Presiden Berpihak, ASN Juga Bisa Ikut
KUPANG, TIMEX FAJAR.CO.ID- Baru-baru ini Presiden Joko Widodo menyebutkan, presiden memiliki hak untuk berpihak dan berpartisipasi dalam kampanye politik. Jokowi menilai, hal itu merupakan hak demokrasi setiap orang, begitu pun menteri.
Menanggapi hal tersebut, pengamat politik dari Unmuh Kupang, Ahmad Atang kepada Timor Express, Rabu (24/1) menyebut, presiden merupakan jabatan politik, namun sebagai kepala negara, presiden harus berada di atas semua kekuatan politik.
"Karena itu, jika presiden ikut kampanye dan mendukung salah satu paslon, maka telah mencederai asas netralitas," jelas Ahmad.
Ia menegaskan, presiden harusnya bersikap adil terhadap semua kekuatan politik agar tidak berpotensi menciptakan keberpihakan. Karena, hal itu akan sangat berbahaya terhadap polarisasi politik di masyarakat. Menurutnya, apabila seorang presiden tidak netral, maka berpeluang besar diikuti oleh bawahannya, bahkan hingga ke desa-desa.
"Pilihan politik Jokowi tidak harus dipertontonkan secara vulgar, karena sikap itu akan diikuti oleh bawahannya karena presiden saja tidak netral apalagi bawahannya," katanya.
Di dalam diri Jokowi terdapat jabatan politik dan juga mengendalikan birokrasi, sehingga sikap Jokowi akan membuat kegaduhan dalam pemerintahan. Di satu sisi, para menteri menekankan netralitas, akan tetapi pada saat yang sama asas ini dilanggar oleh pembuat kebijakan.
"Sebaiknya Jokowi membatalkan niatnya untuk melakukan kampanye mendukung salah satu paslon agar tidak membuat resistensi publik. Jokowi mau mengakhiri jabatan sebaiknya mewariskan model politik yang baik bagi generasi mendatang," tutur Ahmad.
Sementara, pengamat politik dari Unwira Kupang, Urbanus Ola Hurek yang mengatakan, dalam regulasi memang dibolehkan presiden, menteri dan kepala daerah boleh berkampanye. Namun, untuk masuk dalam dewan pengarah/tim ahli maupun juru kampanye, wajib didahului dengan mengajukan cuti. Ketika cuti, maka tidak dibolehkan menggunakan fasilitas negara dalam berkampanye.
"Namun pernyataan presiden tersebut terkesan standar ganda dan mempertegas posisi keberpihakan. Pada kesempatan tertentu, Mei 2023, Presiden Jokowi menyatakan bahwa akan netral untuk mengayomi semua. Namun dengan pernyataan ini mempertegas dugaan posisi keberpihakan presiden mendukung putranya yang ikut kontestasi pilpres," ucap Urbanus.
Menurutnya, pernyataan netral berulang kali diutarakan Jokowi, namun anak kandungnya, Gibran Rakabuming Raka ikut dalam kontestasi pilpres tersebut. Hal itu pun menjadi sulit berada pada posisi yang sungguh-sungguh netral.
"Pernyataan Presiden Jokowi tersebut ditilik dari regulasi memiliki pendasaran, namun sulit dielak bahwa Presiden Jokowi condong berpihak pada pasangan capres-cawapres nomor urut 2. Bahkan selama ini agenda kunjungan kenegaraan ke beberapa daerah dan distribusi bansos ditengarai sebagai kampanye terselubung. Selain itu pengangkatan dan mutasi pejabat tinggi, pengangkatan penjabat kepala daerah pun sering disinyalir sebagai bagian dari titipan untuk kepentingan pasangan capres-cawapres yang erat dekat dengan Presiden Jokowi," ujarnya.
"Beliau diam tanpa terang-terangan menyebut pun sudah dinilai berpihak apalagi dengan pernyatan seperti ini. Dengan pernyataan seperti ini, maka semakin mempertegas dugaan keberpihakan," tambahnya.
Sedangkan, pengamat politik dari Undana, Yohanes Jimmy Nami mengatakan, memang secara formal tidak ada aturan yang melarang pejabat publik berlatar belakang politisi untuk ikut berkampanye atau mendukung parpol maupun pasangan capres-cawapres.
"Debatnya pada luasan cakupan definisi kepublikan, kalau level kepala daerah maupun menteri yang ruang lingkupnya masih terbatas pada segmentasi tugas tertentu atau wilayah tertentu, ada ruang yang kemudian membatasi aktivitas dan daya pengaruh secara politik," jelas Jimmy, Rabu (24/1).
Menurutnya, presiden adalah simbol negara, tidak ada waktu cuti dan segala sesuatu melekat padanya. Secara politik, posisi presiden mempunyai pengaruh sangat kuat terhadap opini publik.
"Terlepas dari persoalan grouping parpol maupun adanya pasangan capres-cawapres yang punya relasi intim dengan presiden. Masyarakat tentu tetap mengharapkan pemilu 2024 akan berjalan adil, baik dari sisi pelaksanaan maupun netralitas aparatur negara, baik itu birokrasi maupun pejabat publik yang berasal dari parpol," tegas Jimmy.
Meskipun begitu, Jimmy menyebut, apa yang disampaikan Jokowi terkait keterlibatan pejabat publik dalam kampanye pada pemilu 2024 masih normatif, artinya apakah secara terbuka presiden akan terlibat, hal itu belum tentu.
"Namun demikian, publik perlu terus mengawal isu ini agar unsur netralitas berjalan pada tracknya dan Presiden Jokowi tetap dapat menunjukkan sikap keteladanan sebagai simbol negara dan negarawan," tutupnya. (cr1/ays)