KUPANG, TIMEX.FAJAR.CO.ID - Pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres) sudah digelar, Rabu (14/2) lalu. Berbagai lembaga survei pun terus merilis hasil quick count pilpres 2024. Hingga Kamis (15/2) pukul 19.08, data terbaru masih menunjukkan hasil perhitungan suara dengan 44,14 persen data tempat pemungutan suara (TPS) yang telah tertampung.
Pasangan Prabowo-Gibran masih unggul dengan 51,56 persen, Anies-Cak Imin berada di posisi kedua dengan 32,02 persen, unggul tipis dibanding Ganjar Pranowo di posisi ketiga sebesar 16,42 persen.
Meskipun Ganjar diurutan terbawah, namun berdasarkan hasil quick count pukul 10.18, Kamis (15/2), raihan suara caleg DPR RI dari PDI Perjuangan masih unggul dengan perolehan 17,36 persen. Data tersebut berdasarkan suara masuk sebesar 71,73 persen.
Adapun Partai Golkar mengekor pada urutan kedua dengan raihan suara 15,49 persen dan Gerindra di urutan ketiga dengan raihan suara 13,15 persen. Tren pemilihan yang menunjukkan posisi Ganjar terbawah, namun PDIP yang tetap tertinggi ditampik oleh beberapa pengamat.
Pengamat politik dari Unwira Kupang, Mikhael Rajamuda Bataona kepada Timor Express, Kamis (15/2) mengatakan, Ganjar merupakan figur dan PDIP adalah institusi politik. Sebagai partai yang sangat solid dan terinstitusionalisasi dengan sangat baik, dengan figur-figur di hampir semua daerah pemilihan yang punya nama besar, kapabel dan teruji dalam pertarungan elektoral, wajar jika suara pileg untuk PDIP tetap teratas dan bisa dipastikan menang hattrick di pileg.
"Artinya, dalam bacaan saya, suara figur bisa tergerus oleh sangat banyak variabel elektoral, sedangkan suara partai seperti PDIP yang sudah sangat institusionalisasi itu sangat sulit tergerus. Kecuali oleh anomali politik yang luar biasa," tegas Mikhael.
Fenomena suara Ganjar yang tidak berbanding lurus dengan suara partai juga menurutnya merupakan fenomena biasa. Bukan anomali yang luar biasa. Karena hanya split yang tipis sekali. Tidak banyak.
"Mungkin hanya dua tiga persen suara partai yang tidak berbanding lurus dengan suara Ganjar berdasarkan data hitung cepat. Jika suara PDIP plus minus di angka 18 persen dan Ganjar di angka plus minus 16 persen, maka masih seimbang. Artinya, suara Ganjar dan suara PDIP secara institusi dan organisatoris masih sejalan. Dan itulah suara-suara ideologis partai ini, bukan limpahan elektoral dari luar," katanya.
Suara yang sama yang disebut ideologis inilah yang memilih Ganjar juga PDIP. Meskipun ada sekitar 2 persen yang tidak memilih Ganjar dan hanya memilih figur-figur calon DPR RI PDIP.
Justru yang menjadi pertanyaan ilmiahnya adalah mengapa berdasarkan hitung cepat banyak lembaga survei itu suara Ganjar drop dibandingkan dengan suara Prabowo? Menurut Mikhael, pilpres ini dimenangkan oleh Prabowo karena suara pemilih Prabowo di pilpres 2014 dan 2019 itu hampir 80 persennya setia.
Hanya sekitar 20 persen pemilih Prabowo yang minggat ke Anies. Saat 2014 itu suara Prabowo Subianto-Hatta Rajasa adalah 62.576.444 suara (46,85 persen).
Sedangkan pada pilpres 2019 itu suara Prabowo-Sandiaga Uno itu 68.650.239 suara atau 44,50 persen dari total suara 154 juta pemilih. Dari data tersebut, bisa terlihat bahwa sebelum bertanding, Prabowo memang sudah punya muatan dasar yang cukup.
"Militansi mereka teruji. Mereka tidak ke mana-mana. Mereka setia dengan Prabowo. Nah, jika sekitar 20 persennya minggat, maka masih ada 80 persen dari pemilih setia itu yang bertahan. Ketika Prabowo bisa menang hingga 58 persen atau kurang dari itu, maka sisa suara yang menambah kekuatan Prabowo itu datang dari pemilih baru," jelasnya.
Lanjutnya, mereka yang menjadi pemilih baru ini mayoritasnya adalah pemilih hasil operasi politik Jokowi sejak bulan Oktober hingga Februari sebelum pilpres. Karena, Gibran sebagai anak biologis sekaligus tokoh simbolis representasi Jokowi menjadi kunci tambahan elektoral untuk Prabowo.
Artinya, operasi politik Jokowi dan jejaringnya termasuk partai-partai pendukung itu sukses. Mereka mengepung PDIP yang bisa dikatakan maju sendiri karena koalisi Ganjar itu sangat kecil.
Meskipun demikian, jika ada sarkasme bahwa pilpres dimenangkan oleh Gibran karena faktor Gibran yang adalah anak Jokowi yang menjadi kunci kemenangan Prabowo, Mikhael menilai tidak elok dan kurang rasional juga.
Sebab, suara dasar Prabowo sebelum adanya Gibran dan cawe-cawe Jokowi juga sudah cukup kuat. Prabowo ditopang oleh pemilih setia yang jumlahnya bisa menembus 60 juta pemilih dari jumlah partisipasi pemilih pilpres.
