KUPANG, TIMEX.FAJAR.CO.ID - Debat kedua cawapres berlangsung penuh manuver atraksi panggung. Gibran Rakabuming Raka terlihat menyerang Mahfud MD dan Muhaimin Iskandar dengan atraksi, gimik dan verbal.
Pengamat politik dari Unwira Kupang, Mikhael Rajamuda Bataona kepada Timor Express, Senin (22/1) menjelaskan, jika dibaca, harus jujur diakui bahwa debat tersebut awalnya berjalan sangat bagus. Tetapi, dipertengahan debat terjadi semacam anti klimaks.
Di mana, Gibran menggunakan manuver atraksi panggung yang terbaca ingin merendahkan Mahfud MD. Tindakan semacam itu, jelas merugikan Gibran sendiri. Mikhael menyebut, banyak ton negatif yang diberikan penonton kepada Gibran.
Karena bagaimana pun juga, menyerang gagasan, ide dan isi pemikiran lawan debat atau ad argumentum itu diperbolehkan dan diharuskan dalam sebuah debat.
"Apalagi debat tingkat tinggi yang levelnya paling tinggi di republik ini, yaitu debat untuk mengukur kemampuan para calon pemimpin negara. Tetapi, yang dilakukan Gibran semalam, adalah menyerang pribadi," ucap dosen Komunikasi Politik itu.
Inilah yang sangat disayangkan banyak pihak. Akhirnya, debat yang awalnya berjalan bagus, menjadi anti klimaks. Selain menyerang Mahfud, Gibran juga banyak kali menyerang Muhaimin. Di mana, ada nuansa merendahkan Mahfud MD dan Muhaimin.
"Ketika ia menuduh berkali-kali bahwa Muhaimin mencontek jawaban dari teks yang disiapkan Tom Lembong, Gibran sedang mencoba membuyarkan konsentrasi Muhaimin. Tetapi sebagai seorang politisi kaya jam terbang, jawaban Muhaimin soal etika dan soal MK, menjadi serangan balik yang justru merugikan Gibran," sebut Mikhael.
Hal itu pun disaksikan secara telanjang oleh publik sehingga menurutnya, Gibran dan timnya gagal memaksimalkan debat tersebut untuk menaikan elektabilitas Prabowo-Gibran yang mulai stagnan dan mandek.
Jika saja Gibran tampil elegan, sportif dan bernas, pasti bisa mempengaruhi para undecided voters dan floating mass atau masa mengambang yang belum memutuskan pilihannya.
"Jadi inilah kesalahan strategi tim Prabowo-Gibran yang sangat disayangkan. Sebab, kecerdikan Gibran menyerang Mahfud dan Muhaimin lewat atraksi-atraksi dan gimik juga pernyataan verbalnya, hanya berkontribusi positif pada makin menebalnya pilihan para pendukung Prabowo-Gibran," terangnya.
Pendukung pasangan 2 pun makin fanatik dan bersukacita dengan penampilan Gibran semalam. Itu saja yang positif dari penampilan Gibran. Tapi, sama sekali tidak mampu menarik pemilih baru dari ceruk pemilih mengambang yang masih cukup besar.
Padahal, jika itu yang dilakukan, maka menurut Mikhael, dirinya yakin Gibran akan mendapat sentimen positif dan sekaligus mendapat insentif elektoral. Jadi, debat itu menjadi luar biasa hanya bagi pendukung Prabowo-Gibran, tidak bagi pemilih rasional dan masa mengambang yang belum memutuskan pilihannya.
Karena dalam budaya intelektual juga di semua bidang kehidupan di negeri ini, menyerang pribadi atau ad hominem itu sangat tidak disukai publik. Publik Indonesia lebih suka menyaksikan debat, juga perilaku elit yang penuh rasa hormat dan saling menghargai.
Publik ingin menyaksikan melalui debat itu, seperti apa representasi kualitas para calon pemimpin mereka. Artinya, Gibran punya kesempatan emas melakukannya dalam debat kedua itu. Sebab, masyarakat Indonesia itu sedikit sensitif dengan situasi semacam ini.
