Natalie: Putusan DKPP Tak Berimplikasi Secara Hukum terhadap Keabsahan Status Gibran
Haidar Alwi Menduga Ada yang Memobilisasi Suara Akademisi
JAKARTA, TIMEX.FAJAR.CO.ID - Sanksi Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) terhadap komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) terus disorot. Demikian pula dugaan intimidasi terhadap para tokoh agama dan tokoh kampus yang menyuarakan kritik terhadap kondisi demokrasi belakangan ini.
Calon wakil presiden (cawapres) nomor urut 3, Mohammad Mahfud MD menyatakan bahwa pemerintah harus bertindak.
Menurut Mahfud, dugaan intimidasi tidak boleh didiamkan. Apalagi dia mendapat informasi dari beberapa rektor di perguruan tinggi terkait dengan upaya mobilisasi aksi tandingan atas kritik yang sudah disampaikan. ”Menurut saya itu kurang sehat. Membuat tandingan-tandingan itu memecah belah masyarakat, memecah belah kampus juga,” ungkap dia.
Menurut Mahfud, kebebasan mimbar akademik harus dihormati.
Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) itu pun menyinggung soal kebebasan mimbar akademik di zaman kepemimpinan Presiden Soeharto. ”Seotoriternya zaman Soeharto pun kebebasan mimbar akademik itu masih relatif cukup didengarkan dan masih berwibawa,” ucap Mahfud.
Karena itu, dia menilai bahwa pemerintah harus mengambil langkah untuk memastikan tidak ada intimidasi atas kritik yang disampaikan.
Terkait sanksi DKPP terhadap komisioner KPU, Mahfud menyebutkan bahwa putusan itu memang tidak berpengaruh terhadap status Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres. ”Karena keputusan MK (Mahkamah Konstitusi, red) itu berlaku sejak ditetapkan,” imbuhnya.
Namun demikian, pelanggaran etik yang dilakukan oleh komisioner KPU menunjukkan bahwa mereka telah berbuat salah. Terlebih ketua KPU disanksi peringatan keras.
Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar-Mahfud pun masih menyoroti pencawapresan Gibran, apalagi setelah adanya putusan DKPP yang memberikan sanksi peringatan keras terakhir kepada ketua KPU dan semua anggotanya. Deputi Hukum TPN Ganjar-Mahfud, Todung Mulya Lubis mengatakan, dari sisi hukum tata negara, pencalonan Gibran masih sah, karena adanya putusan MK yang bersifat final dan mengikat. "Putusan MK itu masih berlaku," terang Todung, kemarin.
Namun, dari sisi hukum tata usaha, lanjut Todung, saat ini beberapa komunitas pengacara sedang mendiskusikan kemungkinan mengajukan gugatan pencawapresan Gibran ke Pengadilan Negeri Tata Usaha (PTUN). "Berdasarkan pertimbangan dua putusan pelanggaran etika," terangnya.
Dua pelanggaran itu adalah pelanggaran etika yang dilakukan Ketua MK Anwar Usman berdasarkan putusan Mahkamah Kehormatan MK (MKMK) dan pelanggaran etika yang dilakukan Ketua KPU serta para anggotanya yang diputus DKPP terkait pencalonan Gibran.
Todung mengatakan, dua pelanggaran etika itu bisa menjadi basis hukum untuk melakukan gugatan tata usaha negara kepada PTUN. "Saya tahu bahwa ada beberapa pihak yang sudah bersiap-siap untuk melakukan gugatan dan meminta pembatalan pencawapresan Gibran," bebernya.
TPN Ganjar-Mahfud, lanjut Todung, masih membahas kemungkinan pengajuan gugatan pencawapresan Gibran ke PTUN. Namun, dia belum bisa memastikan kapan akan mengajukan gugatan.
"Saya hanya bisa mengatakan bahwa mami mencadangkan hak kami untuk melakukan itu. Artinya mungkin kami akan melakukan itu, tapi juga mungkin kami melakukan yang lain, karena bisa saja kami meminta atau menulis surat ke ketua KPU," tandas Todung.