"Bahkan yang menarik menurut saya adalah bukan faktor citra dan popularitas Jokowi saja yang determinan dalam kemenangan Prabowo, tapi juga faktor bansos dan kekuatan modal serta operasi-operasi lapangan lainnya yang menjadi penambah suara bagi Prabowo-Gibran," katanya.
Itu sudah menjadi penentu yang mengubah permainan. Bahkan dua hari sebelum hari pencoblosan, Jokowi dengan cerdik menaikan tunjangan untuk Bawaslu. Selain itu, bansos yang digencarkan menjelang pemilu adalah kekuatan lainnya yang sulit dilawan Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud.
"Itu strategi elektoral Jokowi yang saya kira sukses meskipun mendapat protes yang sangat luas di kalangan pemilih rasional dan para aktivis pro demokrasi. Sehingga pemilu ini dimenangkan Prabowo, salah satunya karena citra Jokowi yang anaknya digandeng Prabowo, juga karena kekuatan ekonomi politik yang nyata dari Jokowi dalam mendukung Prabowo-Gibran," pungkasnya.
Sementara itu, pengamat politik dari Undana, Yohanes Jimmy Nami menilai, hasil quick count memang cukup mengejutkan. Suara Ganjar terpaut begitu jauh dengan paslon lainnya 1 dan 2, paling tidak jika di review dari hasil quick count lembaga survei.
Dinamika yang terbangun selama proses menuju pilpres 2024 memang turut serta mempengaruhi perolehan suara Ganjar. Hijrahnya Jokowi sebagai bagian dari PDIP selama 10 tahun menjadi faktor utama berubahnya peta politik dengan digaetnya Gibran sebagai cawapres Prabowo. Selain itu dinamika internal PDIP yang kemudian membelah menjadi faksi-faksi turut berkontribusi melemahnya dukungan terhadap Ganjar.
"Soliditas PDIP tak nampak, para caleg PDIP sekalipun tidak begitu gamblang totalitasnya terhadap Ganjar, hijrahnya para tokoh muda yang cukup menggawangi aktivitas politik golongan muda PDIP seperti Ara Sirait/mantan ketua Taruna Merah Putih, Stefanus Asat Gusma/ketua pemuda Katolik berbalik mendukung Prabowo Gibran dengan membawa gerbongnya masing-masing," terangnya.
Hal itu cukup mewarnai atmosfer politik pilpres, disamping memang konsolidasi sistematis yang dibangun pada struktur politik Prabowo-Gibran.
"Perolehan suara PDIP akan tetap konsisten pada garis pemilih ideologisnya, walaupun itu tidak relate dengan peta dukungan parpol pada pilpres dengan alasan-alasan tersebut diatas," terangnya.
Jimmy menilai, ini konsekuensi juga dari sistem politik Indonesia yang multipartai, pemerintahan yang presidensial harus firm dengan kekuatan parlemen yang mayor, tetapi itu nyaris belum pernah terjadi, sehingga siapapun pemenang pilpres butuh grouping parpol yang kuat lewat koalisi di parlemen.
"Nah situasi ini juga mempengaruhi cara pikir dan sikap politik masyarakat, relasi dua lembaga tersebut dianggap punya domain masing-masing dan tidak punya hubungan politik secara langsung. Beda pilihan terhadap partai dan pilpres dianggap biasa saja," katanya.
Seangkan pengamat politik dari Unmuh Kupang, Ahmad Atang mengatakan, PDIP memang partai yang akan lolos ke Senayan karena memenuhi ambang batas parlemen.
"Hal ini tidak semata-mata karena PDIP dan Megawati, namun populisnya caleg menjadi faktor mendulang suara bagi PDIP. Jadi, popularitas PDIP ditentukan oleh banyak orang tapi popularitas capres dan cawapres ditentukan oleh figur dan partai," ucap Ahmad.
Inilah paradoks demokrasi kita di Indonesia bahwa rakyat suka partai tapi tidak suka kadernya atau sebaliknya rakyat suka kader tapi tidak suka partai. Fakta pilpres dan pileg menunjukkan anomali demokrasi yang luar biaya, tapi itu harus diterima sebagai fakta politik.
Hampir semua kantor PDIP, Bali, Jatim, Jateng dan di luar Jawa justru pilpres dimenangkan oleh Prabowo-Gibran bukan Ganjar-Mahfud. Maka, pilpres ini sesungguhnya dalam internal PDIP ada pertarungan antara Megawati vs Jokowi, bukan antara Prabowo-Gibran atau Ganjar-Mahfud, karena kedua paslon ini merebut basis politik yang sama.
"Sehingga jika dilihat dari hasil quick count, di mana Prabowo-Gibran unggul, maka hal ini memberi isyarat bahwa di dalam PDIP sedang terjadi perubahan tokoh dari Megawati ke Jokowi," katanya.
Potret hasil pilpres ini memberikan gambaran akan kuatnya pertarungan antara kaum nasionalis melawan politik aliran. Namun, nasionalis mendominasi peta politik dengan kuatnya dukungan ke Prabowo-Gibran, namun posisi Anies tidak tergerus oleh Prabowo maupun Ganjar.
"Di sisi lain, Prabowo diuntungkan oleh dinamika suara di mana Prabowo dapat mencuri suara di basisnya Ganjar dan Anies, namun basisnya Prabowo tidak mampu dicuri oleh Anies dan Ganjar," bebernya. (cr1/ays)