Penentuan Angka Harus Punya Rasionalisasi
JAKARTA, TIMEX.FAJAR.CO.ID - Mahkamah Konstitusi (MK) memerintahkan pemerintah dan DPR merumuskan ulang parliamentary threshold atau ambang batas parlemen untuk pemilu ke depan. Perintah MK itu tertuang dalam putusan MK Nomor: 116/PUU-XXI/2023 yang dibacakan di gedung MK Jakarta, Kamis (29/2).
Perkara tersebut diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi yang menguji konstitusionlitas Pasal 414 ayat (1) UU Nomor 7/2017. Perludem dalam gugatannya mempersoalkan ambang batas parlemen yang dianggap tidak jelas perumusan angkanya. Kemudian, Perludem juga mengusulkan skema penghitungan konversi kursi yang dianggap lebih proporsional.
Dalam putusannya, MK hanya mengabulkan dalil soal ketidakjelasan perumusan angka ambang batas. Sementara skema penghitungan, MK menegaskan menjadi kewenangan pembentuk undang-undang untuk menetapkannya.
"Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian," kata Ketua MK Suhartoyo membacakan putusan.
Dalam pertimbangannya, hakim MK Saldi Isra mengatakan, penerapan ambang batas merupakan hal yang lumrah dalam negara yang menganut sistem multi partai. Di Indonesia, pelaksanaannya pun sudah berlaku sejak 2004.
Tujuannya memperkuat sistem presidensial melalui penyederhanaan partai politik. Meski pun dalam implementasinya tidak terbukti dengan efektif, sistem itu tidak masalah untuk dipertahankan.
Namun, MK menyoroti perubahan angka ambang batas yang terus berubah-ubah. Namun ironisnya, perubahan angka itu tidak memiliki dasar perhitungan yang logis dan ilmiah. Dalam pernyataannya dalam persidangan, baik pemerintah maupun DPR tidak menjelaskan kenapa 4 persen yang dipilih.
"Mahkamah tidak menemukan dasar rasionalitas dalam penetapan besaran angka atau presentase paling sedikit 4 persen dimaksud," ujat Saldi.
Padahal, ambang batas jelas memiliki dampak terhadap konversi suara sah menjadi kursi DPR yang berkaitan dengan proporsionalitas hasil pemilu. Di sisi lain, sistem yang berlaku saat ini juga telah mengakibatkan besarnya suara terbuang sia-sia. Misalnya pada pemilu 2004 terbuang 19.047.481 suara dan 2019 terbuang 13.595.842 suara.
Fakta itu, lanjut Saldi, memperlihatkan adanya disproporsionalitas hasil pemilu terhadap kursi DPR. Padahal, sesuai putusan MK Nomor: 3/PUU-VII/2009, pembentuk UU wajib menentukan ambang batas yang tidak bertentangan dengan hak politik, kedaulatan rakyat dan rasionalitas.
MK menyatakan ketentuan Pasal 414 ayat (1) UU Nomor 7/2017 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2), Pasal 22E ayat (1), Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Untuk itu, MK memerintahkan DPR dan pemerintah untuk melakukan perubahan yang dapat digunakan pada pemilu 2029 mendatang. Sementara di pemilu 2024, MK membolehkan penggunaan ketentuan yang ada sebagai bentuk kepastian hukum mengingat tahapannya telah berjalan.
Dalam merumuskan ambang batas terbaru, MK memberikan sejumlah rambu-rambu. Antara lain desain baru harus bisa digunakan secara keberlanjutan, desain baru harus meminimalisir banyaknya suara sia-sia, perubahan ditempatkan dalam rangka menyederhanakan sistem partai dan diselesaikan sebelum tahapan pemilu 2029 berjalan.
"Perubahan harus melibatkan semua kalangan yang memiliki perhatian terhadap penyelenggaraan pemilihan umum," tegas Saldi.
Peneliti Perludem, Muhammad Ihsan Maulana mengapresiasi putusan MK. Baginya, putusan itu bisa menjadi dasar untuk memperbaiki sistem pemilu ke depan, khususnya terkait konversi suara.
Diakuinya, pemilu Indonesia masih banyak masalah dan perlu perbaikan ke depan. "Perlu ada evaluasi lanjutan dalam konteks tata kelola pemilu agar penyelenggaraannya lebih demokratis," ujarnya.
Perludem juga berharap, putusan MK ini benar-benar dilaksanakan oleh pembentuk undang-undang. Jangan sampai, putusan diabaikan untuk mengamankan kepentingan tertentu. "DPR dan pemerintah harus mengikuti rambu-rambu yang sudah di putuskan oleh Mahkamah Konstitusi," tegasnya.
Anggota Komisi II dari Fraksi PAN, Guspardi Gaus mengatakan, pihaknya menghormati putusan MK terkait ambang batas parlemen. Menurutnya, putusan MK adalah final dan mengikat, sehingga harus diikuti. Namun, pihaknya belum mengetahui secara pasti isi amar putusan mahkamah.
Dia menyatakan, pihaknya akan mengkaji terlebih dahulu putusan tersebut. Apakah putusan itu hanya menghapus angka 4 persen ambang batas parlemen yang selama ini berlaku atau menghapus ambang batas parlemen itu sendiri. "Itu yang akan kami kaji," tuturnya.
Jika angka 4 persen yang dihapus, maka angka ambang batas parlemen bisa diturunkan di bawah 4 persen. Misalnya, bisa diturunkan 3,5 persen atau 3 persen. Jika ambang batas parlemen yang dihapus, maka tidak ada lagi ambang batas alias 0 persen.
Tentu, lanjut Guspardi, putusan MK itu akan ditindaklanjuti dengan revisi UU Nomor 7/2017 tentang Pemilu. Ambang batas parlemen akan menjadi pembahasan. Terkait angka ambang batas, hal itu akan sangat bergantung pembahasan dalam revisi UU itu nanti. "Angkanya bisa diturunkan atau malah 0 persen. Itu bergantung pembahasan," paparnya.
Anggota DPR RI dari Fraksi PPP Achmad Baidowi mengatakan, putusan MK sama dengan konstitusi, sehingga harus dipatuhi semua pihak. Dia menilai dengan putusan itu, maka tidak perlu ada lagi ambang batas parlemen pada pemilu 2029 mendatang.
Awiek, sapaan Achmad Baidowi menegaskan, dengan tidak adanya ambang batas parlemen, maka semua partai yang mengikuti pemilu dan mendapatkan kursi bisa masuk parlemen. "Itu lebih fair karena mencerminkan multicultural politics di Indonesia," tandasnya. (far/lum/jpg/ays)