Harus Ada Bukti
Sementara itu, Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional Prabowo-Gibran Habiburokhman mengatakan, pernyataan Mahfud soal adanya intimidasi ke kampus itu haknya. "Kalau yang saya dengar beda," ujarnya di Media Center TKN, kemarin.
Sebaliknya, TKN justru mendengar adanya upaya untuk menggerakkan dosen partisan menyamar mengatasnamakan akademika. Salah satu narasinya adalah mendowngrade kepemimpinan Jokowi sekaligus paslon Prabowo-Gibran. "Jadi kalau hanya berbasis pendengaran kan bisa berbeda yang didengar pak Mahfud, apa yang dengar Habiburokhman," imbuhnya.
Oleh karenanya, jika yang disampaikan Mahfud hanya sebatas perkataan, dia tidak mempercayainya. "Kalau pak Mahfud tidak menyampaikan bukti hanya omon-omon ya menurut saya itu pernyataan yang tidak berkualitas," kata politisi Gerindra itu.
Terpisah, Badan Pengawas Pemilu mengklaim telah mengingatkan KPU dalam kasus penanganan pencalonan Gibran yang berujung sanksi DKPP. Ketua Bawaslu RI Rahmat Bagja mengatakan, pascaputusan MK pihaknya telah menyampaikan prosedur hukumnya untuk revisi PKPU. "Saya sudah sampaikan secara lisan bahkan secara tulisan juga," ujarnya, kemarin.
Terkait respon KPU yang lama dalam memproses perubahan tersebut, Bagja menilai itu sudah diluar kendalinya. Oleh karenanya, dia menghormati putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang memvonis pelanggaran etik. Ke depan, Bagja berharap agar kasus ini menjadi bahan evaluasi. Sehingga tidak lagi terulang kasus-kasus terkait ketidakprofesionalan penyelenggara. "Kita menjaga etika dan profesionalisme penyelenggaraan pemilu," imbuhnya.
Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran, Grace Natalie mengakui isu putusan DKPP akan dikapitalisasi oleh lawan politik untuk menyerang Gibran. Namun pihaknya mengaku tidak khawatir, karena publik sudah teredukasi. "Insya Allah engga (sentimen negatif). Para pemilih sudah lebih cerdas lebih teredukasi dengan isu ini," ujarnya di Media Center TKN.
Apalagi, Ketua DKPP Heddy Lugito sudah memberikan pernyataan bahwa kasus itu tidak berimplikasi secara hukum terhadap keabsahan status Gibran. Melainkan lebih terkait pada profesionalisme penyelenggara. "Yang pasti dari segi hukum tidak ada yang dilanggar," terangnya.
Terpisah, di tengah kunjungan kerja di Abu Dhabi, Wakil Presiden Ma'ruf Amin mengomentari fenomena sejumlah sivitas akademika dari beberapa kampus di tanah air menyerukan penyelamatan demokrasi. Suara atau kritikan itu muncul, diduga ada pelanggaran etika dalam kontestasi pemilu.
Ma’ruf Amin menilai bahwa pernyataan-pernyataan dari berbagai universitas tersebut merupakan bagian dari dinamika politik. Aspirasi atau kritikan itu harus diperhatikan oleh pemerintah. Dia mengatakan dinamika politik apa pun, pemerintah harus perhatikan.
"Artinya meng-assurance dan mengambil langkah-langkah berikutnya seperti apa," katanya.
Lebih jauh, Ma'ruf berharap, kritikan itu bagian dari dinamika positif yang tidak akan membawa keresahan pada bangsa Indonesia. Dia berharap, mudah-mudahan kritikan saja hanya sampai di pernyataan sehingga bisa diatasi. Sehingga tidak menimbulkan hal-hal yang lebih jauh.
Ada yang Memobilisasi
Sementara itu founder Haidar Alwi Institute (HAI), R Haidar Alwi menyampaikan pendapat berbeda soal munculnya aspirasi dari civitas kampus itu. Dia menduga ada pihak yang memanfaatkan momentum, sekaligus memobilisasi suara para akademisi itu. "Karena bisa serentak muncul di dua pekan menjelang pemilu ini," katanya.
