudah adanya komunikasi antara Jusuf Kalla dan Hasto dari PDIP, Mikhael mengira peluang itu sangat terbuka.

"Apalagi Anies dan Ganjar sangat akrab belakangan ini. Dan kuncinya adalah pada ideologi dan kepentingan. Dari aspek ideologi, Anies mengusung perubahan, sedangkan Ganjar mengusung melanjutkan dengan perbaikan. Keduanya lebih dekat secara ideologi perjuangan. Beda dengan Prabowo yang mengusung ide melanjutkan kerja rezim saat ini apalagi ada figur Gibran di situ," tambahnya.

Sehingga, akan sulit bagi Prabowo dan Anies berkoalisi di putaran kedua nanti. Para elit nomor urut 1 dan nomor urut 3 akan mudah bertemu dan bersatu melawan nomor urut 2 di putaran kedua nanti. Meskipun akar rumput belum tentu searah dengan mereka. Kuncinya adalah pada isu dan format kampanye nanti. Jika Ganjar dan Mahfud misalnya yang lolos, maka mereka butuh isu yang pas untuk menggaet akar rumput PKS dan para eks FPI juga kelompok Islam kanan yang saat ini lebih banyak mendukung paslon nomor urut 1. Komunikasi, strategi kampanye, cara pendekatan akan menjadi kunci.

"Sehingga putaran kedua akan sangat sengit karena Prabowo juga tentu punya cara merangkul kelompok Islam ini apalagi PKS yang pernah dekat dengan dia," tuturnya.

Sementara, pengamat politik dari Unwira Kupang, Urbanus Ola Hurek menyampaikan, berdasarkan rilis, hampir semua lembaga survei menunjukan bahwa pasangan Prabowo-Gibran jauh mengungguli pasangan Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud.

Namun, keunggulan melalui survei tersebut belum menyentuh angka 50 persen. Tren hasil survei elektabilitas seperti ini apabila terus terjadi, maka diprediksi pilpres 2024 mendatang bakal berlangsung dua putaran.

Sebab, peningkatan elektabilitas bukan hanya terjadi pada pasangan Prabowo-Gibran. Tetapi, peningkatan elektabilitas pasangan Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud pun cenderung naik.

"Diduga kuat bahwa arena perebutan pemilih tetap di pulau Jawa. Jawa Barat sebagai provinsi yang paling besar pemilihnya, menyusul Jatim dan Jateng," tutur Urbanus, Senin (15/1).

Ketika pasangan pilpres tertentu menggelar kampanye pada tiga provinsi tersebut, akan terjadi perubahan elektabilitas masing-masing pasangan. Lanjutnya, bila pilpres berlangsung dalam dua putaran, maka koalisi Ganjar-Mahfud dengan Anies-Muhaimin sangat mungkin terjadi.

Menurut Urbanus, PDIP sebagai partai pengusung pun merasa ditelikung oleh kader yang dibesarkan PDIP sendiri.

"Melihat perjalanan proses pencalonan ini, maka peluang koalisi pasangan Anies-Ganjar sangat mungkin terjadi," tegasnya.

Basis konstituen yang akan diperebutkan pada pilpres putaran kedua tetap pulau Jawa. Pulau Jawa tak disangsikan lagi sebagai basis pemilih terbesar.

Urbanus menyebut, pulau Jawa dengan enam provinsi dan total pemilih kurang lebih 117 juta pemilih dengan Jabar, Jatim, Jateng, Banten, DKI dan DIY.

Basis pemilih di luar Jawa tetap diperhitungkan untuk memenuhi syarat yang tertuang dalam regulasi pemilu bahwa pasangan yang meraih suara 50 persen + 1 dan tersebar lebih dari 20 persen provinsi atau dengan kata lain pemilihnya tersebar lebih dari 50 persen provinsi.

"Beberapa daerah di luar Jawa yang juga patut dilirik, yakni Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, Lampung, Sumatera Selatan, Riau, Sumatera Barat dan NTT, yang memiliki jumlah pemilih di atas 4 juta pemilih," katanya.

Lebih lanjut, meskipun koalisi itu akan terbentuk, namun belum dapat dipastikan apakah Ganjar atau Anies yang akan maju pada putaran kedua, sebab mengacu pada survei, angka elektabilitas keduanya beda tipis.

"Jika Anies-Muhaimin yang maju pada putaran kedua atau Ganjar-Mahfud pun tentu ada pemilih mereka yang merasa kecewa. Namun, diprediksi bahwa hanya sebagian kecil yang kecewa," katanya.

Disamping itu, pengamat politik dari Unmuh Kupang, Ahmad Atang menyebut, penjajakan koalisi Anies-Ganjar jika dua putaran, maka asumsinya apabila yang masuk putaran kedua akan melawan Prabowo-Gibran.

Dengan demikian, maka dalam analisis internal dan juga berdasarkan hasil survei, Prabowo-Gibran akan masuk putaran kedua dan salah satu diantara mereka pasti tersingkir diputaran pertama.

Wacana koalisi Anies-Ganjar itu pun wajar untuk mengantisipasi dinamika menuju putaran kedua. Namun, jika asumsi di atas ternyata meleset, bahwa bukan Prabowo-Gibran yang masuk putaran kedua, tetapi justru Ganjar dan Anies, maka posisi mereka bukan lagi koalisi akan tetapi menjadi rivalitas politik.

Jadi, kesepakatan awal ini hanya dilihat sebagai model komunikasi politik biasa karena sesungguhnya secara politik mereka adalah lawan abadi untuk saat ini.

"Desain koalisi tersebut ikut berpengaruh terhadap pilihan basis massa di bawahnya. Putaran kedua menyisakan massa yang akan menentukan arah politik dan sangat tergantung pada arahan, sehingga siapa yang kalah akan mengarahkan untuk memberi dukungan kepada siapa yang dikehendaki," ujar Ahmad.

Ahmad menyebut, jika Prabowo kalah, maka Anies dan Ganjar pasti membutuhkan dukungan massanya Prabowo juga. Karena itu, boleh saja membangun koalisi, namun tidak harus saling mencederai karena dalam politik tidak ada musuh dan teman yang abadi.

"Setidaknya pada putaran kedua mereka akan saling klaim dukungan dan mengeksploitasi massa untuk kepentingan elektoral," pungkas Ahmad. (cr1/ays)

  • Bagikan