KUPANG, TIMEX.FAJAR.CO.ID – Viktor Bungtilu Laiskodat bukan pemain baru dalam politik. Rekam jejak Viktor di dunia politik tidak perlu diragukan.
Demikian dikatakan pengamat politik dari Unmuh Kupang, Ahmad Atang kepada Timor Express, Rabu (13/3). Ahmad mengatakan, pengalaman politiknya sebagai anggota DPR dari Partai Golkar, kemudian berpindah ke Partai Nasdem dan menjadi anggota DPR dan gubernur NTT satu periode.
Hal itu menandakan bahwa VBL adalah politis tangguh, namun harus kalah pileg dengan berbagai figur lainnya. Menurut Ahmad, kegagalan Viktor dapat dibaca dalam beberapa hal. Pertama, ada semacam kejenuhan publik dalam melihat kekuasaan yang hanya dipegang oleh satu tangan. Publik menginginkan figur baru yang lebih energik dan kekuasaan harus terdistribusi secara merata.
"Logika politik publik inilah menjadi penyebab kekalahan Viktor," kata Ahmad.
Ada pun hal lain yakni soal persepsi. Ahmad menyebut, politik adalah tentang persepsi. Selama Viktor menjabat, baik sebagai anggota DPR maupun sebagai gubernur, telah membangun persepsi positif di mata publik. Maka, akan mendapatkan dukungan publik yang tinggi.
"Jadi, kegagalan ini dapat dimaknai sebagai rendahnya persepsi publik terhadap Viktor," jelasnya.
Sementara, berkaitan dengan keterpilihannya Gavriel Novanto, Ahmad menyebut, dalam negara demokrasi, setiap orang mempunyai hak untuk memilih dan dipilih. Karena itu, yang menentukan dipilih atau tidak tergantung masyarakat yang memiliki hak kedaulatan. Hal ini juga berlaku bagi Gavriel.
Sebagai pendatang baru, Gavriel telah mencuri perhatian publik, sehingga dukungan masyarakat melalui pemilu justru mengalahkan figur-figur seperti Viktor dan sebagainya. Gavriel telah melaksanakan haknya sebagai warga negara dan rakyat yang memutuskan untuk memilih atau tidak.
Hasil pemilu telah menjelaskan bahwa rakyat memberi kepercayaan kepada Gavriel, jadi tidak ada yang salah. Tidak ada yang membantah bahwa Gavriel adalah anaknya Novanto, mantan ketua DPR dan ketua Golkar yang terjerat kasus hukum, yakni korupsi.
"Perbuatan orang tua tidak harus digeneralisir akan sama dengan anak atau anak akan mengikuti perbuatan orang tua. Cara pandang seperti ini memang tidak lazim, tetapi publik bisa saja membangun narasi yang demikian. Karena itu, kita harus adil dalam memberikan perlakuan kepada Gavriel, karena biar bagaimanapun yang bersangkutan telah diterima oleh publik NTT dan memberikan kuasa untuk membangun NTT dalam kapasitasnya sebagai anggota DPR," katanya.
Sementara itu, dosen politik dari Undana, Yeftha Sabaat mengatakan, karakter dan gaya kepemimpinan Viktor jadi batu sandungan politik baginya dalam pileg. Yeftha menyebut, indikator kesalahannya sudah pasti merujuk pada kepemimpinan Viktor sebagai gubernur yang kontroversial.
"Yah karena gaya kepemimpinannya itulah, maka masyarakat jenuh sehingga kepercayaan publik menurun akibatnya suara Viktor di pileg kalah jauh," ucapnya.
Bagaimanapun ingatan publik soal kepemimpinan Viktor yang kontroversial menjadi preferensi mereka untuk memilih. Dibanding dengan Ratu Wulla yang mempunyai catatan baik selama menjadi anggota DPR RI.
"Saya kira Viktor tersandung penilaian publik yang kurang baik selama menjadi gubernur," tambahnya.
Yeftha juga menilai, terpilihnya Gavriel adalah fenomena menarik yang perlu dikaji. Terlepas dari banyaknya dukungan yang diberikan oleh masyarakat, bagaimanapun profil Gavriel sebagai anaknya Setya Novanto jadi catatan penting dalam demokrasi.
"Bagaimanapun catatan karier dan korupsi Setya Novanto seharusnya menjadi batu sandungan Gavriel dalam politik. Hal ini yang jadi pertanyaan menarik, kenapa masyarakat masih memilih anak koruptor di pileg? Apakah masyarakat kurang literasi politik? Atau ada faktor lain yang menjadi preferensi masyarakat dalam menentukan pilihannya," tegasnya.
Menurutnya, ada berbagai faktor yang menjadi pertimbangan. Pertama, ada intervensi partai politik dalam pencalonan sekaligus menegasikan dinasti politik dalam partai. Kedua, modal ekonomi yang dimiliki oleh Gavriel pun dinilai jadi indikator penting dalam keterpilihannya.
"Walaupun nantinya modal ekonomi ini bisa saja dimanfaatkan untuk hal buruk semisal money politic, saya pikir itu juga patut dicurigai, karena image yang melekat pada Setya Novanto tidak bisa ditepis," tandasnya. (cr1/ays)