Dia khawatir ada motif menggoyang posisi Presiden Joko Widodo dengan isu-isu demokrasi, dinasti dan netralitas. "Gerakan tersebut sengaja memanfaatkan tensi politik jelang pemilu yang memang sudah tinggi. Sehingga dapat memicu chaos yang lebih besar," kata Haidar, Selasa (6/2).
Haidar mengatakan situasi saat ini sangat mengherankan dan patut dipertanyakan. Karena dalam waktu dua minggu sebelum pemilu, puluhan kampus kompak menyuarakan aspirasinya. Menurutnya, jika tidak ada aktor yang memobilisasi, rasanya sulit menggerakkan akademisi dari banyak kampus seperti itu. "Kecuali hanya untuk ikut-ikutan," katanya.
Haidar mengatakan kalau memang kritik murni, kenapa baru disampaikan sekarang.
Sementara itu, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Sylvana Maria mengungkapkan, perspektif hak anak masih sangat minim dalam praktik elektoral di Indonesia. Buktinya, dalam pemilu dan pilkada kali ini kasus pelanggaran hak anak masih cukup besar.
”Kami sudah melakukan pengawasan perlindungan hak anak dalam politik sejak 10 tahun terakhir, artinya lima kali pemilu dan pilkada, ternyata pelanggarannya masih terjadi,” ujarnya dalam Media Talk Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) di Jakarta, Selasa (6/2).
Bentuk pelanggarannya pun banyak yang berulang, namun tak jarang yang baru. Hingga kemarin, pihaknya mencatat ada sekitar 53 kasus pelanggaran hak anak pada masa penyelenggaraan pemilu. Adapun, enam diantaranya merupakan laporan masyarakat dan sisanya hasil pengamatan di lapangan baik itu secara langsung maupun melalui media sosial.
”Misalnya, menjadikan anak sebagai jurkam atau penganjur untuk memilih calon tertentu melalui rekaman video yang kemudian disebar di medsos,” paparnya.
Kemudian, kasus anak yang dijadikan operator politik uang oleh caleg di Palembang, tokoh politik yang melibatkan anak untuk memilih caleg tertentu, hingga penggunaan tempat pendidikan termasuk pondok pesantren menjadi lokasi kampanye oleh petinggi politik maupun timsesnya. ”Padahal ini sudah dilarang,” sambungnya.
Atas pelanggaran-pelanggaran tersebut, ia mengaku sudah berkoordinasi dengan KPU, Bawaslu dan KemenPPPA untuk kemudian bisa ditindaklanjuti. Diakuinya, sejauh ini, sanksi kebanyakan hanya seputar administratif saja. ”Tapi kabar gembira juga, ada yang sampai penegakan hukum. Ini agar menjadi pembelajaran untuk calon atau paslon lain untuk gak main-main dengan hak anak,” tegasnya.
Sebetulnya, pihaknya sudah memitigasi kasus-kasus ini sejak awal tahun lalu. KPAI telah rapat dan melakukan koordinasi menerus dengan pihak-pihak terkait agar pelanggaran terkait hak anak tidak terjadi dalam proses penyelenggaraan pemilu. Sayangnya, kondisi ini masih terulang kembali.
Dalam kesempatan yang sama, Asisten Deputi Perlindungan Khusus Anak dari Kekerasan KemenPPPA Ciput Eka Purwanti mengungkapkan, orang tua harusnya peka terhadap hak anak. Dia menekankan bahwa anak selayaknya orang dewasa yang memiliki hak penuh. Sehingga tak boleh disepelekan. Termasuk, soal hal-hal yang berkaitan dengan pengikutsertaan anak dalam kampanye-kampanye pemilu dan pilkada.
”Apa gak deg-degan anak-anak itu? Biasa di rumah tiba-tiba ada di stadion yang rame banget. Anak kan beda-beda, tidak semua nyaman dengan kondisi tersebut,” jelasnya.
Dia pun turut mengusulkan adanya teguran atau sanksi untuk para orang tua yang masih melibatkan anak dalam kampanye-kampanye pemilu dan pilkada tersebut. Dengan begitu, orang tua bisa lebih memperhatikan hak-hak anak.
”Selama ini hanya parpol dan paslon yang ditegur Bawaslu, harusnya orang tua harus mendapat teguran serupa,” ungkapnya. (far/lum/mia/syn/wan/jpg/ays)