Apalagi, masyarakat kelas menengah cenderung moderat disamping rasional. Mereka cenderung menolak cara-cara agresif, tidak etis dan merendahkan orang lain. Dan mereka ini pemilih yang saat ini masih bisa berpindah dukungan jika hasil debat tersebut bisa meyakinkan mereka.
"Karena itu, poinnya adalah debat semalam menjadi kurang elok karena nuansa debatnya dibawa ke level atraksi dan gimik. Bukan pada substansi, yaitu pada pertarungan ide, gagasan, visi dan misi serta policy atau kebijakan dari masing-masing calon," tegasnya.
Menurut Mikhael, rakyat yang telah mempunyai pilihan, akan memuji calon mereka masing-masing dan itu wajar dan rasional. Tetapi, bagi masyarakat rasional yang belum yakin dengan pilihannya dan masuk dalam kelompok floating mass, akhirnya tidak mampu diyakinkan oleh Gibran untuk menderek elektoral mereka.
Karena, sekali lagi, rakyat Indonesia lebih menginginkan debatnya bisa berjalan rasional dan enak ditonton. Dalam hal ada pertarungan ide dan gagasan, juga konsep-konsep kunci pembangunan negara, publik tentu dibantu untuk semakin yakin dengan pilihannya.
"Dari bacaan saya, dalam banyak sesi, ketika terjadi perbedaan gagasan, sebenarnya masing-masing calon sudah bisa menghadapi itu secara sportif dan gentleman. Tetapi dalam bagian lainnya, ada nuansa kurang beretika di mana tidak lagi saling serang ide dan gagasan dalam debat, tapi justru menyerang pribadi," tegasnya.
Contohnya sangat banyak dalam beberapa bagian debat semalam. Misalnya, ketika Gibran mulai menyerang Muhaimin bahwa Muhaimin itu lucu karena bicara tentang lingkungan tetapi membawa botol plastik air kemasan, situasinya mulai berubah karena Muhaimin mencari di mana botol air kemasan itu.
Juga, serangan Gibran kepada Muhaimin dengan tuduhan ia mencontek jawaban yang disiapkan Tom Lembong. Bahkan, situasinya semakin vulgar dan terkesan tidak etis ketika Gibran melakukan aksi panggung atau atraksi melongok kiri kanan ketika merespon jawaban dari Mahfud.
Kata Gibran, dia sedang mencari jawaban Mahfud MD. Inilah bagian kunci dalam debat semalam yang oleh publik dilihat kurang etis. Dibaca sebagai titik balik dari debat semalam atau anti klimaksnya.
Padahal awalnya, harus jujur diakui bahwa Gibran, Muhaimin dan Mahfud sudah menampilkan sebuah debat yang sangat menarik dan bermutu karena ada pertarungan dan saling uji tentang orisinalitas ide dan gagasan membangun negara.
Sementara itu, pengamat politik dari Undana, Yohanes Jimmy Nami mengatakan, debat kedua cawapres lebih menarik. Secara konten dan konteks lebih menunjukkan pengetahuan serta gagasan dari masing-masing cawapres, walaupun sesekali diselingi saling sindir antarcawapres.
"Gimik menjadi bagian dari strategi debat untuk memancing emosi lawan. Senjata ini digunakan masing-masing cawapres untuk melakukan manuver-manuver menyudutkan lawan debat," sebut Jimmy.
Dikatakan, debat tersebut memang menyisakan romantika tersendiri jika membandingkan pengalaman politik, usia, latar belakang sosial dari masing-masing pasangan dan realita, kemudian membentuk situasi psikologi tersendiri dalam ruang wacana debat yang terkadang tidak berimbang dan membentuk perspektif yang berbeda dalam cara pikir publik ketika ada lentingan gagasan baru yang berusaha untuk menyeimbangkan ruang wacana debat. (cr1/ays)